Mahdi Idris
http://blog.harian-aceh.com/
SEJAK manusia mengenal tulisan beberapa abad sebelum masehi, keinginan untuk menulis terus berkembang hingga abad kini. Beberapa penemuan arkeolog barat mengenai sejarah masa lalu, yang umumnya di timur tengah, antara lain di Mesir pada dinding piramid, telah membuktikan bahwa manusia mengabadikan sebuah sejarah dalam tulisannya.
Andai saja para pembesar Fir?aun tidak meninggalkan tulisan-tulisan tersebut, mungkin saat ini para sejarawan dunia tidak banyak yang tahu tentang masa lalu yang pernah gemilang itu, selain kisah-kisah yang tercantum dalam Al-qur?an.
Tulisan bukan saja digunakan untuk mengabadikan sebuah sejarah. Tetapi juga pengajaran. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-qur?an: ??.Allah yang telah mengajarkan manusia dengan pena (tulisan)? (QS. Al-?alaq:). Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa tulisan adalah sumber pengetahuan.
Karena tulisanlah yang menghubungkan antara ilmu pengetahuan dengan manusia. Jika tidak, manusia tak mungkin mampu menjadi khalifah di muka bumi ini. Sebagaimana Adam As, Allah mengajarkannya tentang beberapa nama benda sebelum para malaikat mengetahuinya.
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, ilmu terkadang ada dalam benak. Kadang-kadang dengan lidah. Kadang-kadang bisa pula berada dalam tulisan dan bersifat mentalistik dan formalistik. Kata formalistik memastikan ilmu berada dalam tulisan, namun tidak sebaliknya. Dan dalam sebuah atsar disebutkan, ?Ikatlah ilmu dengan tulisan.?
Tulisan, dalam hal ini karya tulis, menurut Gorys Keraf (1995:19) dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu wacana ilmiah yang didalamnya terdapat wacana eksposisi dan argumentasi serta wacana fiktif yang terdiri dari wacana deskripsi dan narasi. Kemudian ia memberi batasan dan pengertian bahwa wacana ilmiah, penulis berusaha mengungkapkan berbagai fakta yang menyangkut dengan tema dan topik yang diangkat oleh penulis dalam karya tulisnya serta data dan informasi yang digunakan telah diuji dengan pelbagai upaya ilmiah sehingga diyakini sebagai fakta.
Maka dalam penyampainya menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi. Sedangkan sasaran wacana fiksi, penulis menyodorkan kesan atau pengalaman mental melalui penyajian realitas-realitas di sekeliling masyarakat. Kesan yang ingin ditimbulkan melalui deskripsi (penggambaran) yang menyangkut obyek dalam dimensi ruang, sebaliknya kesan yang disampaikan melalui narasi (penceritaan) adalah yang menyangkut dimensi ruang dan waktu.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa keabadian sebuah tulisan dapat kita lihat dalam Al-qur?an yang berjumlah enam ribu enam ratus enam puluh ayat. Jika Rasulullah Saw tidak memerintahkan kepada sahabatnya untuk menulis wahyu tersebut di atas tulang-tulang unta dan pelepah kurma, yang kemudian dikumpulkan kembali pada masa khalifah Usman bin Affan, secara logika, kita tak mungkin dapat membaca Al-qur?an di zaman ini. Sebab para penghafal Al-qur?an di masa itu satu persatu meninggal dunia, baik dalam peperangan maupun karena usia tua.
Maka tulisan pun bermunculan dari pengaruh penulisan Al-qur?an. Dan sejak berdirinya Dinasti Abbasiyah tahun 132 H hingga masa keruntuhannya akibat serangan pasukan Tatar tahun 656 H, para khalifah yang memimpin ummat Islam saat itu, kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan, telah melahirkan beberapa karya besar para ahli di bidangnya. Baik itu ilmu astronomi (ilmu falak), fiqh, tasawuf, tauhid, mantiq (logika), hadist, kimia, botani, bahasa, sastra, khat, kedokteran, filsafat, dan sebagainya. Sehingga kita pun mengenal Jabir bin Hayyan seorang ahli kimia, Ibnu Sina ahli kedokteran, dan Al-Ghazali di bidang filsafat. Mereka itu telah diperintahkan oleh para khalifah utuk menuliskan ilmu-ilmu tersebut menjadi suatu disiplin ilmu yang wajib dipelajari oleh ummat Islam saat itu. Yang selanjutnya melahirkan kader-kader, sebagai pemegang puncak kejayaan gemilang di bidang mereka masing-masing.
Dalam bidang bahasa, sebagaimana pernyataan Abu Fairuz Ichsan Mufti, dalam makalahnya ?Sejarah Perkembangan Sastra Arab,? yang disampaikan pada Kajian Sastra Islam 7 Desember 2006 di Mushala FMIPA UGM, menyebutkan bahwa menyebarnya islam secara luas ke berbagai belahan dunia terutama pada abad ke 7 Hijriah, hal ini dikarenakan ia adalah bahasa Al-Qur?an yang mulia.
Bahasa yang indah ini menyebar ke berbagai penjuru timur dan barat, sehingga sebagian besar peradaban dunia pada masa itu sangat terwarnai oleh peradaban Islam. Mereka yang berperan mengembangkan sastra arab pada masa kejayaan islam berasal dari berbagai suku bangsa, diantara mereka berasal dari Jazirah Arab, Mesir, Romawi, Armenia, Barbar, Andalusia dan sebagainya, walau berbeda bangsa namun mereka semua bersatu di atas Islam dan Bahasa Arab, mereka berbicara dan menulis karya sastra serta berbagai kajian keilmuan lainnya dengan Bahasa Arab.
Dalam bidang sastra, munculnya karya-karya para sastrawan dan penyair besar seperti Hassan Ibn Thabit, Abdul Rahman bin Ismail al-Khawlani dengan karyanya Kalila wa Dimma. Pada periode berikutnya lahir seorang penyair besar seperti Jalaluddin Ar-Rumi. Dan karya-karya para sastrwan tersebut, mendapat sambutan baik bagi dunia luas sampai pada abad-abad selanjutnya.
Sehingga kemajuan-kemajuan yang mencapai pucaknya saat itu, menguntungakan bagi reinkarnasi ilmu pengetahuan ke belahan dunia barat. Mereka mulai mencermati ulang terhadap kebenaran karya-karya penulis Islam, membuat strategi baru dalam mengolah karya tersebut menjadi penemuan-penemuan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan. Maka tidak mengherankan, bila Jabir bin Hayyan, di Barat disebut ?Geber?, sebagai bapak kimia. Sebab kimia itu sendiri berasal dari bahasa Arab; ?Al-Kimiyya? yang berarti ilmu yang mempelajari tentang materi. Begitu pula dengan Ibnu Sina, yang mereka sebut ?Avencena?, dijuluki sebagai bapak kedokteran.
Begitu pula halnya dalam ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, dan bahasa, para ilmuwan di zaman tersebut telah meninggalkan karyanya kepada generasi-generasi selanjutnya. Dalam fiqh, kita mengenal empat mazhab popular di kalangan ummat Islam, yakni; mazhab Maliki (Malik bin Anas), mazhab Hanafi, mazhab Syafi?ie (Muhammad bin Idris As-Syafi?ie), dan mazhab Hanbali (Ahmad bin Hanbal).
Para imam tersebut memiliki karya yang kemudian dijadikan sebagai rujukan (referensi) oleh para murid dan pengikutnya di belahan dunia Islam. Yang sampai kini masih kita perdapatkan di berbagai lembaga pendidikan agama Islam, dijadikan sebagai kurikulum pengajaran tetap pada lembaga tersebut. Yang di pelajari oleh para santri sebagai standar penagajaran tentang pemahaman terhadap hukum-hukum fiqh dalam mazhab Syafi?i. Bahkan di Aceh, lembaga pendidikan Dayah, merupakan satu-satunya tempat pengajaran kitab-kitab aksara Arab tersebut. Padahal karya-karya para imam atau pun ulama tersebut, ada di antaranya telah berusia lebih sepuluh abad, namun masih relevan dengan zaman sekarang.
Dengan demikian kita dapat kita simpulkan bahwa tulisan, selain mampu menjembatani antara ilmu pengetahuan dan manusia, juga begitu abadi. Dapat diterima oleh para generasi masa yang akan datang. Semoga. Wallahu a?lam bisshawab.[]
(Rayeuk Kuta, 27 September 2010)
*) Sekum FLP Lhokseumawe, Guru Pendidikan Seni dan Bahasa Arab di SMAN 1 Matangkuli Aceh Utara.