Iwan Gunadi
http://www.suarakarya-online.com/
Setelah beberapa tahun terlibat dalam komunitas sastra serta tak jarang membaca atau mendengar istilah “sastra komunitas”, saya mulai mempertanyakan lebih dalam kedua terminologi tersebut. Apa itu sastra komunitas? Apa benar ada? Seiring dengan itu, saya juga membatin, apakah komunitas sastra juga merupakan sesuatu yang nyata?
Setahu saya, belum ada seorang pun di Indonesia ini yang mendefinisikan istilah “sastra komunitas”. Ketika saya terlibat dalam pemetaan komunitas sastra di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) yang dilakukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), istilah tersebut pun tak didefinisikan dalam hasil pemetaan itu. Yang ada hanyalah definisi “komunitas sastra”, yakni “kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung (nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian kelompok atau untuk kepentingan umum.”
Namun, dalam praktiknya, sastra komunitas sering dipahami sebagai karya sastra yang dihasilkan anggota suatu komunitas sastra. Contoh konkretnya adalah karya sastra yang diterbitkan suatu komunitas sastra.
Dengan pemahaman seperti itu, sebetulnya, komunitas hanya berfungsi sebagai keterangan tempat. Ia hanya berperan periferal. Tak ada kontribusi substantifnya terhadap proses pelahiran karya sastra. Dengan kondisi seperti itu, secara substansial, apa yang disebut (karya) sastra komunitas sebenarnya cenderung tak ada bedanya dengan karya sastra yang dihasilkan bukan oleh anggota komunitas sastra.
Sebagaimana karya sastra umumnya, karya sastra yang dihasilkan anggota komunitas sastra lebih banyak hadir sebagai karya individual seutuhnya. Tak ada keterlibatan pihak lain, dalam hal ini anggota lain dari komunitas sastra yang sama. Padahal, komunitas sastra merupakan sebuah entitas kolektif. Idealnya, kondisi seperti itu mampu mendorong pelahiran karya sastra dengan karakter yang khas-atau bahkan suatu genre baru.
Meski begitu, bukan berarti tak ada karya sastra dari suatu komunitas sastra (seni) yang menunjukkan bahwa karya itu merupakan produk suatu interaksi di komunitas sastra (seni) tersebut. Tapi jumlahnya sangat langka.
Hingga saat ini, saya baru bisa menyebut prosa Saman karya Ayu Utami, pengarang besar dalam Komunitas Utan Kayu di Rawamangun, Jakarta Timur, dalam kategori sastra komunitas. Penyebutan tersebut bukan untuk menengarai bahwa Saman merupakan prototipe karya sastra komunitas yang ideal. Penyebutan itu lebih bersifat fisikal.
Di luar itu, sementara ini, tak ada sastra komunitas. Kalau komunitas sastra tak menghasilkan sastra komunitas sebagai suatu entitas khas, apa ada manfaat keberadaan komunitas sastra? Definisi yang diberikan pemetaan itu atau dicontohkan tadi menunjukkan adanya manfaat keberadaannya. Sekurangnya secara sosiologis. Dengan kacamata sosiologi itu, memang ada sejumlah manfaat keberadaan komunitas sastra.
Selain itu, pertambahan komunitas sastra dapat meningkatkan jumlah kegiatan sastra, yang dapat mendongkrak kegairahan kegiatan sastra hingga memungkinkan peluasan keterlibatan jumlah individunya.
Bila semula kegiatan sastra cenderung hanya melibatkan kalangan terbatas sastrawan. Kini, siapa pun dapat terlibat di dalamnya. Sastra tidak lagi menjadi wilayah elitis yang hanya dihuni para sastrawan. Mulai dari buruh pabrik, pengusaha, hingga pejabat pemerintah pun bisa terlibat. Mereka tidak hanya sebagai penikmat, tapi juga sebagai pencipta.
Artinya, pada tataran kuantitatif, apresiasi masyarakat terhadap sastra meningkat. Sekali lagi, jumlah pelaku kegiatan sastra bertambah. Jumlah karya sastra melimpah. Itulah sumbangan terbesar suburnya pertumbuhan komunitas sastra, terutama sejak 1990-an hingga saat ini.
Namun, bagaimana dengan tataran kualitatifnya?
Banyak komunitas sastra atau anggota komunitas sastra menunjukkan eksistensinya dengan menerbitkan atau menyosialisasikan sebanyak-banyaknya karya sastra. Sayangnya, pada saat yang sama, kualitas karya-karya sastra itu terlupakan atau dilupakan mereka. Maklum, penerbitan atau sosialisasi itu hanya bermodalkan keberanian dan kenekadan. Mereka tidak menguasai kata. Padahal, kata jugalah yang mereka tekuni setiap hari.
Dalam kondisi seperti itu, tak heran bila sejumlah pihak menuduh mereka memanfaatkan komunitas sastra hanya untuk melegitimasi keinginan mereka menjadi sastrawan. Akhirnya, keinginan mereka menciptakan pusat-pusat baru yang mandiri hanya mewujud secara kuantitatif, tapi tidak secara kualitatif.
Idealnya, komunitas sastra dapat menjadi semacam kawah candradimuka untuk menggagas lahirnya sebuah ideologi sastra komunitas. Mereka dapat memanfaatkan potensi kebersamaan atau keguyuban dengan visi dan misi yang sama sebagai titik tolak untuk melahirkan suatu karya sastra yang memiliki karakter yang berbeda secara signifikan dengan karya sastra yang sepenuhnya merupakan produk individual.
Komunitas sastra tak dapat hanya dijadikan kendaraan untuk meraih predikat sastrawan atau ajang silaturahmi. Komunitas sastra mesti diposisikan sebagai wahana pencarian pelbagai kemungkinan baru, baik dalam hal bentuk maupun visi sesuai komunitas sebagai suatu entitas kolektif. ***
(Pemerhati sastra, tinggal di Tangerang, Banten).