Gegelas

Fikri. MS

“Sebenarnya apa yang kau tunggu di sini? Kuperhatikan sejak tadi kau sama sekali tak beranjak pergi hanya berdiri, duduk melipat kaki”

Lelaki itu mendekat.
“Ayolah beritahu aku mungkin ada sesuatu yang dapat kulakukan untukmu!”

Kutinggalkan ia beberapa langkah, mengganti bajuku yang kusam bau keringat, sementara ia masih diam.

“Kau …,tak bisa bicara ya!?” Aku bertambah bingung dengan lawan bicaraku ini.

“Baik kalau begitu, mungkin tenggorokanmu kering, kuambilkan segelas air putih. Tunggu sebentar, dan ingat bicaralah padaku!, Ada apa?”

Segelas air kuletakkan di hadapannya, ia merubah sikap kaki kanannya berganti memangku yang kiri, ia rogoh tas sandangnya mengambil sesuatu. Kupikir sesuatu yang penting, sebatang pena hitam ternyata. Ia mulai melukis tangan kirinya di antara telunjuk dan ibu jari. Lingkar melingkar dari bawah ke atas tak berurut, besar, kecil, lalu sedang tampak dari pandangan samping seperti proyeksi bidang datar. Lingkaran sedang dan kecil terhubung oleh dua garis yang berseberangan lurus ke bawah sedikit lengkung setiap ujungnya, di bagian tengah ia mulai menggoreskan penanya aku tak tahu apa, dan ternyata setangkai mawar setengah mekar berdaun tunggal yang ia gambar. Lingkar paling besar diarsir kasar serupa dengan piring. Aku langsung mengerti, ia menggambar sebuah gelas.

“Ada apa …!!!”

Aku terkejut mendengar ucapannya yang serak berteriak. “Oh … bicara juga akhirnya. Minumlah sedikit saja” Kataku.

“Aku tidak haus, aku tidak lapar, aku tidak sedang menunggu, dan aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan dari tadi!, Kita tidak saling kenal, jadi tak usah sok akrab denganku. Aku tahu kau hanya pura-pura baik kan?. Alismu runcing ke atas.”

Ia menunjukku dengan bibirnya.

“Aku tahu kau bukan orang baik atau suci seperti segelas air putih ini. Pergi sajalah, ini tempatku sejak matamu mulai memperhatikanku.” Suaranya seperti menikamku.

“Hei …, memangnya kau pikir siapa dirimu?! Bicara seenaknya saja, sembarangan. “ Aku menyentak, ia diam.

Suaraku lebih keras menggelegar dan lebih kasar dari ucapanya. Aku sendiri merasa terkejut menghadapi apa yang tengah terjadi.

Sampai pecah gelas di atas meja dan segala perabotan yang lain pun mengalami hal yang sama. Semuanya seakan-akan runtuh dari tempatnya, meja bergetar patah terjungkit, televisi meletus asapnya mengepul memenuhi ruangan. Keadaan menjadi gelap dan bau plastik terbakar.

Tubuhku basah berkeringat dingin, kuraih air minum di atas meja. Nafasku masih memburu terengah. Lampu kamar kunyalakan sambil melepaskan kaos yang lembab, aku masih belum bisa mengingat apa yang baru saja terjadi yang terlintas hanya keasingan yang menyerangku dalam, dalam sekali. Jendela kamar kubuka separuh, angin malam masuk menderu kencang, daun jendela goyah tubuhku bertambah dingin menggigil segera kurapatkan kembali. Kududuki kursi rotan di samping ranjang, meluruskan kaki, kepalaku tengadah memandang langit-langit kamar.

***

“Bang …! Bang David …! Bangun, ada yang cari Bang, tamu!, Perempuan, katanya ada perlu. Bang, Bang …!”

David masih tertidur di kursi rotan, ia tak mendengar panggilan Nikita yang mau berangkat sekolah, hari ini upacara. Suaranya masih memanggil-manggil. Ketukan pintu yang bertambah keras tak juga mampu mengusik tidur Abangnya.

Gadis kecil itu kembali menemui tamu di teras.
“Kak, nanti siang saja kembali, Bang David masih tidur. Tadi malam ndak pulang. Nanti saya sampaikan kalau ada pesan?”

“Tidak usah Dik, terimakasih. Nanti siang saya ke sini lagi. Kamu mau berangkat ke sekolah, bareng?” Ujar tamu itu.

“Ndak usah Kak, dekat sini saja, jalan kaki sebentar sudah sampai”

Perempuan itu berlalu meninggalkan anak kecil berseragam merah putih yang masih berdiri dengan senyumnya yang kecil di ambang pintu.

“ Kenapa belum berangkat? Sudah hampir jam tujuh.”

Nikita menoleh ke belakang, David baru keluar dari kamarnya dengan handuk merah sambil berjalan ke dapur. Adiknya mengikuti.

“Barusan ada tamu cari Bang David, sudah kubangunkan tapi Abang ndak bangun-bangun”

“Siapa,? Kamu ndak Tanya namanya, ada titipan?

“Ndak, aku juga lupa tanyakan namanya. Cuma bilang nanti siang ke sini lagi.”

David tak begitu penasaran siapa yang mencarinya, ia masuk ke kamar mandi, sementara adiknya memasang sepatu.

Dari kamar mandi.

“Kita …! Ibu sudah berangkat?

“Iya, sudah dari tadi. Kata Ibu bawa kipas angin yang di ruang tamu ke tukang service dekat lorong masuk kampong, kalau Abang ndak bisa memperbaikinya!. Aku berangkat ya Bang. Assalamu’alaikum.”

Suara kran yang deras dari kamar mandi merampas seruan Nikita.

David berteriak-teriak mengumpat. Kran bocor, handuk merah yang melilit di pinggangnya basah terkena semprotan air.

Lelaki itu mengumpat geram.”sabar… sabar…” Batinnya.

Di dalam bak mulai terlihat ada keanehan, beberapa gelas bermunculan berwarna-warni tak teratur bertambah banyak semakin jelas. Hampir-hampir memenuhi seluruh bak. Hentakan keras terdengar beberapa kali dari daun pintu di sebelah kanannya padahal tak ada angin yang mendorongnya.

Ia tak begitu yakin dengan keadaan yang tengah terjadi.

Jumlah gelas kian banyak melebihi air yang memenuhinya, kamar mandi banjir airnya sampai keluar dari pembatas di bawah pintu antara dapur dan kamar mandi setinggi mata kaki, kepanikan semakin menjadi-jadi ketika jumlah gelas berlimpahan hingga bagian dasar kamar mandi telah dipenuhi oleh gelas yang bermacam-macam ukuran. Lelaki itu seperti mengalami serangan yang hebat. Ia tak bisa menggerakkan kaki kuatir terinjak. Teriakkannya bias oleh kran yang mengeluarkan suara yang garang.

Bertambah lagi, terus bertambah sudah sampai ke bagian paha, David tak tahu harus berbuat apa, ia terhimpit oleh rapatnya gelas. Air dari kran tiba-tiba berubah warna menjadi merah kental seperti darah luka, tubuhnya pun merah menjijikkan. David semakin bingung. Dan …

“Aaaaaaaakh …! Tolong …tolong … … …! Ki …! Niki … …!”
Tidak ada yang menyahut suaranya. Tak terdengar apa-apa.

Pintu kamar mandi seperti terkunci terhimpit oleh gelas yang sudah hampir ke dada, hanya tangan kiri yang masih menjunjung ke atas mengeras menahan sesak.

Ia masih berusaha sekuat tenaga melawan ancaman yang aneh ini, tetapi semakin ia meronta jumlah gelas bertambah banyak dan suara kran mengerang lebih keras lagi.

Sekarang gelas dan air sudah sampai ke batang lehernya, ia tak bisa bernafas dan bergerak. Serangan gelas dan air seakan-akan ingin membunuhnya secara perlahan. sampai seluruh kamar mandi penuh sesak dan David terkunci di dalamnya, penglihatannya menjadi gelap ia meronta-ronta memecahkan beberapa gelas yang tergesek, semakin kuat ia berontak bertambah banyak jumlah gelas yang pecah, tubuhnya terluka oleh pecahan beling. Ia mengaduh terasa nyeri di bagian perut dan paha sampai akhirnya pasrah tubuhnya lemas.

Saat itu juga ia seperti berpindah ke tempat yang empuk berbaring di atas sofa putih sambil memeluk guling. Baru sekejap ia merasakan suasana yang nyaman, saat itu juga ia kembali lagi berada di tengah himpitan gelas dan cairan merah. Kali ini mulutnya merecacau tak karuan.

“akh …, aaaaaaaaaaakhkhkhkhk … ….za za za ta ta ta ta … ghemmmmm mmmmmmh mh mh mh. Ampu… … … nnnnn … las las las… gelaaaaaaaaaaaaaaaa …ssss!

Tubuhnya bergerak lepas tak terkendali sambil tangannya memutar-mutar, menyikut kesegala arah. Kedua kakinya menerajang kuat tak terkendali dan tiba-tiba menyentuh sisi dipan yang keras ia terjungkal dari kursi rotan, kepalanya membentur kaki meja sesaat ia tak sadarkan diri.

Tergeletak di lantai.

Suasana masih mencekam penuh ancaman, tubuhnya menggeletar kedinginan disergap rasa takut, keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh. Ia haus, mencoba bangkit meraih air minum, namun seketika terhenti. Segelas air putih yang diraihnya seperti dalam bayangan buruk yang selalu mengikuti, membuatnya merinding sejadi-jadinya. Ia marah membanting gelas ke lantai melemparkan apa yang ada di sekitarnya seperti menghajar habis-habisan sesosok mahluk gelas yang menghantuinya.

Hal yang menakutkan telah menjebaknya pada kecemasan yang tak tertandingi. Gila, David seperti gila dengan keadaan ini, ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak sadar sedang dalam keadaan yang bagaimana antara sadar atau tidak, ia tak mampu berimajinasi mengalihkan rasa takut yang memburu. Sampai akhirnya dari luar, terdengar seseorang memanggil, awalnya ia tak tahu tetapi telinganya meraba suara yang menyerunya dari luar.

“Bang …, Bang …, Bang Vid!” Ia sadar suara adiknya yang memanggil terburu-buru seperti penting sekali.

David bangkit berjalan terhuyung sambil memeganggi kepalanya yang terasa berat, membuka pintu perlahan. Ia kembali sontak dan bingung ternyata di luar banyak sekali orang yang tidak ia kenali, semuanya berpakaian serba aneh dan masing-masing memegangi gelas beling, salah seorang menggenggam telinga gelas yang sangat besar seukuran badan manusia. Ia banting daun pintu dikuncinya rapat. Nafasnya tak teratur, keringat dingin peluh di dahinya. Dibukanya lagi pintu perlahan ia mengintip. Masih banyak orang di luar. Mereka berpesta, berkejaran, menari-menari-melonjak-lonjak, sebagian ada yang duduk berbicara dengan suara yang sangat keras, mulut mereka mengucapkan kata-kata seperti berteriak. Tiba-tiba pandangannya menangkap seorang perempuan berambut pirang yang di jepit ke belakang seperti ekor kuda, wajah itu tak asing baginya, seorang perempuan yang menggambar gelas di tangan kirinya sendiri. Wajah itu begitu menakutkan, pandangan mereka beradu, saat yang sulit bagi David.

Ia merasa persembunyiannya diketahui oleh perempuan itu. Ia cambuk wajah David dengan alisnya yang tajam, hantaman mata perempuan itu membuat David terjungkal ke dalam kamar. Cepat-cepat Ia menutup rapat pintu, tubuhnya tersandar dan akhirnya jatuh terduduk dengan kaki yang menekuk lalu lurus kedua tangannya pun jatuh ke dasar.

***

Siang hari di rumah, suasana sepi. Nikita belum pulang dari sekolah, Ibu masih di pasar, jam di dinding menunjukkan pukul setengah sebelas pagi waktu yang terlambat untuk berangkat kerja. David belum mandi, ia masih menikmati acara televisi, berulang kali mengganti program tapi tak ada tontonan yang menarik, ia segera mengambil handuk menuju kamar mandi.

Langkahnya tiba-tiba terhenti, bayangan isi kamar mandi kembali menyeruak dalam pikirannya. Ia merasa takut untuk membuka pintu, rasa takut masih menggantung di benaknya.

Hati-hati, perlahan ia mengintip ke dalam kamar mandi, matanya mengamati seisi ruangan seksama.

Bersih tampak biasa tak ada yang aneh hanya air kran yang masih menyisakan tetes-tetes kecil menggelembung lalu jatuh. Jantungnya berdebar ia masuk ragu-rau, sebelum melepas handuk, memastikan terlebih dahulu bahwa tak ada gelas di dalam kamar mandi. Katup kran dibukanya pelan-pelan, air mengucur memenuhi bak mandi. Semuanya terasa baik-baik saja, aman. David segera melepas handuk menggantungnnya di tabir pintu, ia nikmati segarnya air dengan segenap keraguan, sekujur tubuh ia basahi sambil matanya tetap berjaga-jaga di sekitar. Tak begitu lama ia telah selesai dan kembali ke kamar.

Hal yang sama ia lakukan seperti memasuki kamar mandi, debaran jantungnya was-was awas terhadaap sekitar, pintu kamar terbuka ia masuk. Keadaan dalam kamar normal-normal saja tak ada sesuatu yang aneh atau bakal mengancamnya, hanya saja memang terlihat ada gelas di atas meja yang tinggal setengah air putih tersisa. Ia tak mau menatapnya lama-lama, sisa trauma masih menguntit.

Hanya saja hari ini ia bingung apa yang mau diperbuat, jam kerja sudah habis. Seperti biasa jika tak ada kesibukan David hanya di rumah sambil menunggu Ibu dan adiknya pulang.

Ia duduk santai sembari membaca buku di ruang tamu. Terdengar suara pintu di ketuk, ia bergegas menuju ambang, membukanya dan ternyata seorang perempuan berdiri di hadapannya.

“David?”

Perempuan itu menegaskan kalau yang sedang berdiri di hadapannya adalah orang yang ia cari.

Lelaki itu heran bercampur penasaran seperti mengenali wajah tamunya.

“Ada apa Mbak?”

Sesuatu yang dibungkus kantong plastik berwarna hitam diserahkan tamu itu kepadanya. Ia tak cukup mengerti.

“Siapa, ya? Em ……, maksudnya anda siapa dan apa ini …?” David sedikit ragu menerima bungkusan itu.

“Silahkan masuk Mbak”

Tapi perempuan itu menolak “Terima kasih, saya hanya mengantarkan titipan ini saja.”

Perempuan itu berlalu sementara David masih tak mengerti. Bungkusan plastik yang ia terima dengan ragu dibuka sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Ia masih ragu apa gerangan isi bungkusan ini. Keringat mulai muncul satu persatu berupa butiran-butiran kecil di dahi ia usap dengan lengannya sampai ke dagu.

Mulutnya menghirup udara dalam-dalam pipinya mengembungkempis. Terang saja ia sedikit takut sebab beberapa waktu yang lalu ia baru saja mengalami hal aneh dan menakutkan. Dengan segenap keberanian, perlahan ia buka bungkusan itu.

Seluruh tubuhnya menggeletar saat tahu ternyata isi titipan dari tamu yang tak dikenalinya itu adalah sebuah gelas bening yang berukiran setangkai mawar setengah mekar berdaun tunggal.

Seketika ia kembali teringat dengan peristiwa aneh yang ia alami, wajah perempuan itu melintas lagi berulangkali.

David terhenyak, ia ingat perempuan yang mengantarkan bingkisan ini adalah orang yang membawanya dalam mimpi buruk selama ini.

Gelas.
***