Evi Idawati
suarakarya-online.com
Malam menusuk. Sunyi menggelayut. Titik cahaya dari gurun awan memanggil, mendesah dan menggigil. Mendengar suara dari hati yang menekuk lidah. Yang selalu berdetak dengan satu kata. Air yang mengalir dari ujung mata, persembahan bagi kedamaian dan gairah untuk mencintainya. Seperti rasa nyaman perempuan dalam pelukan suami setelah bisa rindu menggigit tulangnya. Seakan bayi yang lelap dalam buaian bunda. Perasaan itulah yang selalu membuatku berputar dan berputar. Aku terbang! Membelah langit! Menyusur malam! Membelai bulan!
Maka, jika aku menggulung sajadah sekarang, sayap yang aku punya akan terbakar. Menghentikan dikirku padanya, tak! Aku mencintainya, sama beratnya dengan mencintai mimpi yang aku bangun dari masakecilku. Tapi jantung yang terpompa sekian lama, merubah arah. Aku terpaku. Ngilu.
“Mbak, sampeyan cantik sekali. Eksotik. Mau saya kenalkan dengan majikan saya. Bule. Dia sedang mencari perempuan untuk dijadikan istri-istrian selama tinggal di sini. Pasti anak-anak sampeyan akan cantik dan bagus-bagus. Atau menemani majikan saya saja, semalam. Biasanya tarif sampeyan berapa?” padam mukaku. Mataku pisau. Menari-nari, menakar dan mengira, bisa menancapkannya dimana, pada tubuh sopir taksi yang sedang mencoba meramahiku. Aku memang baru keluar dari hotel yang biasa dijadikan tempat menginap para bule.
Dia pasti mengira aku sedang melayani tamu dan sekarang sedang berniat melayani tamu yang lain. Ah, apa yang tampak dan terlihat,jika dikatakan, menyakitkan! Aku gemetar. Runtuh sudah kebanggaan yang kubangun atas nama cinta. Sopir taksi masih mengoceh dan bertanya tentang banyak hal lainnya.
Tapi aku tak berminat berkata. Aku menekuk lidahku dan berdikir. Saat taksi berhenti di depan rumah. Aku turun perlahan. Dan membuka gerbang rumahku. Masih terdengar suara sopir taksi.
“Rumahnya disini to mbak. Syukurlah, saya jadi tidak perlu repot-repot mencari sampeyan jika majikan saya ingin dicarikan perempuan.” Aku berusaha tersenyum. Dan mentertawakan diriku sendiri. Tapi bibirku kaku. Gigi menjadi besi. Dan kata-kata tersembunyi, menukik dipalung terdalam lautan. Ikan-ikan yang berumah disana menggelepar. Bukan bebatuan yang terlempar ditubuhku. Tak pula reruntuhan tembok rumah yang terguncang lindu. Ada yang menampar pipiku berulang. Menjambak rambut dan memutar-mutarnyakannya. Ada yang membantingku ke tanah. Ngilu, nyeri tak tertahankan. Aku mendekap dadaku. Terduduk di sofa. Dering telepon. Tak membuatku beranjak. Aku ingin bersembunyi, bersama sunyi. Menari dan menyetubuhinya. Tak ada kata-kata hanya tatapan mata dan peleburan rasa.
“Wahai Engkau yang aku puja! Lihatlah! Tak ada yang bisa membuatku beranjak! Kemana aku menyembunyikan diri dari penglihatan dan dugaan. Aku menyerahkan diriku padaMu, segalanya menjadi debu di namaMu. Engkau pemilik hidupku, keagungan yang senantiasa aku rindu! ”
Aku merintih dalam sujud panjang. Dikir yang mengaung sekian lama. Dalam gerak, nafas dan kehidupan. kembali mengalir dengan dentuman luka. Kepedihan ini, Kekasihku. Menjadi lukisan. Aku pernah berdosa! Jika kata-kata yang lewat dan terdengar kemudian terasa menyakitkan, aku berharap, hanya caraMu mengingatkan.
Bukankah aku sedang menujuMu, mencari ridhoMu. Suara hati yang tertoreh luka hanya jadi redaman, menjadi gelisah yang berkepanjangan. Tapi sujudku malam ini, bukan hanya meminta pengampunan. Tapi kerinduan untuk menyapa kekasih jiwa. Jika tangan ini bergerak dan jantung berdetak. Detakannya adalah seruan cinta. Atas nama dan ridhoMu, aku melaju pada ruang samar yang Kau gariskan.
“Istriku sayang, aku ingin kamu menyusulku ke Bali, hari ini. Aku kangen!” suara lelaki dari telepon yang sudah menjadi hidupku sekarang ini. Membuka pagi. Aku menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan kepergiaanku. Telepon biro travel. Memesan tiket pesawat. Konfirmasi dan lain-lain. Entah kenapa aku bahagia. Menjalani hidup yang samar-samar.
Barangkali hal-hal yang teramat jelas dan benderang memuakkan. Mungkin juga karena tidak ada tempat diruang terang itu untukku. Atau dengan terlindung cahaya, aku bisa lebih banyak membaca detail, gerak, ikhwal segala hal yang terlintas dan menjadi bagian dari kehidupan benderang. Dan aku bisa mencatatkannya. Meski begitu kegelapan tidak mampu memikatku. Aku tidak tertarik pada kelam.
Aku memang perempuan panggilan. Aku akan kemana saja untuk bersama dengan lelaki yang menjadi suamiku sekarang ini. Karena Allah aku mencintainya. Jika dia menginginkan aku, maka dia akan telepon dan memintaku menyusulnya. Kemanapun.
Di hotel A, di kota B, di dusun C, aku menurutinya. Tidak ada kehidupan yang normal seperti orang kebanyakan. Kami tidak punya rumah, apalagi cita-cita bersama.Kami hanya bercinta, berbahagia. Berjanji mencintai dan aku mensetiainya. Orang tidak tahu jika aku istrinya. Maka perkataan seperti yang diucapkan sopir taksi itu, yang sering aku dengar, tidak bisa disalahkan. Pun tatapan mata dari para pegawai hotel dan karyawannya. Kadang aku bisa melupakan dengan cepat. Tapi kadang mengganggu.
Sering aku menyalahkan diriku sendiri dan merasa terjebak dengan perasaan cinta yang berlebihan. Tapi aku bukan pemilik diriku sendiri. Bukankah aku dengan rela hati menyerahkan diri dan kehidupanku pada yang memberi hidup. Maka jika Dia menitipkan sesuatu padaku, aku akan menerima dan mensyukurinya.
Malam berlabuh dimatamu. Sepi bergulir. Menarawang cinta dari bibir rindu. Aku memandang wajah lelaki yang tertidur di sebelahku. Begitu lelap. Rekat matanya. Nafasnya mengalun lembut. Apa yang ada di mimpinya. Melihatnya damai dan tenang, aku terpesona. Setiap kali bertemu, aku selalu jatuh cinta padanya. Bahkan dalam kemarahanku. Aku merindukannya. Maka jika harus melompati gunung. Menyeberang sunyi, senang hati, aku memilih bersamanya. Tak akan kudengarkan suara orang. Perempuan panggilan! Ah! Biarkan saja!
***