Dibalik Kesederhanaan Surti

Benny Benke
suaramerdeka.com

Setelah bermain sebagai Hamengkubuwono VII dalam film Sang Pencerah arahan Hanung Bramantyo, Sitok Srengenge kembali ke dunia asalnya dengan menyutradari lakon teater berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling. “Surti…,” sebagaimana dikatakan Sitok di sesela latihannya di Jakarta kemarin, berangkat dari naskah yang ditulis prosais dan budayawan Goenawan Mohammad (GM) dari naskah berjudul sama yang ditulisnya pada 2008.

Naskah Surti dan Tiga Sawunggaling bernarasi tentang tokoh Surti, seorang janda pejuang, yang mendiang suaminya gugur sebagai komandan gerilya ketika bertempur melawan tentara pendudukan Belanda. Semasa agresi militer Belanda I pada tahun 1947 dengan latar pesisir kota Batang, ketika Belanda berhasil melakukan pendudukan di Karasidenan Pekalongan.

Untuk mengisi kekosongan hari dan hatinya sepeninggal gugurnya suami tercinta, Surti memadatkan hari dengan kegiatan membatik. Dan motif batik Surti tidak lain dan tidak bukan bermotif burung Sawunggaling. Burung Sawunggaling itu, sebagaimana ditulis GM, berasal dari benua yang terbelah, yang dari sana mengalir lahar panas, yang akhirnya akan mendingin dengan sendirinya. Dari lahar yang akhirnya mendingin itulah, menjelma burung Sawunggaling yang akhirnya malihrupa menjadi sebuah cermin.

“Inti cerita Surti dan Tiga Sawunggaling, tak ubahnya sebuah cermin. Apabila kita memandangnya, maka wajah dan perkataan kita akan dipantulkan kembali olehnya,” kata Sitok. Melalui burung Sawunggaling itulah, Surti mengenang suaminya yang gugur sebagai komandan gerilya. Dengan berbagai kenangan lain yang menyertainya, seperti munculnya perlawanan politik, hubungan antargerilyawan serta kisah kecemburuan.

Cerita Surti dan Tiga Sawunggaling berangkat dari sejarah resmi atau kejadian aktual, teristimewa semasa pendudukan Belanda semasa agresi militer I di wilayah Karesidenan Pekalongan, pada tahun 1947 di pesisir kota Batang.

Surealis

Yang menarik dari lakon ini, bagi Sitok sebagai sutradara, karena Surti secara cerita sangat sederhana. “Tapi dibalik kesederhanaan tokoh Surti banyak hal yang tidak biasa,” katanya. Seperti plot yang tidak linear, alias maju mundur. Serta tokoh yang kongkrit atau nyata hanya tokoh Surti. Tokoh lainnya imajiner, termasuk kelindan peristiwa-peristiwa yang membangun cerita di dalamnya.

Sehingga naskah surealis itu, dianggap menantang Sitok yang lama bergelut di dunia teater dari masa ‘ngangsu ilmu’ bersama mendiang dramawan WS. Rendra dan Bengkel Teaternya. Yang paling menantang dalam naskah ini, imbuh Sitok, menejermahkan hal-hal yang subtansial dari peristiwa-peristiwa yang imajinatif. “Tapi sebisa mungkin diakomodatifkan dalam sebuah adegan”.

Sedangkan permasalahan utamanya adalah sebisa mungkin menghasilkan elemen-elemen panggung atau artistisk agar tetap dapat mewakilkan wilayah imajinatif, sebagaimana versi asli naskahnya. Untuk mewujudkan proyek terbarunya itu, aktris, dan pemain teater Inne Febrianti dipercaya melakonkan tokoh Surti.

Dari proses latihan yang digulirkan sejak dua bulan lalu, mulai proses reading naskah, hingga pendalaman karakter yang dipusatkan di rumah Inne di Jl, Sadar Raya no 77, Jagarkasa, Jaksel, Sitok sudah mendapatkan gambaran lakonnya akan berbentuk seperti apa.

Oleh karena itu, karena dia menilai naskah GM itu bagus sebagai teks, namun tidak pada plot, maka pensiasatannya harus diciptakan dinamika panggung seefisien mungkin. Untuk, lakon ini didukung orang-orang terdepan dalam bidangnya, diluar nama Inne Febrianti. Seperti nama Hartati (koreografer tari), Clink Sugiarto (tata cahaya), Jevar Lumban Gaol, dan Mogan Pasaribu (musis director), Avinati Arman (set, dan protperti), Seno Joko Suyono (dramaturgi), dan Sitok sendiri sebagai sutradara dan artisitik.

Kain Pile

Sitok melanjutkan, bidang tata cahaya akan menjadi sangat penting, karena seluruh panggng, termasuk langit-langit, kostum dan benda yang ada di dalam panggung semua berwarna putih, “Kemudian akan diwarnai dengan efek pencahayaan, sebagai betuk penggambaran ketakterbatasn ruang.

Konsep ini, klaim Sitok, adalah konsep artistik yang belum pernah ada di Indonesia. Plus keberadaan kaca dibelakang panggung dengan ukuran 6X12 meter. Sedangkan sisi panggung kanan kiri, atas bawah diblok kain putih. Dan untuk menggambarkan keadaan relaisme dibentangkan kain Pile, atau klambu transparan di depan panggung.

Sebagai sebuah lakon teater berbentuk monolog, Surti dan Tiga Sawunggaling menurut rencana akan dipentaskan di pada 12-13 November di Teater Salihara. Setelah itu dikelilingkan di empat kota: Lampung, Jogja, Semarang, dan Bandung. Dan tidak menutup kemungkinan tahun depan akan dibawa ke Adelaide, Australia dan Amsterdam, Belanda.

Menurut GM, sejatinya Surti dia buat untuk diberikan kepada kelompok teater Garasi Jogjakarta. Tapi karena tidak menyanggupi, karena dinilai terlalu surealisme, maka diambil alih oleh Sitok. GM mengaku cukup senang dengan konsep artistis yang digagas Sitok, yang menurut dia sama sekali baru. Apalagi para pendukung Surti yang terdiri dari 10 hingga 12 orang itu, tidak mendapatkan bayaran atas jerih kreativitasnya. Termasuk Inne Febrianti.

Surti yang berdurasi maksimum 90 menit juga sebagai penanda kembalinya Sitok ke dunia teater. Tercatat, sebelumnya pada tahun 87 dia menyutradarai lakon Perampok karya WS. Rendra yang dipertunjukkan di Teater Besar IKIP Rawamangun. Setahun kemudian, lakon yang sama dipertontonkan di Gedung Balai Masyarakat Depok. Setelah itu, dia membesut lakon Pengakuan Pariyem, karya Linus Suryadi dalam rangka peringatan 100 hari kematian Linus di teater Utan Kayu. Terakhir lakon Soliloque Karna, yang diadaptasi dari Catatan Pinggir (Caping) GM dimainkan dan disutradarainya sendiri di Pakubuwono Residen pada 2005.
***