Judul : Sang Ahli Gambar Sketsa, Gambar & Pemikiran S Sudjojono
Penulis : Aminudi TH Siregar
Penerbit : S Sudjojono Center dan Galeri Canna
Cetakan : Pertama, Oktober 2010
Tebal : 410 Halaman.
Peresensi : Muh. Muhlisin
http://balaibelajarbersamayuk.blogspot.com/
Praksis sejarah pemikiran seni rupa Indonesia pada awal abad ke-20, tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Sundudarsono Sudjojono. Ia dikenal sebagai tokoh besar seni lukis Indonesia pada masa pergerakan nasional dan pada masa terjadinya polemik kebudayaan tahun 1930-an. Buah pemikirannya telah memberikan kontribusi besar bagi kelompok yang ingin menampilkan seni lukis yang bernafaskan kerakyatan.
Dalam buku ini S Sudjojono yang akrab di panggil Pak Djon di tempatkan sebagai tokoh sentral dalam pergolakan seni di Indonesia. Sebab dialah tokoh yang berani mengkritik seni yang bercorak Hindia Belanda. Sindudarsono Sudjojono adalah putra kelahiran Sumatra Utara, pada 14 Desember 1913.
Kemauannya untuk menjadi seniman sudah dia perlihatkan sejak usia muda dan dalam menjalani proses diri menjadi seniman handal ia lakukan tidak setengah-setengah. Begitu juga bagaimana penguasaanya terhadap teknik lukis ia tekuni dengan totalitas. Akhirnya, ketekunannya membuahkan hasil. Pada akhir 1930-an hingga 1940-an, kepeloporan Sudjojono dalam pengembangan seni lukis tanah air sulit di sangkal. Dia tidak saja membangun seni tapi juga merumuskan pengertian tersebut sebagai kesadaran baru, yang merintis munculnya nilai-nilai baru, paradigma baru dalam praktik seni lukis.
Selama hidupnya Pak Djon bukan hanya pelukis nasionalis yang sangat menguasai teknik melukis tetapi juga pemikir dan kritikus seni rupa. Ia pula yang menciptakan dan mempopulerkan istilah Seni Rupa, Seniman dan Sanggar. Pak Djon yang dijuluki sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, merumuskan pengertian “apa itu seni” dalam kalimat pendek yang belakangan ini menjadi kredo terpopuler di dunia seni rupa: “Jiwa Ketok, atau Jiwa Tampak”.
Jiwa Ketok sebenarnya adalah upaya Pak Djon dalam memperingatkan para seniman agar bekerja dengan “kebenaran”. Dia juga tidak menginginkan lahirnya pelukis-pelukis medioker yang menganggap “keterampilan teknik” tidak diperlukan. Karena pelukis semacam ini biasanya berlindung di balik retorika, kalau bukan teori atau filsafat. Para avonturir diingatkan tentang craftmanship. Katanya, “kalau teknik sudah dikuasai, dia mau melantur terserah.” (Halaman, 107).
Dalam catatan sejarah, Pak Djon juga dikenal sebagai pencetus istilah “Mooi Indie”. Istilah ini adalah ungkapan sinisme Pak Djon yang pada awal abad ke-20 seni lukis pribumi mengalami perkembangan dalam bentuk organisasi hingga friksi aliran. Pada masa ini muncul seni lukis gaya Mooi Indie (Idie/Hindia Belanda yang indah) yang hanya bisa dinikmati kaum bangsawan dan elit politik saja. Melihat semua itu, Pak Djon dan Kawan-kawan melakukan perlawanan dengan mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1937. Lahirnya organisasi ini juga menandai lahirnya seni modern Indonesia.
Kelompok ini mengusung gaya realisme kerakyatan, menentang kaum Mooi Indie yang bersifat elitis. Kelompok ini terutama Pak Djon sangat menentang pelukis-pelukis yang hanya menampilkan keindahan alam atau gadis cantik. Bahkan, Basuki Abdullah yang tersohor sebagai pelukis istana ia kecam habis-habisan karena melukiskan perempuan dan keindahan alam.
Bagi Pak Djon, karya lukis kolonia Belanda atau Eropa yang menggambarkan keindahan optimis, tidaklah mengungkapkan alam jiwa masyarakat Indonesia yang sebenarnya. Yang digambarkan itu “bukanlah timur” melainkan “representasi tentang timur”. (Halaman, 46).
Menelisik pemikiran Pak Djon yang ada dalam buku ini mengingatkan bahwa penulis buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam khazanah pemikiran seni Indonesia. Kesadaran akan seni yang bukan hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit saja tetapi juga untuk rakyat. Pak Djon adalah simbol penolakan “kolonialisme seni” bahkan gambaran alam dalam lukisan-lukisan Pak Djon mengarah ke “patriotisme” yang merefleksikan kuatnya kesadaran nasionalisme sang ahli gambar.
Penulis adalah Pustakawan P-Zat, Yogyakarta
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/ 1482-B Yogyakarta