Tantangan Dewan Kesenian Lampung

Iwan Nurdaya-Djafar
lampungpost.com

Pada 16 Februari 2011 bertempat di Balai Keratun, Bandar Lampung, berlangsung Musyawarah Dewan Kesenian Lampung yang dihadiri sekitar 70-an peserta dari 118 seniman-budayawan yang diundang. Di samping memilih pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 2011—2014, musyawarah juga membahas program dan organisasi. Namun, rekomendasi mengenai pembaruan struktur organisasi yang digagas Komisi A gagal disahkan karena dalam pemungutan suara hanya disetujui oleh 21 peserta, sementara 24 peserta menolak.

Sejatinya, pembaruan struktur organisasi yang ditawarkan justru untuk memperkuat DKL mengingat terdapat kelemahan pada periode lalu, khususnya dalam hal kehumasan, pencarian sumber dana di luar APBD, dan kurang efektifnya bagian penelitian dan pengembangan sehingga perlu dikembangkan menjadi bidang program, yang akan bertugas menyerasikan program yang diusulkan komite-komite dan perlunya program antarkomite.

Penolakan itu kiranya dapat menjadi catatan bagi pengurus terpilih untuk membenahi kelemahan yang ada meskipun tidak muncul pada struktur. Artinya, fungsi kehumasan, pencarian sumber dana, dan efektivitas program dapat dikerjakan oleh sekretariat bersama-sama para ketua bidang.

Dalam hal program, rekomendasi yang ditawarkan oleh Komisi B yang sebagian besar diterima oleh peserta musyawarah kiranya benar-benar dapat diaplikasikan dalam penyusunan program DKL mendatang. Di antara usulan itu adalah bahwa program DKL harus lebih membumi dengan melihat realitas yang ada di tingkat komunitas-komunitas kesenian. Dalam hal ini, komite sebagai ujung tombak kiranya dapat menyusun program berdasarkan realitas yang ada.

Misalnya saja, perlunya menerbitkan buku sastra daerah Lampung setiap tahun. Hal ini merupakan langkah strategis demi menyelamatkan sastra Lampung dari ancaman kepunahan. Pada 1994, Amran Halim yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa meramalkan bahwa dalam 25 tahun ke depan sastra daerah akan punah. Dan itu akan terjadi pada 2019, berarti sekitar 8 tahun lagi. Menghadapi tantangan serius itu, kiranya DKL tergugah untuk ikut menyelamatkannya. Program penerbitan buku tidaklah membutuhkan dana kelewat banyak, dan karena itu DKL pasti mampu melaksanakannya.

Penerbitan buku sastra Lampung setiap tahun tersebut juga dimaksudkan agar tidak terputus. Baru-baru ini terbetik kabar menyedihkan bahwa tahun 2011 Lampung gagal memperoleh Hadiah Sastra Rancage karena tidak ada buku sastra Lampung yang terbit sepanjang tahun 2010. Padahal Lampung sudah dua kali memperoleh hadiah itu melalui kumpulan puisi Lampung modern Udo Z. Karzi bertitel Mak Dawan Mak Dibingi dan kumpulan cerita gubahan Asarpin Aslami bertajuk Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong.

Tantangan lain bagi pengurus DKL terpilih adalah agar bisa aktif menjalankan tugasnya dan belajar berorganisasi dengan baik. Betapa pun, Anda mengemban amanah yang dipercayakan oleh para seniman untuk berperan sebagai katalistor terhadap segenap potensi kesenian yang ada di Lampung. Bila terjadi friksi dan konflik di lingkungan internal pengurus DKL, harus diatasi dengan baik dan secara dewasa. Harapan Ketua Umum terpilih Hj. Syafariah Widianti (Atu Ayi) dalam pidato penutupan yang menandaskan perlunya kekompakan, kerja sama yang baik antarpengurus, dan pentingnya kerja keras, mesti benar-benar dicamkan dan diejawantahkan dalam dinamika kerja pengurus DKL.

Tentu saja pekerjaan rumah yang belum sudah bagi pengurus DKL adalah mendorong Pemerintah Provinsi Lampung dan DPRD untuk melanjutkan pembangunan gedung kesenian. Gedung kesenian yang terletak di kompleks PKOR Way Halim, Bandar Lampung itu, sudah mulai dibangun sejak 2008 dan terus dibangun pada tahun-tahun berikutnya. Konon sudah menyita dana sebesar Rp3,1 miliar. Kiranya dalam satu-dua tahun ke depan gedung kesenian ini dapat selesai dibangun dan dapat dipergunakan baik untuk mempergelarkan pertunjukan kesenian maupun sebagai kantor DKL. Selama ini DKL seperti kucing beranak karena mesti pindah-pindah kantor.

Di atas itu semua, gedung kesenian adalah suatu mimpi panjang yang belum sudah mengejawantah. Sejak kepengurusan DKL periode pertama pada 1993, harapan para seniman untuk adanya gedung kesenian yang representatif sudah diusulkan kepada Gubernur Lampung Poedjono Pranyoto. Namun, sampai masa jabatan beliau berakhir, gelagat akan dibangunnya gedung kesenian itu tak kunjung tampak. Para seniman pun sudah sering melontarkah hal ini lewat pers. Tetapi tiada tanggapan. Pada Temu Teater 1995 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung, hal itu pun dipersoalkan. Termasuk mengundang Gubernur dan Bappeda Provinsi Lampung. Dalam sambutan Gubernur waktu itu dikatakan bahwa keuangan Pemprov belum memungkinkan.

Dalam tulisan saya untuk buku Pedjono Pranyoto: Kesan dan Pandangan dari Sahabat (1997) yang disunting oleh Amin Fauzi A.T., saya menulis, “Bagi saya, sebelum gedung kesenian itu dibangun, berarti gubernur punya utang budaya. Alangkah idealnya, jika utang budaya itu dilunasi tanpa harus ditagih terlebih dulu. Disadari bahwa membangun gedung kesenian itu mahal, dan mungkin pula tidak menguntungkan secara ekonomi. Tapi ingin diingatkan kembali di sini bahwa ada hal-hal yang mungkin sama sekali tidak menguntungkan secara ekonomi, tapi secara kebudayaan harus ada karena kehidupan membutuhkannya. Termasuk di sini gedung kesenian dan kesenian itu sendiri. Keuntungan yang diraih kesenian pertama-tama bukanlah uang, melainkan kebahagiaan bersama, hikmah pencerahan, hiburan, dan keuntungan imaterial lainnya. Pendeknya, gedung kesenian itu penting sekali sebagai tempat terjadinya katalisasi kesenian dan sekaligus sebagai panggung bagi kinerja kesenian.”

Mengawali tulisan itu, saya mengutip gurauan Pak Poedjono ketika saya dan teman-teman seniman beraudiensi untuk melaporkan rencana pendirian DKL. Beliau berkomentar, “Wah … tuan-tuan terlambat lima tahun. Mengapa baru sekarang terpikir membentuk Dewan Kesenian Lampung.” Kata “terlambat” maksudnya karena baru pada periode kedua masa jabatannya kami menyampaikan hal itu. Mengakhiri tulisan itu, saya justru menulis, “Jika pada awal tulisan Poedjono Pranyoto bergurau bahwa DKL terlambat dibentuk, pada akhir tulisan ini saya akan menangis kalau pembangunan gedung kesenian di Lampung terlambat.”

Menurut selentingan, Pak Poedjono terusik oleh tulisan saya itu, dan berjanji akan menyampaikan “utang budaya” itu kepada penggantinya. Tetapi, gedung kesenian itu toh tetap kekal sebagai mimpi panjang. Baru pada 2008 Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. tergugah untuk membangunnya. Itu berarti, sudah dimulai pada masa DKL dipimpin oleh Pak Herwan Achmad, dan terus dilanjutkan ketika DKL dipimpin oleh Atu Ayi.

Atu Ayi sendiri dalam pidato penutupan Musyawarah DKL dengan lantang berkata bahwa dalam periode jabatannya yang kedua ini diharapkan gedung kesenian sudah dapat berdiri. “Kita harus menerima ini sebagai amanah dan tantangan,” tandas Atu Ayi.

Tantangan yang dilontarkan Atu Ayi itu kiranya dapat disambut oleh para pengurus DKL terpilih untuk terus mendorong pembangunan gedung kesenian, yang kelak berfungsi juga sebagai oasis bagi “padang tandus” Bandar Lampung yang telanjur menjadi kota sejuta ruko ini. Tabik, selamat bekerja, pun.
***