Lukisan Perempuan *

Kafiyatun Hasya

“Aku memang tak menampakkan dihalayak banyak orang, tapi aku tahu kau diantara mereka”. Ucapmu padaku disenja kemaren. Entah kenapa aku tak bisa mengerti posisimu. Kau sebagai seorang pelukis yang terkenal, tak pantang memenyerah ketika malas menyambar semagatmu. Mungkin itu karena kau hidup dari hasil corat-coret tanganmu. Tapi aku yang berstatus kekasihmu sejak dua tahun yang lalu, tak penah kau kenalkan dengan teman-temanmu. Kau hanya mengenalkanku pada lukisan-lukisanmu. Kau paling banyak melukis perempuan daripada benda atau makhluk lainnya. Saat ditanya, kau hanya menjawab dengan senyuman serta sentuhan lembut ditanganku untuk sekedar menenangkanku.

“Ah, kau sangat pandai merayuku! Jangan-jangan kau menyimpan perempuan lain, lalu kau alihkan dengan melukis wajah-wajah mereka dikanvasmu” sergahku

“Tidak, tidak akan. Aku bukan penghianat. Kau satu-satunya kekasihku. Perempuan dilukisanku tak pernah berarti bagiku, mereka hanya barang kesayanganku saja”

Kau ini seperti hidup dizaman kerajaan saja, kau simpan selirmu dengan rapat dan aneh. Kau simpan mereka pada kanvas-kanvas kebanggaanmu, yang kelak jika kau beruntung, lukisan-lukisan itulah yang akan mengisi perut kosongmu”.

“Berarti aku berhutang budi pada perempuan dilukisanku, begitu maksudmu?!” kau memandangku sinis dan ragu, lalu kau menatap langit luas, memejamkan mata seraya mengucap kata-kata yang tak jelas ditelingaku.

“Kau berdo’a saja, agar tak pernah ada selir-selir seperti yang kau katakan. Jika itu terjadi bukan berarti aku penghianat, melainkan ada kesalah kesalahan yang tak pernah kita sadari.”

Sedetik kau menatapku, lalu membuang wajahmu kelangit luas lagi. Seakan mengharap sesuatu jatuh darisana. Entah itu berupa kebahagiaan atau duka. Kau meninggalkanku tetap sendiri duduk dibatu besar. Batu yang aku duduki memang sangat besar dan kokoh selama tidak ada benda yang lebih kuat menimpanya. Tapi aku perempuan, bukan batu kuat dari langit seperti yang selalu kau harapkan.

“Kisah cintaku tak boleh kandas disini. Aku susah payah mengumpulkan gugusan-gugusan kecil cintaku untuk kita jadikan titian-titian hidup. Perjuanganku baru dimulai”.

* * *

Diakhir pekan, kau mengajakku untuk menemanimu dalam acara pameran lukisanmu. Hampir satu bulan satu kali kita bersama diacara yang dihadiri para penyuka seni dan budayawan. Tak jarang, lukisanmu dibeli dengan harga yang cukup mahal. Aku mengamati tiap lukisanmu. Selalu begini, sama seperti yang dulu-dulu. Lukisan perempuan melulu. Perempuan jawa yang berkerudung. Entahlah, kenapa aku tidak juga mengeri filosofi lukisan kekasihku. Padahal hanya wajah perempuan.

“Mas Pras” panggilku ketika acara pameran usai

“Kenapa Din?”

“Kita langsung pulang atau jalan lagi?”

“Kita ketempat biasa saja”.Aku menurut saja apa yang kau katakan, selama aku masih bisa bersamamu.

“Kau yakin kisah kita tidak akan buruk?” tanyaku padamu saat duduk di batu besar.

“Bukan lantaran karena aku tak perduli padamu, maka kisah buruk terlahir untuk kita, aku tak membawa kisah buruk untuk hubungan kita. Aku tidak akan membawakan kisah-kisah sendu. Aku tak ingin membuatmu terus-terusan gamang. Aku tak ingin menambah bebanmu”.

“Aku tak habis pikir, kenapa aku sapai mencintaimu”.

“Itu adalah keajaiban”. Jawabmu pendek.

Tak jelas, kenapa kau sembunyikan aku seperti selir-selirmu,dalam kejauhan imajinasi dan kelakar nalurimu. Kekasihku yang sangat aku puja dan kunanti, yang aku harap dapat menghancurkan segala kegelisahan. Dan setelah lama aku mencoba menerima kehadiranmu, pada sejumput yang tak pernah lepas dihatiku, aku menjadi sangat mencintaimu.

Perempuan yang berharga bagimu, adalah prempuan yang bisa menampakkan wujudnya pada kanvas-kanvasmumu. Apa bagusnya bagiku, jika lukisan kekasihku saja aku tak mengerti. Apa itu berarti aku tak benar-benar mencintaimu?! Alangkah tragisnya, jika putik bunga berserakan dikakimu sebelum waktunya. Ambillah segala putik bunga-bungaku, dan kau akan tahu betapa kejamnya pelukis wajahku yang tak menyamakan aku dengan bunga-bunga yang lain.

Bercinta denganmu membuat aku lupa. Teman-temanku yang begitu bersikukuh bahwa kau bukan lelaki sejati, yang tak pernah bisa mengakui aku sebagai kekasihmu. Namun, itu tak membuat aku mati suri.

“Din..” kau memulai percakapan dipertemuan kali ini

“Iya mas?”

“Semalam aku bermimpi”

“Ah, itukan sudah biasa”

“Tidak, ini mimpi yang tak seperti biasanya”

“Apa sich?!”

“Dengar, dengarkan aku baik-baik”. Kau diam sebentar mengambil nafas.”aku bermimpi kau menjadi patung dilukisanku. Lalu menjelma bunga kering. Tapi aku sangat menyukainya. Meski bunga itu kering, gairahnya tak mengurangi niatku untuk terus memoleskan warna-warna kehidupan. Biasanya kau hadir bukan sebagai obyek lukisanku, paling tidak kau hanya menemani aku jalan-jalan dipulau khayalanku”.

“Apa maksudmu?”

“Aku senang ketika Tuhan memberiku mimpi tentang keberadaan dan tubuhmu. Jarang sekali itu terjadi”.

“Kau hawatir aku menjadi patung yang tak punya warna-warna cerah kehidupan bila kita bersama?!”.

“Tidak”

“Itu omong kosong sayang…”

“semoga saja memang omong kosong!”

Untuk sekian kali lagi kau menampakkan wajah hawatirmu. . Dengan sebatag rokok kau hembuskan segala ragu lewat asap yang membumbung, menjauh, dan mengabadi dilangit. Satu keraguan terlewatkan dibatinmu. Menyamai angin yang kerap menampar daun-daun kering. Yang membawa debu dan daun kering terpisah dari kerabatnya. Jka ia seorang manusia, mungkin dihari tenang ia kembali mencari kerabatnya. Aku tak mau seperti daun kering yang berjarak dengan kerabatnya, begitupun dengan kekasihku.

“Jangan terus-terusan ragu, itu akan mempengaruhi pikiranmu”.

“Aku tidak ragu,. Aku sedang berpikir bila kau jauh dariku apa yang akan terjadi padamu. Karna aku lelaki, aku tak risau”.

Aku tak mengerti dengan perasaan kekasihku. Haruskah aku redam seja gejolak yang menyembul ketika bertemu denganmu didepan banyak orang?!. Padahal pertemuan ini yang aku tunggu. Dengan merenung dan melamun tak membuahkan hasil. Serupa apapun kisah kita, aku peduli. Aku kerap menatap lekat-lekat matamu sambil menerawang, kira-kira adakah sebongkah kesetiaan yang terjerat, atau malah telah terlepas dari jeratan ikut halimbubu. Andai halimbubu itu mengerti keinginanku, tafsiranku akan membaik.

Aku menangkap gerut berbeda pada jalan pikiranmu. Lama kelamaan aku merasa bosan. Ada keinginan untuk tak peduli padamu, berharap kisah kita berakhir saja disini. Dari saking capeknya aku bertekad saja. Meninggalkanmu.

Aku ingin kita bertemu
ditempat biasa

SMSku masuk diponselmu sepuluh hari setelah pertemuan terakhir kita. Besoknya pada waktu yang telah kita sepakati kau tengah duduk di batu besar itu. Kau menggeser dudukmu untukku. Lalu kau membuka tasmu, mengeluarkan secarik kertas buram.

Kertas ini bukan kertas pink
Ini kertas buram. Tapi cinta
Bukanlah hal yang nampak.
Banyak hal yang tidak nampak
Yang bisa kita rasakan.
Adinda, dikeningmu bibirku
Ingin diam dan berpulang
Prasetyo
Sepulang pameran

“Senjata penyair adalah kata-katanya yang tulus”. Ucapku ketika ketika aku sudah membaca tulisanmu. Lalu duduk disampingmu. Persis seperti kemaren-kemarennya.

“Aku sependapat denganmu. Karena itu ketulusan. Aku terserah kamu saja. Kau mau terus seperti ini denganku atau malah meninggalkanku. Jika kau meninggalkanku aku putuskan, aku akan berhenti saja melukis wajahmu”.

“Apa?”

“Ya, selama ini aku melukis wajahmu yang telah tercemari disetiap lenguhan inspirasiku. Dengan wajah yang berbeda dengan bunga-bunga yang lainnya. Kau adalah bungaku meski tanpa atau dengan putik. Bagiku kau sama saja. Kau lebih berharga dari semua hasil lukisanku”.

Dengan rasa bahagia yang begitu saja membuncah pada hatiku seketika. Disiang ini, ditempat bebas penuh dengan beribu keinginan untuk hidup damai, aku menemukan seberkas keyakinan bahwa kau adalah lelaki yang belum sepenuhnya aku pahami, namun begitu sangat menghawatirkan aku.

“Adinda… aku begitu mencintaimu..”

* * *

Menyatakan perasaan kia dengan bahasa tubuh, yang diwakili oleh tangan atas jari-jari kita adalah ungkapan puncak keindahan. Ternyata coretan kekasihku adalah kumpulan perasaan cintanya.

Bagiku kau mas, adalah menyatukan rantai kisah cinta yang sungguh indah. Dengan segala yang telah kita lewatkan aku tak pantas meningglkanmu begitu saja. Mengenalmu, menjadikan aku sebagai putri bunga cantik dalam setiap lukisanmu. Kau sangat mahir melukis wajah, begitupun melukis kisah kita.

“Mas..,aku punya harapan besar padamu, menjadi yang berharga dan terindah dalam hidupmu. Disetiap dentingan do’a-do’aku, namamu dan segala harapan kita selalu kuucap.Semoga…”

Paiton 15 april 2009.
*) Dimuat di majalah ALFIKR.

Bahasa »