Malam Panjang Sebelum Bunyi Dor

I G.G. Maha Adi
majalah.tempointeraktif.com

Dor. Lalu sunyi. Dan berakhirlah hidup Kusni Kasdut, menjelang fajar awal Februari, 23 tahun silam. Lelaki ceking itu dikenal sebagai penjahat kambuhan yang kerjanya menculik, merampok, dan membunuh orang. Seorang polisi, sepasang suami-istri, dan seorang pengusaha mati di tangannya. Berlian di museum nasional juga ia rampok.

Enam belas tahun sebelum mati, hakim memutuskan nasibnya akan berakhir di depan regu tembak. Tapi lima kali ia berhasil kabur dari penjara. Itu sebabnya di kalangan penjahat ia jadi legenda. Tapi tiga peluru di jantung dan lima di perut Kusni pada subuh itu menghabisi petualangan hitamnya. Kusni Kasdut mati di depan algojo. Tubuh lelaki dari Tulungagung, Jawa Timur, itu lunglai di tiang penyangga.

Beberapa jam sebelum ajal itu datang, Kusni, yang punya nama asli Ignatius Waluyo, punya permintaan terakhir. Ia ingin duduk di tengah keluarganya. Kepala penjara Kalisosok Surabaya memenuhi permintaan itu.

Sembilan jam sebelum dibawa pergi tim eksekutor, begitu tulis reportase Majalah TEMPO, Kusni duduk di tengah anak, menantu, dan dua cucunya. Makan malam terakhir disajikan di atas meja: capcai, mi, dan ayam goreng kegemarannya.

Keluarga itu menangis kecuali Kusni. Ia hanya menitipkan pesan terakhir yang sederhana: agar honor dari kisahnya yang ditulis Parakitri Simbolon dan diterbitkan Gramedia diurus Bambang, anak dari istri pertamanya.

Kusni lalu kembali ke selnya dan hanya duduk dekat terali besi, merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sesekali bersembahyang. Ketika tim eksekutor menjemputnya pukul 3.00 pagi, ia menolak disuruh mandi. Kusni lalu menyalami petugas yang selama ini menjaganya.

Di depan penjara sebelum menuju lapangan tembak, telah menunggu dua perwira polisi yang menangkapnya ketika kabur dari Penjara Lowokwaru, Malang. Mereka memeluk Kusni. Tak lama terdengar deru 19 mobil polisi yang beriringan membawa pesakitan itu pergi. Sejak malam itu ia tinggal nama.

Henky Tupanwael lain lagi. Dia ini juga disalahkan pengadilan sebagai pembunuh, dan dihukum mati sebelum Kusni Kasdut. Ketika fajar tahun baru 1980 menyingsing, Henky mendapat kabar yang tak terlalu mengejutkannya: keputusan grasinya ditolak Presiden.

Elmaut menjemput setelah ia menunggu 16 tahun. Lelaki berkulit gelap itu cuma pasrah. “Itu takdir saya,” katanya. Permintaan terakhirnya tak banyak, cuma ingin makan ikan bandeng dan tongkol. Yang lain: ia ingin bertemu ayah dan adiknya. Ketika ayahnya memintanya ikut berdoa untuk terakhir kalinya, ia menolak. Bahkan pendeta yang mendampinginya selama dua tahun terakhir ditampiknya ikut dalam acara itu.

“Bila orang mencapai surga dengan kebaikan, biarlah saya mencapai dengan jalan kejahatan,” katanya suatu kali kepada petugas penjara. Henky tidur pukul 5 sore hingga pukul 11 malam. Bangun sebentar untuk mengisap rokoknya, ia tidur lagi sampai pagi. Tepat pukul 04.00, dengan memakai sandal jepit dan kemeja cokelat yang salah satu kancingnya salah terpasang, Henky dijemput di selnya.

Tubuhnya yang gempal terikat di tiang dengan tali ijuk. Matanya ditutup kain merah. Ia berdiri di atas daun kelor yang berserakan. Konon, banyak yang yakin Henky kebal peluru dan cuma daun kelor yang bisa menawarkan ilmunya.

Sebelum peluru berlomba mendesing ke arahnya, ia minta bicara dengan seorang jaksa eksekutor dari Jakarta yang ia kenal. “Mungkin ini setimpal dengan kesalahan saya,” katanya lirih. Kepada jaksa ia minta diberi nasihat terakhir. “Tabahkanlah hatimu, Henky, selamat jalan,” kata jaksa itu. Jaksa yang lain berucap, “Banyak cara untuk menghadap Tuhan, mungkin cara sekarang inilah yang ditakdirkan untukmu.”

Detik itu pun tiba. Senapan menyalak dan tubuh Henky lunglai seketika di lapangan tembak milik kepolisian di Pamekasan, Madura. Malam itu menjadi malam terakhir penantiannya selama 16 tahun setelah palu hakim diketukkan.

Rupanya, penundaan eksekusi hingga belasan tahun dan tanpa alasan jelas sudah kebiasaan sejak dulu. Oesin bin Umar Batfari, orang pertama yang dihukum mati selepas Orde Lama, harus menunggu sebelas tahun untuk berdiri pasrah di depan regu tembak. Oesin seorang pedagang di Jagalan, Mojokerto, Jawa Timur, yang dihukum mati karena membunuh enam mitra bisnisnya pada tahun 1964.

Pada suatu hari pertengahan Juli 1978, tempat kematiannya sudah ditetapkan di dekat Pantai Kenjeran, Surabaya.

Satu regu provos dari Kodak X (sekarang Polda) Jawa Timur yang membukakan pintu kematian tak sabar untuk segera bekerja. Kedua mata Oesin ditutup kain hitam, dan tubuhnya diikat di sebuah tiang setelah seorang kiai menuntunnya berdoa dan mengucapkan tobat.

Oesin hanya menitipkan pesan singkat kepada para pejabat yang datang menyaksikan eksekusinya, “Saya menitipkan adik saya Amak.” Adiknya juga dihukum 20 tahun karena membantunya melakukan kejahatan. Kepada istrinya ia berpesan jangan sampai anak-anaknya tahu siapa bapaknya. Dan seperti kata istrinya, Rafi’ah, kepada TEMPO ketika itu, “Anak-anak tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menanyakan bapaknya.” Oesin tewas ketika matahari pagi baru saja bersijingkat menerangi Kota Buaya.

Hukuman mati yang paling anyar dijatuhkan kepada tiga orang yang didakwa hakim membunuh keluarga Theofilus Pingak di Rote Barat Daya, Kupang. Pada 1989 Theo, istri, dan dua cucunya dibantai di rumahnya gara-gara ada yang ngiler melihat uang penjualan sapi yang ternyata tinggal Rp 100 ribu.

Tiga minggu kemudian polisi menangkap Gerson Pandie, Frederik Soru, dan Dance Soru. Di pengadilan, jaksa membuktikan mereka bersalah dan hakim mengetukkan palu hukuman mati. Pada 1994 grasi mereka ditolak Presiden dan sejak itu mulailah ketiganya menyiapkan diri menghadapi kematian. Dance tewas tersengat listrik di penjara tahun 2000, sehingga cuma Frederick dan Gerson yang menghadapi regu tembak.

Pada akhir Mei 2001, hari penentuan itu tiba. Cuaca Kota Kupang yang panas makin membuat gelisah keduanya. Sehari sebelum eksekusi, Gerson menulis surat permintaan maaf untuk keluarganya yang disampaikan lewat seorang pelayan rohani. Kepada petugas ia bilang mau cepat-cepat dihukum mati agar tak lagi membebani keluarganya. Cuma itu pesan mereka. Dan pada sebuah Jumat malam akhir Mei, para eksekutor menjemput keduanya di Penjara Penfui, Kupang.

Menjelang tengah malam, ketika semua lampu sel di Penfui telah dimatikan, masuklah iringan tiga mobil penjara dan mobil polisi. Frederick dan Gerson diangkut dengan mata tertutup, dan mobil bergerak perlahan menuju tempat eksekusi, sekitar 35 kilometer dari penjara.

Dokter memeriksa keduanya dan menyatakan jantung dan organ lain sehat. Mereka dibawa ke tengah lapangan, diikat di sebuah tiang kayu. Pendeta lantas membacakan doa. Ketika hari berganti Sabtu, petugas memberi tanda dengan cat tepat di jantung mereka. Angka jarum jam menunjuk 01.52, ketika 24 polisi dari Brimob Kupang mengangkat senjatanya.

Senjata yang dikokang mengeluarkan bunyi krek. Suasana sunyi benar. Tak ada yang berani bicara. Kelebatan sinar terlihat ketika sebilah pedang dicabut dari sarung. Kepala Kejaksaan Tinggi Kupang yang memimpin eksekusi malam itu mengayunkan pedang tinggi dan lurus.

Detik merayap di antara suara degup jantung dan tangan algojo yang menggenggam senapan. Inilah saatnya. Ketika ujung pedang mengayun ke bawah, rentetan tembakan terdengar. Dor-dor-dor. Malam kembali hening. Dokter yang memeriksa kemudian memberi tanda: keduanya telah mati. Peluru bersarang di jantung dan kepala mereka.

24 November 2003.

Bahasa ยป