Helmy Beryliansyah
Menulis sedikit review tentang seorang penulis kenamaan Indonesia membuat keinginan seandainya saja saya mampu konsisten seperti dia, “as soon as possible”, menjadi seorang tetap berkarya dalam dunia tulis-menulis bahkan menjadi sebuah mata pencaharian. Untuk menulis mungkin sulit untuk diharapkan, tapi setidaknya bisa tetap berkarya didalam hidup agar lebih berarti, yang kata orang, “hidup hanya sesaat”. Suatu keinginan besar dari seorang yang malas.
Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu tokoh dalam dunia sastra di Indonesia patut diacungi jempol karena konsistensinya dalam dunia sastra. Dia adalah salah satu tokoh yang dapat dikatakan memiliki totalitas dalam dunia yang digelutinya yaitu dunia sastra. Tidak semua pengarang mampu menggantungkan hidupnya hanya dari menulis tanpa memiliki usaha yang lain. Hal ini disebabkan karena dalam dunia sastra khususnya tulis menulis sangatlah labil, tidak selamanya seorang pengarang mendapat penghargaan dari masyarakat akan karya yang dibuatnya, sehingga tidak jarang para pengarang memiliki profesi lain selain menjadi seorang pengarang.
Lain halnya dengan seorang Pramoedya sebagai seorang pengarang dia benar-benar memiliki totalitas dalam dunianya dari hasil mengarang dia gantungkan hidupnya dan keluarganya tanpa memiliki usaha lainnya. Walau pada kenyataannya banyak hal dalam hidupnya yang membuat dia harus jatuh bangun menjalani kariernya sebagai pengarang. Namun semua itu tidak membuat dia menyurutkan niatnya dalam membuat karya-karya tulis. Kebutuhan untuk menafkahi keluarga yang ia bangun mendorong dia untuk lebih produktif lagi. Baginya segala macam cobaan yang datang kepadanya makin memperkaya tulisannya.
Pramoedya terjun ke dunia tulis menulis dikarenakan rasa kekurangpercayaan dirinya. Rasa rendah diri membuatnya tidak memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat di depan teman-teman sebayanya, dan sejak itulah dia mulai menulis. Menulis untuk mengemukakan pendapatnya. Selain, karena ayahnya merupakan seorang yang aktif menulis.
Berbagai kejadian yang terjadi dalam hidup seorang Pramoedya, dari kesulitan keuangan, perceraian dengan sang istri serta merasakan sisi gelap dari kekuasaan yaitu penjara dari masa Penjajahan Belanda, masa Orde Lama, sampai masa Orde Baru pernah dia rasakan. Tetapi hal-hal tersebut tak menyurutkan niatnya menulis. Menulis adalah bagian dari hidupnya, bahkan penderitaan yang menimpa berkali-kali, sering kali terbebaskan oleh nalurinya untuk terus menulis. Kuncinya ialah penyerahan diri, dan dari sikap tersebut dia mulai menulis tak peduli penjara, penderitaan, dan siksaan yang menimpanya. Seperti naskah Perburuan dan Keluarga Gerilja yang berhasil dia selundupkan dari penjara karena ada larangan untuk menulis.
Kisah di pulau Buru adalah suatu kisah kelam yang pernah dialaminya. Selama lebih dari sepuluh tahun ia ditahan di sana tanpa proses pengadilan dan ada larangan menulis. Saat terpenting pada masa itu adalah ketika ia diberi izin menulis, yaitu pada 1973. Dari sinilah lahir sebuah karya yang sangat luar biasa yang mengantarkannya mendapat nominasi Nobel pada tahun ’80-an yaitu sebuah karya tetralogi Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya yang ditulis dengan latar belakang realitas sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Pada masa ini lahir pula sebuah karya yang ditulis dengan riset sejarah yang mendalam Berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa.
Sekitar pada tahun 1950-an adalah masa produktif dalam kariernya sebagai pengarang karena pada masa ini banyak karya-karya yang di tulisnya antara lain Pertjikan Revolusi (1950), Subuh (1950), Tjerita dari Blora (1952), Tjerita dari Djakarta (1957). Semua merupakan kumpulan cerita pendek. Selain itu adapula karangan yang berupa roman yaitu Perburuan (1950), Keluarga Gerilja (1950), Ditepi Kali Bekasi (1951), Mereka jang Dilumpuhkan (1952), Gulat di Djakarta (1953), dan sebagainya.
Sebagai seorang pengarang Pramoedya adalah tokoh yang patut di contoh totalitas dalam bidang yang dia geluti sangat tinggi serta konsisten dalam setiap karya-karyanya. Dalam masa sekarang sangatlah jarang orang yang mampu menjalani hidup hanya dari menulis karena kurangnya totalitas terhadap dunianya dan mudah menyerah ketika masyarakat sudah tidak tertarik lagi dengan karya seorang pengarang maka tak jarang pengarang menyerah dan berhenti menulis. Totalitas dan konsisten serta terus eksis menjalani semua menjadi sebuah kunci kehidupan.
Wish Could be like him…
19 April 2011
http://bahasa.kompasiana.com/2011/04/19/konsisten-seperti-pramoedya-ananta-toer/