Sri Wintala Achmad
___Kedaulatan Rakyat, 9 Okt 2011
MESKI fajar masih jauh dari rengkuhan purnama, Duryodana telah terbangun dari tidur. Duduk di atas sebongkah batu di bawah Ketapang yang meneteskan embun dari langit berkabut tipis ke bumi renta. Pandangan matanya tak bercahaya. Harapan untuk menguasai tanah Astina dari tangan Pandawa mulai pudar. Bisma, Durna, Burisrawa, Dursasana, Jayajatra, dan Karna telah binasa di padang Kurukasetra.
Airmata Duryodana menetes di pipi yang mulai berkeriput. Kedua matanya berkaca-kaca, saat mengingat sang putra mahkota. Sarja Kusuma yang didambakan siang-malam untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja Astina telah binasa di tangan Abimanyu. Putra Arjuna yang gugur di padang Kurukaserta dengan tubuh diranjap seribu panah.
Purnama telah bertakhta di langit barat. Duryodana masih duduk terpekur di bawah Ketapang. Bersama seleret bintang jatuh, Duryodana merasakan firasat buruk akan gugurnya senopati pilihan yang akan berangkat dari Perkemahan Bulu Pitu. Menuju Kurukasetra, sesudah matahari muntah dari rahim malam.
***
Terompet kerang dititup panjang. Seluruh prajurit yang tersisa berkumpul di padang Perkemahan Bulu Pitu. Dengan dipimpin Salya sang senopati agung Astina yang telah berdiri tegap di atas kereta, seluruh prajurit menuju padang Kuru Kasetra. Di mana pasukan Amarta telah menyongsong dengan hujanan panah. Melihat pasukannya porak-poranda, Salya murka. Melepaskan aji Candhabirawa. Beribu-ribu raksasa bajang memenuhi Kurukasetra. Membinasakan prajurit rucah Amarta.
Dari kejauhan, Kresna yang bermata Wisnu segera memerintahkan Nakula dan Sadewa untuk menghadapi Salya. Bukan melawan, melainkan minta dibinaskan. “Sekejam-kejam harimau, tidak akan memangsa anaknya sendiri. Ketahuilah, putra Madrim! Tidak ada yang mampu membinasakanku, selain ksatria berdarah putih.”
Mendengar ungkapan Salya, Nakula dan Sadewa meninggalkan Kurukasetra. Menghadap Yudistira yang tengah duduk berparas pasi di dalam tenda Perkemahan Randu Watangan. “Kanda Prabu…. Tak ada senopati Amarta yang sanggup melumpuhkan kesaktian Wa Salya, selain Kanda sendiri.”
Diikuti Arjuna, Yudistira yang telah dijelmai sukma Bragaspati itu meninggalkan perkemahan. Memasuki rimba Kurukasetra. Dalam sekejap, ribuan raksasa bajang itu serupa ribuan kelelawar yang berterbangan memasuki pintu goa. Lenyap di dalam tubuh Yudistira. Selepas aji Cadhabirawa, Arjuna melesatkan Pasopati ke arah dada Salya. Raja Mandaraka itu terkapar di tanah dengan tubuh bersimbahkan darah. Sukmanya melayang-layang bagaikan kapas putih. Menuju langit lapis sembilan.
***
Menyaksikan Salya gugur di medan laga, pasukan Amarta – Arjuna, Bima, Setyaki, Trustajemena, Srikandi, dan Udawa – merangsek ke barisan pasukan Astina. Sebagimana prajurit lainnya; Aswatama, Kartamarma, dan Krepa mengambil langkah seribu untuk menyelamatkan nyawanya ke dalam hutan. Sementara Sengkuni yang tak dapat berlari kencang itu tertangkap Bima. Tewas di ujung Pancanaka. Darahnya yang merah kehitam-hitaman dan bermau anyir menyembur dari lubang mulut dan duburnya. Bangkainya menjadi santapan segerombolan gagak.
“Hem….” Di atas kereta yang tak berkusir, Duryodana menggeram sekeras guntur musim kemarau. Menghela napas panjang. “Tak aku sangka, bila sebagian bawahanku bermental pelacur. Mereka selalu menyanjung-nyanjungku seperti tuhan saat masih punya peluang untuk naik pangkat dan gaji. Namun mereka membiarkanku dalam bahaya, saat harapan itu seperti mimpi di siang bolong. Brengsek!”
“Kakang Duryodana….” Sapa Bima membuyarkan lamunan Duryodana. “Turunlah dari kereta! Menyerahlah! Sebagian pasukanmu telah binasa. Sebagian lainnya telah menjadi pecundang di rimba Kurukasetra.”
“Pantang Duryodana turun dari kereta hanya untuk bertekuk lutut di kaki Yudistira. Sekalipun hanya semata wayang, namun Gada Intenku masih sanggup merobek mulutmu, Bima!”
Darah Bima menggelagak sampai ke ubun kepala. Tanpa berpikir panjang, Bima memukulkan Gada Rujakpala ke roda kereta. Duryodana terpental jauh dari tubuh kereta yang hancur berkepingan bersama empat kudanya. Seperti anjing, Duryodana merangkak ke arah Gada Intennya. Sesudah meraih gada itu, Duryodana bangkit. Melangkah tegap ke arah Bima.
“Kamu masih bernyali menghadapiku, Kakang Duryodana?”
“Kenapa tidak, Bima? Kamu cucu Eyang Kresna Dwipayana, aku pun juga. Kamu lahir dari seorang perempuan, aku pun juga.”
Bagaikan kilat yang menyambar-nyambar di langit siang, Bima menerjangkan Gada Rujakpala ke arah Duryondana. Berkat kesempurnaan ilmunya yang dicerap dari Guru Baladewa, Gada Rujakpala itu hanya mengenai Gada Inten. Seusai Gada Inten itu tinggal sebesar kelingking, Bima berhasil menyarangkan Gada Rujakpala ke betis Duryodana. Tubuh raja Astina itu terkapar di tanah. “Menyerahlah Kakang!”
“Pantang putra Destarastra menyerah di kaki putra Paman Pandu!”
Bima mengangkat Gada Rujakpala tinggi-tinggi. Menjojohkan ujung gada itu ke paha, kelamin, perut, dan dada Duryodana. Namun, tak terduga kemudian. Manakala Bima menjojohkan gada itu ke kepala Duryodana yang disertai teriakan terakhirnya, langit sontak berselimutkan awan merah. Bersama amukan angin yang berpusar seperti gasing raksasa, langit menderaskan hujan darah. Empatpuluh hari empatpuluh malam lamanya.
***
Di puncak Gunung Mahameru, Yudistira yang selamat dari bencana berkat pertolongan perahu gaib itu tertunduk lesu. Merenungi Bharatayuda yang hanya berakhir pada bilangan kosong. Tak ada kejahatan yang kalah. Tak ada kesalehan yang jaya. Keduanya telah sempurna dalam ketidak-sempurnaannya.
Pada hari kesembilanpuluh sembilan sejak tinggal di puncak Gunung Mahameru, Yudirtira turun ke Padang Kurukasertra. Tak terlihat rongsokan senjata dan kereta. Tak terlihat bangkai gajah, kuda, prajurit, dan saudara-sudaranya. Selain hanya terlihat seorang anak kecil yang mengidungkan syair-syair dari kitab Kalimasada. Syair-syair yang menghantarkan matahari baru di Bumi Astina.
Syair-syair Kalimasada itu usai dikidungkan, Yudistrira lenyap dari tangkapan mata wadag. Disertai anjingnya, Yudistira naik ke surga. Sementara anak kecil yang telah menutup kitab Kalimasada itu mengakhiri kisahnya.
Cilacap, 30092011