Menakar Optimisme Hitler

Judul Buku: Ardennes 1944, Pertaruhan Terakhir Hitler
Penulis: James R. Arnold
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, September 2011
Tebal: VIII + 120 halaman
Peresensi: Welly Adi Tirta *
http://www.lampungpost.com/

AWAL Perang Dunia II, nama Hitler moncer. Eropa mampu ia kuasai. Sumber daya Lembah Ruhr yang legendaris itu mampu ia sulap menjadi pabrik yang tak henti beroperasi. Sistem persenjataan yang baik didukung kampanye keunggulan ras Arya membuat Hitler menjadi penguasa baru Eropa.

Nama-nama jenderal perangnya pun terkenal dan menggentarkan lawan-lawan di medan laga. Dari jago tank dan penemu blitzkrieg Jenderal Heinz Guderian sampai rubah gurun dalam perang di Afrika Utara, Jenderal Erwin Rommel.

Sekutu-sekutunya semisal Italia dan Jepang juga menjadi sejawat yang karib demi menjaga kaisar dunia. Hitler memang luar biasa. Tekadnya yang kuat menjadi penguasa baru dunia tecermin dalam optimismenya dalam setiap strategi.

Sayang, menjelang akhir Perang Dunia II, roda pedati terbalik. Tidak ada lagi kisah pasukan akbar Hitler merangsek ke tanah Eropa sampai ratusan ribu tentara Inggris terbirit-birit pulang dari pelabuhan Dunkirk. Tak ada juga kehebatan tank Jerman sehingga dijuluki bak sekelebatan sinar blitz. Hitler pongah.

Optimismenya berlebihan. Semua saran panglima perangnya tak ia hiraukan. Ia bahkan paranoid dengan orang-orang dekatnya sampai seorang Erwin Rommel ia paksa minum racun sampai mati.

Ardennes

Di Ardennes inilah titik balik Hitler berlaku. Di saat setiap hari 7.000 pasukannya gugur di medan tempur, ia masih optimistis Jerman masih bisa bertahan. Di tengah pemaparan Generalfieldmarschall Gerd von Rundstedt sebagai komandan front Barat, Hitler tak ambil pusing.

Hitler malah mengambil alih. Inilah gaya konservatif seorang Fuehrer. Hitler menginstruksikan untuk membawa pasukan menyerang Ardennes. Rundstedt diam. Dalam hati ia berujar, “Antwerp? Kalau bisa mencapai Meuse saja, kita harus berlutut dan berterima kasih kepada Tuhan.”

Namun, Hitler bergeming. Ia percaya naluri militernya mengatakan kemenangan masih bisa diperoleh. Hitler mengatakan penyerangan yang dilakukan pada cuaca buruk untuk menetralkan serangan udara Sekutu.

Hitler yakin Sekutu akan lambat membalas karena the allies mesti mengatur rencana terlebih dulu. Hitler merasa yakin serangan kilat kejutan yang didukung satuan komando khusus akan menyebabkan teror dan menghancurkan Sekutu di Ardennes. Dan yang terjadi pun antiklimaks.

Tanggal 26 Desember 1944 adalah titik balik. Jerman beruapa mengisolasi Bastogne, tapi usaha Von Manteuffel gagal. Ia mau mundur. Kelambanan cara bertindak Hitler membuat pasukan baru mundur pada 8 Januari tahun berikutnya. Pasukan Sekutu terus masuk.

Pasukan Ketiga Patton dan Pasukan Pertana Hodges bertemu di timur laut Bastogne. Mereka kemudian masuk ke Rhein di Remagen. Korban pertempuran Bulge di pihak Amerika lebih dari 10 ribu tewas, 47 ribu luka-luka, dan 23 ribu hilang. Di Jerman, jelas lebih banyak. Pasukan Amerika cepat menggantikan yang hilang, sementara Jerman tidak bisa melakukan itu.

*) Welly Adi Tirta, pembaca buku