Cerita Miris ‘Sastrawan’ Muda

A.D. Zubairi

Ada yang mencuri pertemuan kita kali ini, entah pagi entah siang.
Sebelum orang-orang meninggalkan kamp pengungsian,
telah kita sepakati sejumlah rencana untuk menandai setiap jejak dan kenangan.
Sambil mencatat seluruh masa silam untuk dihaturkan
pada jarak usia yang semakin renta.
Tenda-tenda yang memuat jutaan kesedihan manusia telah dikosongkan.
Hanya sisa nafas dan almanak yang terus tanggal dan membikin sesat.
Tak jua ada sekelebat bayangmu menawarkanku duduk berselonjor di atas tikar seperti banyak pertemuan sebelumnya.
Maka, aku kutuk kesunyian setelah berahi merindukan
kehadiran tak benar-benar tertuntaskan.
Tak ada yang dapat memaknai ketertinggalan yang telah aus dan memunah,
selain sunyi yang tak selesai menanggung kesesatan sepanjang jalan-jalan menuju kepulangan terakhirnya.

(puisi kiki, Kepada Yang Tertinggal, Kompasiana, 5 oktober 2011)

Puisi di atas karya A. Faruqi Munif, kami biasa meyebutnya kiki, seorang kompasianer yang karyanya lolos seleksi untuk mengikuti Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate Maluku Utara, 25-29 oktober 2011. Ia termasuk dari 81 –dari 595— peserta yang puisinya dinyatakan lolos seleksi oleh dewan Kurator TSI IV. kiki juga adalah peserta termuda dalam kegiatan itu.

Kiki masih sangat muda. Lahir 2 juli 1994. Berarti sekarang masih 17 tahun. Saat ini ia sebagai pelajar kelas 3 di SMA 1 Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep. Memang sejak masih di MI ia suka membaca. Sementara dunia menulis, ia tekuni sejak kelas VI.

Kiki saya lihat memang seorang yang tekun. Jika sedang asyik membaca buku atau novel, ia bisa berjam-jam. Kadang lupa makan dan istirahat. Ia tidak begitu suka nonton TV. Satu-satunya acara TV yang ia suka hanya sepakbola. Kebetulan sejak di MI ia memang pelanggan setia tabloid bola. Tiap minggu kiki pasti membelinya, meski itu harus mengurangi uang jajannya.

Hasil ketekunan membaca dan menulis, sudah ia panen sejak ia duduk di bangku MTs. Ketika itu cerpennya sudah dimuat di majalah sastra Horison. Setelah duduk di bangku SMA kreativitasnya terus berlanjut. Puisinya di muat di beberapa surat kabar dan majalah. Bahkan ia bersama teman-temannya sudah menerbitkan antologi puisi yang diterbitkan dan dipasarkan sendiri. Puisi-puisinya juga masuk dalam antologi sastrawan muda, sudah dua buku yang terbit.

Cerita Miris, Bukan hanya di UIN Bandung

Cerita miris tentang lemahnya apresiasi terhadap sastra tidak hanya terjadi pada mahasiswa UIN SGD Bandung, sebagaimana yang ditulis Sukron Abdilah di kompasiana, Rektorat UIN SGD Bandung minim Apresiasi Sastra (Laporan warga ini ternyata menarik newsroom untuk menampilkannya di kompas.com, Rektorat UIN SGD Hanya Bisa Berangkat Satu Mahasiswa). Soal cerita miris kiki juga mengalaminya.

Kepada saya, kiki cerita. Karena besarnya biaya transportasi yang harus ditanggung peserta (panitia TSI cuma menyediakan akomudasi dan konsumsi), ia bermaksud memohon bantuan kepada dinas pendidikan. Saya pun mendukungnya. Toh dia berangkat ke ternate pasti megharumkan nama daerah. Apalagi ia seorang pelajar. Tetapi sebelum mengajukan proposal, ada seorang teman yang menyambungkan kepada dinas pendidikan. Tapi sayang, kata pejabat dinas, tidak ada anggaran untuk acara seperti itu.

Kiki pun tahu diri. Ia gagal menyerahkan proposal ke dinas. Saya hanya berpikir, dinas pendidikan telah melakukan diskriminasi. Tentu perlakuan dinas akan berbeda seandainya ada seorang pelajar yang mau dikirim ke olympiade matematika atau fisika nasional/internasional. Jika menang, pasti pelajar itu dikirab keliling kota dan diberi penghargaan yang langsung diserahkan bupati.

Tetapi bagi pelajar yang memiliki bakat di bidang sastra? Jangankan dikirab. Saya yakin dinas pendidikan tidak akan pernah punya database para pelajar yang memiliki bakat di bidang sastra. Penghargaan sepi, sesepi dunia penyair.

Gagal ke dinas pendidikan, kiki mencoba memasukkan permohonan bantuan ke dinas pariwisata dan budaya. Oleh bagian front office kiki di suruh ke atas, menemui salah seorang pejabat penting di disparbud.

“Ada apa,” kata pejabat kurang ramah

“begini pak, saya lolos seleksi temu sastrawan Indonesia di…..,”

“oo…maksudnya minta bantuan kan,” si pejabat itu langsung memotong kiki

“bukan sekedar itu, tapi perkenankan kami menjelaskan,” kata kiki

“Gak perlu itu, intinya minta sumbangan kan. Kalau minta sumbangan, pengajuannya taruh saja di front office,” kata pejabat itu, yang menurut kiki judes dan kurang respek. Meski dengan hati dongkol, kiki mengikuti prosedurnya. Meski beberapa hari kemudian ketika dikonfirmasi, dinas tersebut tidak menyediakan anggaran untuk itu.

Saat ini kiki sedang menunggu bantuan dari pemerintah daerah. Surat pengajuan disampaikan langsung atas nama sekolah kiki dan ditujukan kepada bupati. Ketika dikonfirmasi oleh kiki, kontak person di pemda menyampaikan bahwa surat telah ada di tangan bupati. Cuma kepastiannya kapan, kiki sendiri tidak yakin akan dicairkan sebelum berangkat. Kemungkinan besar kalau pun diterima, baru dicairkan setelah pulang dari kegiatan.

Akhirnya, karena belum jelas, ayah kiki merogoh kocek sendiri untuk biaya transportasi pesawat kiki ke ternate. Paling tidak pulang pergi dengan tranportasi lokalnya, ayah kiki harus menyediakan uang sebesar 3 juta rupiah. Tentu bukan perkara gampang bagi orang yang tinggal di kampung . tetapi, Alhamdulillah saat ini kiki sudah membeli tiket pesawat pulang pergi ke ternate atas biaya ayahnya. Kiki sudah siap mewujudkan mimpinya, ketemu sama sastrawan Indonesia , dimana dan kepada siapa ia sendiri harus banyak belajar.

Penutup

Terus terang saya prihatin, dunia fiksi dan orang yang menggelutinya tak memperoleh penghargaan yang cukup dari banyak pihak, termasuk pemerintah. Ini sangat berbeda dengan olympiade matematika atau fisika yang sangat gemerlap. Peristiwa kiki dan mahasiswa UIN SGD Bandung, sebaiknya perlu menjadi bahan refleksi bahwa kita benar-benar diskriminatif terhadap sastra atau dunia fiksi, sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Dan saya buka kartu dan sedikit narsis, saya kenal baik sama kiki, karena ia anak kakak saya alias keponakan.

Matorsakalangkong

Sumenep, 20 oktober 2011