KAMBOJA MERAH

Sri Wintala Achmad
___Minggu Pagi Yogya

Hampir seminggu. Deretan rumah bordil di pinggiran kota Langensari berpintu rapat terkunci. Di luar, tidak ada lelaki-lelaki mabuk menyanyi parau dengan iringan gitar murahan. Perempuan-perempuan berias menor, beraroma menyengat, dan mengisap sigaret pula tidak kelihatan sibuk berburu tamu.

Lelah aku mencari Lastri. Pelacur tigapuluhan yang selalu berbagi suka-duka denganku manakala sepi tamu. Perempuan yang terpaksa menjalani hidupnya sebagai penghuni rumah Bordil Kasiyem karena dipekerjakan oleh suaminya itu, telah menjadi bagian hidupku. Lastri seperti cahaya pada lampuku.

Tidak seorang tahu kemana Lastri. Kasiyem hanya bilang, “Entah kemana perginya anak liar itu.” Pak Man, pemilik warung angkringan yang berseberangan jalan dengan rumah bordil itu hanya mengatakan. “Lastri tidak pernah menampakkan batang hidungnya semenjak musim garukan.”

Dari keterangan Pak Man, aku berfikir bahwa Lastri terkena razia. Maka pada pagi harinya, aku starter Vario hitamku menuju kantor polisi. Tempat puluhan pelacur yang serupa harimau-harimau tanpa taring dan kuku itu tersekap di dalam kerangkeng baja.

Di depan sel, pikiranku kacau. Lastri tidak ada di antara pelacur-pelacur itu. Namun dari salah seorang, aku menangkap secercah cahaya. Pelacur bertubuh gempal seperti babi itu bilang, “Lastri telah dibebaskan oleh seorang lelaki berambut bros.”

“Anda mengenalnya?”

“Tidak. Lelaki yang sebaya dengan anda itu tampak alim. Dia belum pernah berkeliaran di tempat kami bekerja.”

“Ya, sudah! Terima kasih.”

“Anda siapa? Pacar Lastri?”

Tanpa menjawab pertanyaan pelacur bertubuh gempal itu, aku tinggalkan sel yang pesing. Di halaman kantor polisi, bahuku ditepuk oleh seorang lelaki berseragam lengkap. “Maaf! Ada apa, Pak?”

“Kamu lupa denganku, ya?”

“Maaf! Aku tidak mengenal Bapak.”

“Kamu masih ingat kawan SMP-mu yang selalu minta bantuan untuk menyelesaikan PR Aljabar-nya?”

Aku berfikir serius. Mengingat-ingat pengalaman duapuluh tahun silam sewaktu masih duduk di bangku SMP Negeri Ngudimulya. “Apakah Anda Harto? Putra petani kecil yang selalu bilang kepada kawan-kawan sekelas ingin menjadi seorang polisi?”

“Benar.”

“Hebat!”

“Apa? Hebat?” Harto ngakak hingga seluruh giginya kelihatan. “Ada urusan apa kamu di sini? Aku siap membantumu.”

“Aku mencari kawanku yang terkena razia. Ia, seorang penghuni rumah bordil di pinggirang kota Langensari.”

“Siapa?”

“Lastri.”

“Ia sudah dibebaskan.”

“Aku tahu. Siapa yang membebaskannya.”

“Aku.”

“Mengapa kamu melakukannya? Apakah kamu punya hubungan khusus dengan Lastri?”

“Tidak.”

“Lantas?”

“Karena Lastri, istriku selamat dari maut. Ia yang membawanya ke rumah sakit sewaktu istriku terserempet bis kota di depan kantor pos pusat.”

“Kamu tahu di mana Lastri sekarang?”

“Di rumahku.”

“Aku ingin melihatnya.”

“Ikuti aku, Mad!”

Bergegas aku menuju ruang parkir. Menstarter Vario hitam. Sesudah mesin berderu, aku ikuti kemana Harto mengarahkan laju mobil dinasnya. Sepanjang jalan, hatiku berbusa-busa. Rinduku pada Lastri segera terobati. Namun sesampai di rumah Harto, harapanku untuk menemui Lastri pupus. Istri Harto bilang, “Lastri telah pergi sepulang dari rumah kawannya.”

“Pergi kemana, Mbak?”

“Tidak tahu. Ia pergi tanpa pamit.”

Mendengar jawaban dari istri Harto, tidak ada yang aku lakukan selain pulang dengan tubuh terasa tak bertulang. Aku serupa awan yang diterbangkan angin di bawah langit mulai kelam. Tubuhku basah-kuyup ketika kangit menderaskan hujan.
***

Siang di ruang keluarga, perhatianku terpusat pada berita dari stasiun televisi lokal. Berita itu tentang lelaki penganggur bernama Barjo yang mencekik seorang gadis bernama Sri Wulanti hingga tewas, sesudah memerkosa dan mencoba membawa kabur perhiasannya.

Berita itu tidak hanya menyita perhatian, namun sekaligus mengejutkan. Karena sewaktu ditanya wartawan mengenai motivasinya melakukan pembunuhan atas Sri Wulanti, Barjo mengaku, “Sudah sebulan, istriku Lastri yang bekerja sebagai PSK itu tidak pernah pulang. Memberi uang belanja dan memenuhi hasrat seksualku.”

Mematung aku di depan televisi. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena mengabarkan berita itu kepada Lastri adalah ketersiaan. Berita itu tidak akan memengaruhi kehidupan Lastri. Selain aku sendiri belum tahu di mana Lastri sekarang berada.
***

Nama Lastri yang lenyap di benak kepala seketika muncul kembali, ketika tidak sengaja aku membaca berita dari sebuah harian yang terbit dua bulan silam. Berita bertajuk ‘Tiga Tenaga Kerja Wanita Dipulangkan Karena Mengidap AIDS’ dan dilengkapi foto ketiganya (termasuk Lastri) itu serupa petir pada musim kemarau.

Tidak hanya mengejutkan, berita itu melembabkan kedua mataku. Karena alenia terakhirnya mencatat tentang pesan Lastri sebelum ajal yang diyakininya bakal segera datang: “Hanya satu yang aku banggakan di dalam hidup teramat singkat ini, bahwa aku pula menemukan cinta. Mutiara dari kubangan lumpur pekat. Akulah pelacur yang tersanjung sebagai cahaya lampu kehidupan Mad. Lelaki yang selalu aku jauhi, agar senantiasa dekat di hati.”

Tanpa berfikir panjang, aku starter Vario hitamku. Menuju alamat Lastri yang tertulis pada alenia ke empat berita itu. Lastri atau Dewi Sulastri Arumdalu beralamat di Kembang Sore 02/034, Seloputri, Karangpandan. Sesampai di pinggiran dusun Kembang Sore, aku melihat kerumunan orang di pemakaman umum. Kepada salah seorang di depan gerbang makam, aku bertanya, “Maaf, Bapak tahu di mana rumah Lastri?”

“Di sini! Di balik kerumunan orang yang telah selesai menguburkan perempuan pendosa itu.”

Aku standarkan Vario hitamku di depan gerbang makam. Melangkah gontai ke arah kuburan Lastri. Sesudah semua orang meninggalkan makam, aku duduk bersila di depan gundukan tanah basah tanpa taburan bunga dan kepulan asap dupa. Melafalkan doa. Airmata menderas dari kedua mataku yang terpejam. Kemudian terbuka, saat setangkai kamboja merah terjatuh di pangkuanku. Bersama kekupu putih meninggalkan batang pohon kamboja. Terbang ke pusar langit paling rahasia.

Sanggar Pulau Apung, 15092009