Muhammad Ali Fakih *
Republika, 19 Juni 2011
SUDAH sekitar tiga bulan orang gila itu tinggal di kampung kami. Tidak ada yang tahu asal usulnya, seperti juga tidak ada yang tahu mengapa dia menjadi gila. Orang-orang hanya merasa kasihan dan bertanya-tanya, mengapa sanak keluarganya tidak mencarinya? Apakah dia tidak punya keluarga? Mengapa dia begitu betahnya di kampung kami?
Tak seorang pun yang peduli padanya. Barangkali pikir orang-orang, siapa pula yang mau peduli sama orang gila. Paling-paling kalau diajak bicara dia hanya ketawa-ketawa atau nyerocos tidak jelas. Tidak nyambung. Mending kalau tidak ngamuk, tapi kalau ngamuk? Tambah rumit urusannya.
Kerjaannya tiap hari hanya duduk-duduk di bawah pohon asam tua dekat pasar. Pagi-pagi ketika aku mengantar ibu ke pasar, pasti aku melihat dia duduk bersila menghadap ke barat, memejamkan mata sambil memutar-mutar tasbih dan mulutnya berkomat-kamit. Entah apa yang dibacanya, aku tidak tahu. Pikirku, mungkin dia baca mantra atau semacam zikiran yang dia sendiri tidak paham.
Biasanya aku ikut masuk ke dalam pasar bersama ibu. Tetapi, semenjak orang gila itu datang, aku kerap menunggu ibu di luar, di parkiran, kecuali jika ibu membutuhkan tenagaku. Hanya satu alasanku: ingin tahu lebih jauh tentang orang gila itu. Sebab, dia tampak lain dari orang gila lainnya. Dia pendiam, tidak nyerocos yang tidak jelas, dan tidak ngamuk-ngamuk seperti yang dipikirkan orang-orang.
Awalnya aku dimarahi oleh ibu karena alasan itu sehingga aku tidak mau ikut masuk ke pasar. Tetapi, aku ngeyel dan sedikit memaksa. Akhirnya, ibu mengerti. Malah beliau tersenyum tipis, menggeleng-gelengkan kepala, seperti menganggapku anak yang aneh. Kerap ketika sudah sampai di parkiran pasar, ibu menggodaku, “Sana tuh temenin pacarmu,” sambil menunjuk orang gila itu. Ah, ibu!
Tentu, aku memperhatikan orang gila itu dari jauh, berusaha mengalihkan pandangan ketika dilihat oleh orang. Aku takut digojlokin macam-macam. Dan, aku tidak menceritakan apa pun kepada siapa pun tentang sesuatu yang kutangkap dari orang gila itu, bahkan kepada ibu. Kalau ibuku bertanya, aku berusaha tidak menjawab yang semestinya, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Dan, ibu—sekali lagi—hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Orang gila itu betul-betul aneh.
Pakaiannya serba hitam, kotor, dan kumal. Rambutnya panjang tak keruan. Tetapi, dia pakai songkok haji sehingga kelihatan agak rapi. Aku pikir dia tidak pernah mandi dan itu jelas dari wajahnya yang belepotan tanah. Yang bikin aku heran, dia itu tidak bau. Sama sekali tidak. Awalnya aku menduga mungkin hidungku tidak normal. Tetapi, setelah berkali-kali aku mendekatinya—tentu dengan cara yang sekiranya tidak norak—aku kemudian menjadi maklum.
Aku semakin bergairah ketika orang-orang bercerita bahwa dia sering wudhu ke kolam depan masjid selatan pasar, lalu kembali ke pohon asam yang sudah seperti rumahnya itu, dan shalat. Alih-alih shalat fardhu, dia shalat tak putus-putusnya. Selagi di “rumahnya” itu, dia shalat terus-menerus, seperti tidak kenal lelah. Atau kalau tidak, dia berkomat-kamit dan memutar-mutar tasbihnya, mungkin berzikir.
Yang membuatnya dianggap gila oleh orang-orang adalah bahwa dia tiap hari berjalan memutari desa dan memungut sampah-sampah di jalanan untuk hiasan di baju, celana, kaki, dan tangannya. Kadang juga sampah-sampah itu diwadahi plastik, dijinjing, dan dibawanya ke “rumahnya” itu. Sehingga pohon asam tua dekat pasar itu jadi seperti tempat penampungan sampah. Dan, gubuk kecil di dekatnya dibuat dari rakitan-rakitan sampah pula. Di jalan-jalan dia tersenyum-senyum dan kerap pula menangis tanpa ada sebab musababnya.
Kalau sedang lewat di rumah warga, orang-orang sering mencegahnya. Menjadikannya tontonan. Mengolok-oloknya. Mempermainkannya. Pernah suatu kali dia disekap oleh sekelompok pemuda dan kedua tangan dan kakinya diikatkan pada sebatang pohon. Lalu, mereka memanggil orang-orang. Bersama-sama dia digelitik, dipecut, dikasih makan sepat kelapa. Pokoknya diperlakukan tidak manusiawi.
Aku yang kebetulan lewat tempat itu, menyaksikan penyiksaan itu menjadi marah luar biasa. Darahku panas. Aku marahi mereka semua, tak pandang bulu, bahkan pun bapak-bapak dan ibu-ibu. Setiap yang mencegahku atau mengataiku yang tidak-tidak, aku tantang dia berkelahi.
“Dasar manusia-manusia bejat. Kalian lebih rendah dari anjing. Harusnya menolong, malah memperlakukannya begini. Sungguh kalian ini manusia-manusia busuk,” kataku keras-keras sambil kupendeliki mereka. Lalu, mereka pergi satu per satu sambil mengataiku macam-macam. Ada juga yang menggerutu, tetapi aku biarkan.
Orang gila itu hanya diam ketika kulepaskan ikatan tampar di tangan dan kakinya. Matanya yang sayu meneteskan air mata. Rupanya dia tidak beringas seperti yang kukira. Kutuntun dia dan kubawa ke rumah. Ibu kaget melihat aku membawa dia. Beliau memarahiku. Aku meminta maaf. Kuceritakan kejadian tadi. Aku berkata pada ibu, barangkali dia lapar. Kasihan. Ibu pun akhirnya memaklumi.
Kusuguhi dia makanan. Tetapi, dia menolak. Katanya, dia sedang puasa. Mendengar jawaban itu aku dan ibu terperangah. Dia pasti bukan orang sembarangan, pikirku.
“Asal bapak mana?” tanya ibu.
“Asal saya dari langit dan mau kembali ke langit,” jawabnya serius.
Ibu menoleh kepadaku. Aku mengerutkan dahi.
“Maksud bapak?” timpalku.
“Kita sebenarnya lahir dari tanah yang sama, yaitu keabadian. Cuma karena dibutakan oleh kehidupan dunia, kita menjadi tidak saling kenal. Bahkan, banyak orang lupa asal-usulnya.”
Kami kian tidak mengerti maksud orang gila ini. Sekali lagi ibu menoleh kepadaku.
“Mengapa bapak sampai gila begini?”
“Aku tidak gila. Kalianlah yang sesungguhnya gila.”
“Tapi, mengapa bapak bertingkah seperti orang gila, memungut sampah dan menempelkannya pada baju dan tubuh bapak? Bapak juga sering tersenyum dan menangis tidak jelas.”
“Sekarang saya balik tanya, tidakkah lebih gila orang yang sedih kehilangan barangnya ketimbang shalatnya? Tidakkah lebih gila orang yang membicarakan kejelekan tetangganya dari pada tingkahku itu?”
Aku dan ibu terdiam. Ibu, seperti juga aku, mengerutkan dahi, seperti tidak percaya pada kata-kata yang keluar dari mulut si bapak ini.
“Orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri. Bekerja terus-menerus, tidak pernah ingat pada tujuannya hidup di dunia. Katanya mereka memburu kebahagiaan, padahal sesungguhnya kesenangan. Tahukah kalian bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu beda? Kesenangan muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan dari hati. Kesenangan tidak pernah membuat kita puas, sementara kebahagian sebaliknya.”
“Menurut bapak, apa tujuan kita hidup di dunia?”
Belum sempat menjawab pertanyaanku, si bapak oleng. Tiba-tiba dia kejang-kejang. Aku dan ibu kaget bukan main. Kami sama-sama berteriak memanggil para tetangga. Tak berapa lama kemudian orang-orang berdatangan ke rumah, menanyakan ihwal kami memanggil-manggil mereka. Tetapi, tanpa kami jawab mereka pun paham. Lalu, mereka berusaha dengan berbagai cara menyadarkan si bapak. Tetapi si bapak tetap kejang-kejang. Akhirnya kuambil secebok air dan kusiramkan ke muka dan tubuh si bapak. Barulah si bapak sadar. Badannya terlihat lemas. Matanya setengah terbuka, setengah tertutup. Sayu. Dengus napasnya sedikit demi sedikit normal.
“Tujuan kita hidup di dunia adalah menjadi sufi. Seorang sufi itu membiarkan tangannya sibuk dengan tugas-tugas dunianya dan membiarkan hatinya sibuk dengan Tuhannya. Seorang sufi itu hanya tahu tentang kewajiban, dan tidak tentang hak. Berbuat baiklah, atau paling tidak jangan berbuat jahat. Niatilah segala perbuatan kalian atas nama Tuhan,” katanya dengan suara yang sudah sangat lemah.
Lambat laun mata si bapak mengatup. Napasnya tinggal sepenggal-sepenggal. Malaikat maut menemuinya—aku rasa—dengan mesra dan penuh cinta. Titik demi titik air mataku menetes. Ibu pun demikian. Kami merasa kehilangan. Kehilangan orang gila yang tidak kami kenal.
Yogyakarta, 1 Januari 2010
*) Muhammad Ali Fakih lahir di Kerta Timur Dasuk, Sumenep, Madura, 8 Maret 1988. Kini, penulis sedang belajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Selain cerpen, penulis juga menulis esai dan puisi.