Mh Zaelani Tammaka
suaramerdeka.com
GERAKAN sufisme (sebagai bagian dari dunia spiritualitas) ternyata memendam persoalan tersendiri dengan problem gender. Gerakan sufisme sering dianggap bersikap “seksisme” dan terlalu berpihak pada patriarkis, yaitu ideologi kekuasaan laki-laki atas inferioritas perempuan. Tuduhan tersebut memang bukan tak beralasan.
Selama ini, di kalangan kaum sufi tumbuh suatu anggapan, (kepemimpinan) spiritualitas adalah hak prerogatif laki-laki atau kaum pria. Lihatlah, sekian panjang daftar mursid (guru sufi) dalam sejarah sufisme adalah laki-laki. Kita nyaris kesulitan mencari nama mursid yang dari kalangan perempuan. Mitos ini semakin diperkukuh oleh satu pepatah Arab yang tumbuh di kalangan kaum sufi, thalib al-mawla mudzakar, yang berarti “pencari Tuhan adalah pria atau laki-laki”.
Mitos Javad Nurbakhsh (seorang pakar sufisme kontemporer yang kini bermukim di London) mencoba menjawab persoalan itu. Lewat bukunya Sufi Women (1983), ia mencoba menghimpun sejumlah nama wanita sufi dalam kurun kurang lebih sepuluh abad (abad kedelapan hingga abad kesembilan belas). Hasilnya, terkumpul tak kurang seratus dua puluh nama wanita sufi yang hidup pada kurun tersebut.
Dari data itu, setidaknya, memberi bukti, sufisme bukanlah hak monopoli manusia yang berjenis kelamin laki-laki saja. Dia, bukan saja membongkar mitos ketiadaan wanita sufi dalam lintasan sejarah sufisme Islam, tapi juga membuktikan ada wanita sufi yang mampu mencapai pengalaman spiritualitas hingga tingkat (maqam) yang tertinggi, dan melampaui apa yang pernah dicapai oleh kaum pria.
Hal tersebut seperti diteladankan oleh wanita sufi termasyhur dari Bashrah yang hidup pada abad kedelapan, Rabi’ah Al-Adawiyah. Rabi’ah termasuk dalam golongan wanita sufi yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya, baik dalam keutamaan sosial (mu’amalat) maupun pencapaiannya menuju Allah (ma’rifat). Karenanya, tak salah jika Farid Al-Din ’Aththar, salah satu tokoh besar dalam sufisme Islam, merasa perlu menyampaikan pujian secara khusus kepadanya. Hal itu seperti terungkap dalam salah satu kitabnya, Tadzkirah Al-Awliya.
Jalan Muhammad Dalam hal menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam, kaum sufi menganut paham (ideologi) ’’Jalan Muhammad’’. Seperti diketahui, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam banyak bercerai-berai. Berbagai firkah atau sekte bermunculan. Akhirnya menurut Javad Nurbakhsh (1982), berbagai sekte tersebut mengkristal menjadi tiga kelompok besar, yakni kaum Sunni, Syiah, dan penganut “Jalan Muhammad”.
Paham Sunni lebih banyak dipengaruhi paham tradisionalisme Islam dan nasionalisme Arab. Dan dalam hal kepemimpinan, mereka mengikuti ’’Khalifah Empat’’ (Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib).
Faham Syiah lebih condong pada kepemimpinan khalifah Ali dan keturunannya saja. Asumsi dasar kelompok ini lebih didasari: “Carilah aroma mawar dari air mawar!” Artinya, kalau hendak mencari sari Islam juga harus pada sumbernya: nabi dan keturunannya. Paham ini lebih banyak dianut bangsa Mesir dan Iran.
Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga (paham ’’Jalan Muhammad’’) lebih mengambil jalan tengah. Mereka mencintai keluarga dan keturunan nabi karena nabi memang mencintai keluarga dan keturunannya. Tapi, mereka juga mencintai para sahabat nabi, karena nabi juga mencintai sahabat-sahabatnya.
Kaum sufi kebanyakan menganut pada paham yang ketiga tersebut, meski juga tak jarang lebih berat pada salah satu sisi dari paham sebelumnya. Dasar pemikiran kaum sufi memilih jalur “Jalan Muhammad” tidak lain ketakwaan pada hakikatnya lebih sebagai penghayatan pribadi dan tak memandang golongan ataupun keturunan.
Penafsiran Baru Khusus untuk Islam, tuduhan tersebut didasarkan pada salah satu ayat Alquran yang artinya: ’’Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S. An-Nisa’: 34).
Tafsir tradisional atas ayat tersebut memang lebih condong pada sintesis yang bersifat seksis: melebihkan sebagian mereka (laki-laki) terhadap sebagian yang lain (perempuan). Tapi, tafsir-tafsir baru, seperti yang dicerminkan dari hasil-hasil penafsiran tokoh-tokoh neo-modernisme Islam semacam Fazlur Rahman, Asghar Ali Engineer, Amina Dadud Muhsin, Fatimah Mernissi, dan sebagainya, pada umumnya berkesimpulan lain.
Ayat itu tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang bersifat seksis karena relasi gender yang digambarkan lebih pada tataran peranan atau fungsional; bukan hierarki kederajatan. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan tetap dalam tingkat kesederajatan, hanya saja keduanya memiliki fungsi/peran yang berbeda, sesuai kodratnya.
Ajaran Islam, dalam memandang persoalan gender, lebih menganut “paham kesetaraan”, yaitu setiap manusia (baik pria maupun wanita) setara atau setingkat di hadapan Tuhan. Hal itu seperti tecermin dalam beberapa dalil-dalil yang lain, baik Alquran maupun As-Sunah, yang sering menyebut pria dan wanita secara bersamaan dan dalam posisi kesetaraan.
Penafsiran serupa juga dilakukan Sachito Murata, profesor studi-studi agama pada Department of Comparative Studies di State University of New York at Stony Brook, Amerika Serikat. Dalam bukunya, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender in Islamic Thought (1992) memandang relasi gender dalam teologi Islam memiliki kemiripan dengan kosmologi Tao dari Cina.
Dalam dunia sufisme atau mistik Islam, perbedaan gender juga bukan lagi faktor yang menentukan dalam pencapaian spiritualitas. Bukankah sejarah telah membuktikan, tak sedikit perempuan-perempuan sufi yang mampu mencapai kedudukan (maqam) yang tinggi dalam pencapaian spiritualitas. Bahkan, dalam hal tertentu, wanita justru mendapat keutamaan dalam Islam.
_____________16 Juli 2008
*) Mh Zaelani Tammaka, peminat studi sosial dan kebudayaan, pengurus Pondok Pesentren Baitul Musthofa Surakarta. Buku terbaru, Mosaik Nusantara Berserak (PSB-PS UMS & Ford Foundation, 2007).