Membedah Jejak Politik Ali Syariati

Judul buku : Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman
Peresensi: Muhammadun AS *
gp-ansor.org

Memahami pergolakaan Republik Islam Iran dewasa ini tidak bisa dilepaskan revolusi yang dipimpin oleh Ayatullah Humaini (1979) yang tidak hanya menjadi momentum perubahan pemerintahan internasional menuju pemerintahan Republik Islam Iran, namun juga merupakan manifestasi politik otentisitas berbasis identitas agama yang menentang supremasi universalitas Barat, terutama AS.

Di tangan Humaini, Iran berani dengan lantang mendekontruksi hegemoni Barat yang diklaim superior atas segala kebijakan perubahan dunia. Dari jejak Humaini ini, tidak salah kalau sekarang Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad begitu lantang menentang Barat yang mau melucuti praktek nuklir yang dilakukan Iran.

Namun demikian, memahami Iran sekarang hanya melihat Ayatullah Humaini tidaklah lengkap kalau tidak dibarengi membedah jejak sosok misterius yang meninggal di London, yakni Ali Syariati. Bagi penulis, Syariati adalah salah seorang tokoh yang membantu perjuangan Imam Khomeini dalam menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbonne Perancis ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya ia mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman. Pikiran-pikiran dalam ceramahnya telah membuat para pemuda dan mahasiswa Iran tergugah semangat untuk memperjuangkan kebenaran dan
keadilan.

Syariati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama. Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syariati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.

Pada 1955, Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syariati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di universitas, Syariati bertemu Puran-e Syariat Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.

Selama di Paris, Syariati berkenakan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syariati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.

Walaupun berada di Paris, namun pribadi Syariati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan gerakan politiknya yang menggugah semangat kaum muda menjadikan dia sebagai figur oposan yang sangat spektakuler dalam merubah tatanan politik atas yang dihegemoni Syah Pahlevi. Karena wataknya yang kritis, sekembalinya di Iran dengan gelar doktoral tahun 1963, Syariati menjadi sosok yang kharismatis yang kuliah-kuliahnya di universitas Masyhad sangat memukau dan memikat audiens, karena isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.

Karena begitu kharismatis, akhirnya pemerintahan Syah Pahlevi berang. Karena merasa terancam, pada 16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya menjadi Ali Syariati. Tentara Syah, SAVAK akhirnya mengetahui kepergian Ali Syariati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syariati terbujur di lantai tempat ia menginap. Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari. (IC)

14 Desember 2006

*) Muhammadun AS, pemerhati sosial, tinggal di Yogyakarta.

Bahasa »