Matinya Dewan Kesenian Daerah

Setia Budhi
Radar Banjarmasin, 28 Jan 2007

Minggu terakhir Januari 2007, secara bertubi-tubi beberapa SMS merajam HP yang datang dari seseorang dengan inisial A.Ind. Beberapa kali pula SMS itu saya balas dan pada akhirnya beliau memperkenalkan diri sebagai Arsyad Indradi yang katanya lagi gundah terhadap berkesenian di kota Banjarbaru.

Tetapi apa yang disampaikan oleh Arsyad Indradi tidaklah semata berkesenian dan khususnya bersastra di Banjarbaru, dunia sastra dan kesenian nampaknya dalam keadaan yang sudah sampai pada titik jenuh, menghawatirkan, payah, parsah, luka, ngilu, pucat tak berdarah, dan menjurus pada sebuah kematian. Dapatkah tudingan kepayahan bersastra ini disampaikan pada Dewan Kesenian Daerah? Dimanakah ruang pertapaan Dewan Kesenian Daerah?

Menarik untuk mendiskusikan kegundahan berkesenian dengan fokus kesusastraan. Saya mengontak Ali “julak Asa” Syamsuddin dan Sandi Firly di Radar Banjarmasin, mengenai keluhan dunia sastra ini dan pada awalnya mau mengunci dengan kalimat “kalau tiada berguna bubarkan Dewan Kesenian Daerah”. Tetapi menggunakan “bubarkan” atau “pembubaran” seakan lembaga berkesenian di daerah itu sudah tiada berguna dan tidak dapat diharapkan lagi keberadaannya. Kalau sudah dibubarkan maka itu akan sama maknanya bahwa DKD sudah tidak diperlukan karena sudah mati. Benarkah?

Dewan Kesenian Daerah, apanya yang mati. Apakah kegiatan, program, kelembagaan, seniman, kreatifitas, keuangan, gedung, motivasi, semangat berkesenian? Penghargaan sastra, penerbitan buku sastra, politik sastra? Ataukah masyarakat sastra?

Kalau soalnya menyangkut sastra, lalu sastra apanyakah, isi, sejarah, karya, mode, sastra klasik, sastra modern -Pengajaran sastra, buku sastra?

Saya kira sudah sejak lama para sastrawan di Kalimantan Selatan memendam kesumat mengenai keterpasungan institusi. Keterpasungan itu bukanlah pada masalah kreativitas bersastra atau berkarya, sebab karya-karya sastra mereka berseleweran baik yang sudah dipublikasikan maupun yang masih tersimpan di bawah tumpukan kertas, meja kerja maupun yang masih berupa coretan di atas daun, di lembar bungkusan rokok. Kegelisahan itu diam-diam mengalir sunyi.

Kalau kegelisahan itu ialah soal kreativitas berkesenian yang bukan dilahirkan karena dukungan sebuah institusi yang bernama Dewan Kesenian Daerah, kalu mau dikemanakan lembaga DKD ini?

Sastrawan besar tidak pernah akan lahir dari menista dirinya dalam menara Dewan Kesenian, tetapi ia akan menjulang tinggi karena kreativitasnya sendiri. Karya sastra seorang Pramoedya yang mendunia lahir justru dari jeruji penjara dan tekanan rezim penguasa.

Sejarah pun mencatat bahwa sebagian besar sastrawan tiada pernah lahir dari rahim birokrasi dan tiada pernah lahir dari rahim pejabat-pejabat. Sastrawan itu ataupun mereka yang memiliki karya kesenian yang besar akan lahir dari petualangan menggarap dunia, menggarap epos sosial, kemiskinan, ketertindasan, penguasa korup. Seharusnyakah sastra berpihak kepada penguasa ataukah berpihak pada ibu kandungnya sendiri yang mernama masyarakat.

Wahai, berhentilah sejenak mengunyah permen kisah cinta-cinta mistik, sebab kenapa tiada yang pernah memihak kepada racun kekuasaan yang membunuh anak-anak busung lapar, tiada yang berpihak para petani miskin dan tak ada yang peduli terhadap kerentaan hidup peminta-minta di bawah kemewahan konsumerisme. Kemewahan anggota legislatif dengan gaji dan rapelan harian dan bulanan yang menggelembung dari uang rakyat. Pun tiada yang suka dengan kemerosotan moral yang melanda tiada batas usia dan agama.

Fokus masalahnya adalah bagaimana mengharapkan produksi sastra dari sebuah duplikasi proyek kesenian dan kebudayaan di antara Dewan Kesenian kerja Dinas Pariwisata.

Dunia kesenian kemudian terguncang hebat manakala kepedulian terhadap sastra ataupun kesenian lahir hanya ketika ada sebuah “upacara” mau digelar, sekali lagi sastra baru ada ketika sebuah upacara mau diadakan. Kita lalu sibuk mematut diri, sibuk mematut jadwal dan sibuk mengatur konsumsi “dalam rangka” menyambut upacara tahun baru. Upacara Tujuh Belasan, upacara Muharram, upacara hari pendidikan, upacara Mlam Seribu Malam dan yang lain-lainnya.

Kabarnya Aruh Sastra pun telah masukdalam isu-isu politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah-Pilkada? Tetapi apakah ini akan lebih baik dari pada tiada sama sekali? Tetapi ya, akan lebih baik kalau berkesenian tidak dalam belenggu kegelisahan? Kenapa mereka peduli kalau ada maunya? Demi uang, kekuasaan atau kah proyek.

Gedung Dewan Kesenian Daerah tiba-tiba menjaedi ramai, orang-orang mulai berdatangan dan orang-orang yang tadinya tak dikenal lalu memperkenalkan diri sebagai seniman dan sibuk berjabat tangan sebagai sebuah tanda kepedulian, mengisi absen dan seterusnya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika upacara selesai, orang-orang kembali pulang dan tak menampakkan muka bahkan membuang muka seperti tak kenal, seperti tak terjadi apa-apa pada upacara yang baru digelar itu.

Baru sekali menulis puisi, kemudian memproklamirkan diri sebagai sastrawan besar. Baru dua kali menulis cerpen, lalu menyatakan diri cerpenis besar. Sayangnya pada sebuah kabar angin, ada orang yang yang tak pernah menulis puisi tiba-tiba lancar membuat antologi puisi. Ya, tak ada sebab menulis puisi bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Tetapi kalau beberapa sajak yang ditulis orang lain lalu diakui sebagai karya sendiri. Ngiiing… telinga ini tiba-tiba mendenging.

Gedung Kesenian Daerah yang entah menempati ruang olah raga milik pemerintah daerah atau punya gedung sendiri kembali diam membisu. Aktivitas DKD seperti menemui kematiannya, kalau hanya bergantung kepada seseorang. Kasihan betul kalau nasib berkesenian menggantungkan diri pada seseorang yang “kuncang kirap” mencari tambahan biaya untuk berkesenian ataupun kegiatan sastra.

Selama ini saya seperti termakan oleh bayang-bayang kegiatan DKD yang penuh dalam aktivitas satu tahun bahkan aktivitas bulanan dan harian. DKD dalam bayangan saya sebagai sebuah “rumah produksi kesenian”. DKD dalam benak saya adalah Rumah Budi Bahasa yang akan mengajar bahasa-bahasa manusia yang tiada berbudi budaya. Siapakah yang mengajarkan kata-kata kotor kepada anak-anak atau media masa di lembaran kriminal yang mengumbar kalimat-kalimat “Pangkung”, ”Timpas”, ”Bantai”, ”Leher dikampak”, ”Tangan dicencang”, ”Mulut ditombak”. Dan kata-kata “mutiara” itu dengan enteng digunakan pula oleh anak-anak yang sudah makan sekolahan sekalipun. Rupa-rupanya manusia sudah tak mengenal keindahan bahasa. Padahal budi bahasa budaya kita. Dapatkah hal itu dibenarkan?

Dalam satu tahun orang-orang di Gedung DKD akan menghasilkan lusinan karya sastra seperti puisi, cerpen dan novel. Dalam setahun Gedung DKD akan memproduksi jutaan bait syair, puisi dan pantun. Dalan setahun Gedung DKD akan mencetak minimal dua belas buah Jurnal sastra karena Jurnal sastra itu terbit tiap bulan.Dalam setahun Gedung DKD akan melahirkan tarian-tarian, teater, musik-musik, lakon sandiwara dan pentas seni Dalam satu tahun DKD akan emproduksi film sejara, drama pendek atau sinetron.

Di Gedung DKD kita dapat menyaksikan pemutaran film, bermain drama dan menulis sastra. Di Gedung DKD kita dapat berdialog, diskusi dan membagi mengalaman batin kesenian dan membangun gerakan rakyat untuk menentang pengumbaran kata-kata kotor dan jorok di ruang kriminal karena hawatir meracuni budi bahasa anak-anak kita dikemudian hari.

Di Gedung DKD kita boleh membangun gerakan rakyat untuk jiwa anti korupsi, karena korupsi penyebab kemiskinan.

Karena dalam setahun Gedung DKD itu penuh kegiatan, maka di sanalah akan dilahirkan seniman besar, penulis besar dan sastrawan besar. Tetapi apakah sastrawan besar itu dilahirkan atau dibentuk oleh lingkungan yang membesarkannya? Sudahlah, yang penting berkarya.

Suatu hari menjelang petang, saya silaturrahmi ke rumah Arsyad Indradi. Di rumah sederhana itu rupanya beliau sedang mempersiapkan antologi puisi dan kumpulan penyair Nusantara. Betapa terkaget-kaget melihat tumpukan kertas, tinta printer dan buku-buku sastra berantakan di ruang tamu beliau. Dalam pikir saya, apakah ini kantor DKD atau rumah tinggal?

Seorang Arsyad Indradi benar-benar aneh, antologi puisi dan kumpulan puisi Nusantara itu rupanya diproduksi sendiri, antologi itu cetak sendiri dengan kertas beli sendiri dan tinta printer beli sendiri. Dan semua karya itu mau disebarluaskan sendiri. Dimanakah keluarbiasaan seniman ini? Berkarya dalam kesunyian.

Mungkin beliau mengatakan dalam hati “jauhi sponsor, sebab karya sastra tak pantas disandingkan dengan logo produk semen“. Mungkin beliau percaya karya puisi sangat mustahil disandingkan dengan produk jamu. Sepatutnyakah kita bersedih bahwa antologi puisi kita dibiayai oleh bapak-bapak di bengkel pembuat gypsum. Bapak-bapak di bengkel sepeda motor yang tiap hari bersimbah keringat, berlumur oli dan genderang mesin rusak, lalu pada pemilik bengkel itulah kita meminta sponsor untuk membiayai cetak karya sastra.

Pemilik bengkel tersenyumkecut, sambil mengurut dada mulutnya kumat-kamit “Syukurlah aku masih hidup sebagai tukang bengkel dan sungguh mati aku tak mau jadi sastrawan.”

Maka janganlah kau samakan semangat bersastra pemilik bengkel sepeda motor yang berlumur oli atau sang penjual Gypsum dengan kiprah lembaga semacam DKD. Kau akan pernah sampai pada sejarah pendirian DKD yang dibengkokkan oleh rezim kecuali pada akhirnya hanya sebait kata-kata penuh penyesalan.

Gedung DKD terus menyimpan misteri kematian, tersebab ketika upacara mau digelar darah berkesenian mengalir dari tubuhnya. Sesudah itu, kematian akan menimpanya lagi dan lagi. Tetapi katanya, bahwa ketika upacara pun mau digelar, itu bukanlah sebuah ritual kesenian tetapi bagian dari kerja dinas-dinas kebudayaan. Apakah seniman adalah pekerja proyek? Biarkan kalian diskusi terus sampai lupa berkarya, mungkin begitulah kata Syamsiar Seman, sebab karya-karyanya terus lahir dari penanya.

Walau aku tertikam belati, karyaku lahir dari diriku sendiri, selamat tinggal kotaku, kata Arsyad Indradi menutup SMS-nya. Dua orang itu sedang Amuk dengan karya sastra, cerita rakyat, puisi dan antologi. O, Amuk Kapak, kata Sutardji. Demikianlah.
***

Kuala Lumpr, 25 Januari 2007

Bahasa »