PENGHARGAAN

Machzumi Dawood
http://tanjungpinangpos.co.id/

Suatu penghargaan diberikan, karena apa yang telah dilakukan/diperbuat oleh seseorang atau sebuah institusi/lembaga dipandang sangat mengesankan dan memberikan manfa’at bagi masyarakat ramai. Tentu saja termasuklah di antaranya dedikasi, integritas dan konsistensi; serta ketekunan & kesungguhan.

Menurut saya, itulah substansi –hakekat– diberikannya / dianugerahkannya suatu penghargaan. Agaknya, akan banyak lagi tambahan item kriteria, sesuai jenis dan kelas penghargaan yang diberikan.

Penghargaan umumnya diberikan dalam bentuk piala, trophy, piagam, medali, uang tunai, dan lain sebagainya. Sedangkan pemberi penghargaan, boleh siapa saja, baik pribadi maupun institusi/lembaga.

Di Kota Tanjung Pinang, kita mengenal misalnya ‘Penghargaan Setia Negeri’ yang diberikan oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang kepada warganya yang berprestasi. Namun saya tak tahu, intensitas waktu pemberian penghargaan tersebut, entah berapa tahun sekali.Sedangkan Pusat Latihan Seni ‘Sanggam’ memberikan Anugrah Seni Sanggam dua tahun sekali, dengan penyebutan bagi penerimanya sebagai ‘Seniman Andalan Negeri (SAN)’.

Sementara dari Provinsi Kepulauan Riau, ada pula pemberian penghargaan bagi para seniman/budayawan setiap tahunnya. Yang tak tergerak memberikan penghargaan, justru institusi yang berkompeten di bidang seni-budaya, yakni Dewan Kesenian.

Saya tak mendapatkan perkabaran, apakah Dewan Kesenian Kota Tanjung Pinang atau Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau, ada memberikan penghargaan atau anugerah bagi para seniman/budayawan di Kota Tanjung Pinang atau di Provinsi Kepulauan Riau. Boleh jadi saya miskin informasi.

Tetapi, jika belum [pernah] diperbuat, tak salah kiranya, kalau dibuat perencanaan yang seksama, untuk mungkin memulainya pada tahun hadapan yang sudah sangat dekat. Di Provinsi Riau, ada dua penghargaan ber-prestise yang diberikan.

Pertama oleh Yayasan Sagang, yang telah 16 tahun secara berturut-turut memberikan ‘Anugerah Sagang’. Sedang yang kedua ialah penghargaan dari Dewan Kesenian Riau (DKR), dengan penyebutan gelar bagi penerimanya, yaitu ‘Seniman Pemangku Negeri (SPN)’.

Yang kerapkali terjadi dan menjadi pertanyaan, ialah : sejauh mana penghargaan/anugerah itu berdampak bagi penerimanya, baik secara kultural, spiritual, emosi, etika, prestasi dan kemaslahatan.

Jelas, penghargaan atau anugerah tidak akan secara signifikan membuat/memberikan perubahan kepada penerimanya, walau diberikan oleh siapa atau institusi apa pun.

Semuanya terpulang kepada penerimanya. Apakah dia berbuat atau melakukan aktivitas kesenian/kebudayaannya demi penghargaan/anugerah, atau demi panggilan perasaannya.

Panggilan perasaan atau pangggilan hati, itulah yang akan menentukan dan menguji; bagaimana sesungguhnya dedikasi, integritas dan konsistensi seseorang dalam berkesenian.

Tentu akan banyak sikap, respons serta reaksi; jika suatu penghargaan [terdengar] akan diberikan. Ada yang berharap, sangat berharap, dingin, apatis, atau biasa-biasa saja, tak menunjukkan reaksi apa pun.

Bukan tak mungkin, ada pula yang melakukan manuver dan mengatur strategi, atau melakukan lobby dan negosiasi, supaya mendapatkan suatu penghargaan/anugerah.

Semuanya mungkin dan tak terhindarkan. Hanya saja, ada yang terlihat elegant, dan ada yang kelihatan ‘menyetan’. Dengan demikian, ke’arifan pemberi penghargaan/anugerah, tampaknya perlu diperhalus dan dipertajam, supaya tidak salah dalam melakukan pilihan terhadap para penerima penghargaan/anugerah.

Hari Selasa tanggal 8 November 2011 lalu, seniman/budayawan Riau, Idrus Tintin memperoleh ‘Bintang Budaya Parama Dharma’ dari Pemerintah Republik Indonesia.

Inilah penghargaan tertinggi dalam bidang kebudayaan, yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada seniman/budayawan perorangan. Penghargaan ini setara dengan ‘Bintang Jasa Utama’.

Dari seluruh ‘Bintang’ [21 kelas] dan ‘Satyalancana’ [28 kelas] dari Pemerintah Republik Indonesia, maka itu bermakna ‘Bintang Budaya Parama Dharma’ berada pada ‘Bintang Peringkat ke-Sebelas’.

‘Kita’ patut ikut berbangga hati, karena Idrus Tintin dari Riau memperoleh ‘Bintang Budaya Parama Dharma’. Idrus memang tidak dilahirkan di Kepulauan Riau, akan tetapi ‘jejak nafasnya’ dipenuhi, dipengaruhi dan mempengaruhi Kepulauan Riau, yang boleh dikata merupakan ‘kampungnya’ yang ke-2.

Bagi saya, mengenang [almarhum] Idrus sekarang, bergaul sangat dekat dengannya semasa hidup; membuat saya melupakan ‘sekat geografi politik’ di mana dia hidup dan berada.

Rasa bangga saya penuh, rasa haru saya penuh. Saya merasa dia juga adalah ‘Orang Kepulauan Riau’. Bacalah puisi-puisinya, maka mungkin kita akan malu, karena tak dapat menjadi saksi, sebagaimana dia bersaksi bagi negeri ini. Ya, puisi-puisinya adalah saksi dan informasi bagi kita kini, betapa naif pun puisinya itu.

Idrus Tintin adalah ‘Orang Riau & Orang Kepulauan Riau’ ke-2 yang menerima penghargaan ‘Bintang Budaya Parama Dharma’, karena ‘Orang Riau & Orang Kepulauan Riau’ yang pertama menerima penghargaan ‘Bintang Budaya Parama Dharma’ ialah Sutardji Calzoum Bachri.

Sebagaimana Idrus Tintin, Sutardji Calzoum Bachri juga lahir di Rengat, tetapi tumbuh-kembang di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Bedanya, Sutardji Calzoum Bachri jauh lebih lama di Kepulauan Riau, dari kecil hingga mencapai dewasa. Bahkan hanya satu kali kembali ke Rengat. Itu pun sekadar lewat, ketika akan ke Pekanbaru, dari kunjungannya ke Tembilahan untuk suatu acara.

Dengan dua penghargaan ‘Bintang Budaya Parama Dharma’ yang telah diperoleh oleh dua ‘Orang Riau & Orang Kepulauan Riau itu, apakah maknanya bagi kita sebagai seniman/budayawan?

Yang wajar, tentu saja bersyukur, karena ‘kita’ telah memiliki dua orang yang – kita sebut saja – ‘Maestro’. Kedua orang ini, dapat kita jadikan teladan untuk memotivasi diri kita, memacu diri kita, untuk terus berbuat dan berprestasi. Kita perlu belajar dari keberhasilan mereka, belajar dari integritas mereka. Sesuatu tidak terbentuk begitu saja, tetapi di baliknya ada proses. Kita tak boleh terpana pada hasil akhir, tetapi simaklah proses yang terjadi.

Mereka berdua tak pernah berpuas diri, tak berhenti mencari dan terus dalam pencarian, dengan kegirangan yang penuh dalam berkesenian.

Mungkin kita tidak akan sama dengan Idrus Tintin dan Sutardji Calzoum Bachri, tetapi esensinya ialah berkesenian tanpa henti, penuh dedikasi, integritas, tekun & sungguh-sungguh. Apakah kita sudah mendekati hal-hal tersebut, atau masih jauh?

Sebagai seniman/budayawan, apakah benar kita ingin menjadi seniman/budayawan, dengan segala konsekuensinya? Atau kita hanya mau menerima resiko yang kita inginkan, lantas menolak resiko yang tidak kita harapkan?

Mudah-mudahan, kita tidak termasuk seniman/budayawan yang hanya menginginkan kemasyhuran dan mendapatkan penghargaan….. Amiin!

12 November, 2011
Dijumput dari: http://tanjungpinangpos.co.id/2011/11/penghargaan/