Igau Rinjani

Rian Harahap
Riau Pos, 26 Feb 2012

“Kau pembunuhnya! Mengakulah, sudah saatnya kau mengaku”

Kembali igau perempuan disampingku itu membangunkanku dari pembaringan yang baru saja sejenak kunikmati. Belum lagi tiga puluh menit, aku sudah kembali terjaga untuk menenangkan istriku. Ia memang selalu membaca doa sebelum tidur namun akhir-akhir ini ia sering mengigau tak jelas. Jika ia sudah terbangun tiada sedikitpun dari mimpi tadi yang diingat. Sempat juga terpikir olehku bahwa ini adalah sebuah proses untuk memperoleh perhatianku. Mungkin ketika ia sudah capek bekerja seharian sehingga butuh sebuah dekapan hangat tersaji dalam ranjangnya. Aku juga selalu ingin seperti itu tapi apalah dayaku yang ada. Pulang saja pun dentang jam dinding sudah berbunyi sebelas kali. Ia sudah tidur dengan lelap sebelum nanti bangun kembali dengan igauan tadi.

Kami sudah lama berumah tangga, bisa dikatakan hampir dua puluh lima tahun sejak perkawinan indah itu. Berpuluh tahun menikah bukan jaminan yang tepat untuk menelurkan sebuah kata tidur malam yang nyenyak. Ada banyak terkaan di kepalaku jika ia sedang mengigau sebuah kejadian yang menyeruak ditakuti. Lihat saja dari urutan kata-kata yang ia igaukan. Namun aku belum bisa menerka semua itu dengan lantas menyebutnya paranoid.

Aku memutuskan untuk tidak tidur malam ini. Semoga sayap-sayapku tidak lelah menunggui sebuah mimpi yang harus dipecah. Jangkrik berderik keras dari belukar depan teras. Sunyi merambat ke ujung kakiku hingga menggulung tubuhku seperti janin di atas ranjang. Detik jam cepat menyerempet berharap pagi akan datang tanpa ada igau lagi di perjalanannya. Ada bayang-bayang melirik dari lubang pintu. Cahaya berkelibat remang menutup harapan keberanian. Aku menerka ini adalah malam terakhir semua yang diigaukan bibir indahnya itu. Lalu kami bisa mencumbu cinta seperti malam-malam dahulu yang tanpa gangguan sebintik nyamuk pun.

Aku ingin malam menemani rusuk-rusuk yang sudah tak lagi muda. Ngilu dan gigil terendus dalam langit-langit kamar namun belum jua sepetik ucap terhembus. Kembali kutatap wajah indah wanita yang kupersunting di atas gunung itu. Ya, aku pernah mempersuntingnya tepat di atas Rinjani. Siapa yang tidak kenal dengan gunung Rinjani dengan kemolekan tubuhnya. Hingga mungkin beratus pasangan muda ingin mengabadikan kenangan paling indah itu disana. Satu dari ratusan itu adalah kami. Masih lagi kuingat betapa kami dialiri oleh peluh cinta ketika cincin itu kupasang di jari manisnya. Jika mengingat hal itu aku jadi rindu berdua dengannya. Masa muda kami terbilang jarang dilewati berdua sehingga untuk mengajaknya pergi ke Rinjani harus dengan seribu ulok di kepala. Mengapa tidak, untuk melewati pintu pagar rumahnya saja diperlukan sejuta nyali pemberani. Hal itu dikarenakan orang tuanya yang merupakan purnawirawan di negeri ini. Bisa dibayangkan jika seorang pemuda hadir di depan orangtuanya dengan mental yang biasa saja. Tidak masuk akal, mungkin pria itu harus keluar dengan celana yang basah sebelum berjumpa dengan pujaan hatinya. Itulah yang harus kulewati untuk mengajaknya tahun baru di atas Rinjani. Semula alasannya adalah studi banding dari kampus, namun ada yang tersembunyi di balik itu. Ada perasaan yang harus kuungkap dalam cinta yang ditetas senja.

Rinjani menatap sebuah harapan dalam tetes cintaku. Wangi cinta ini menembus pusara belerang yang tertanam berpuluh abad lalu. Senyum-senyum meradang dalam kekalnya hati. Semilir memekakkan wajahku dari gurau kota yang tak berkesudahan. Begitu syahdu melodi yang diperdengarkan oleh alam hingga ingin rasanya aku tertidur dalam sebutir surga dengan sungai mengalir dibawahnya. Seikat mawar kubawa dari bawah sebelum ke atas sebagai pembuka tenda cinta kala senja.

“Maukah kau kupinang dalam sebentuk hati cinta?”

“Aku belum bisa, tapi.”

“Tapi, apa ?”

“Tapi aku mau menjadi kekasihmu yang tersenyum hingga tua dan ajal merenggut semuanya”

Ah, begitu tersipu aku dalam balutan pipi kemerahan. Tidak pernah aku semalu itu dalam suasana apapun. Lalu hanyutlah dalam mimpi-mimpi akan masa depan kelak yang indah dan rupawan. Mimpi yang melayari imaji jauh dari nyata. Ketika kami nanti akan berlari-lari bersama bocah kecil yang selalu bercanda meski terik di atasnya.

“Aku tidak membunuhnya!”, igauan itu membangunkanku dari lamunan air wajahnya.

Sepertinya dia mulai lagi. Semua bulu yang ada di tubuh ini berdiri tanpa sebab. Tiada yang menyengaja akan kuliburkan keberanian dari darahku. Perempuan yang disampingku mengulang kembali kalimat-kalimat itu hingga berulang kali. Alir darahku semakin cepat menembus ke jantung dan tak mau mengedar semestinya. Malam pun akan beralih jika melihat igaunya ini. Ia tak hanya mengigau namun meronta dan memukul-mukul ranjang kami. Ini merupakan desir mimpi yang merajang kebisuan. Lihatlah aku, terdiam menatapi liuk bibirnya yang komat-kamit memaki dan mengancam tanap sebab.

Melihat dari kata-katanya sepertinya ia sedang menyatakan sebuah kebenaran. Bahwa ia memang tidak melakukan pembunuhan. Tapi, siapa yang dibunuh?. Aku coba lagi menelisik setiap huruf yang dieja agar jelas mana pangkal dan ujungnya. Namun bukan sebuah penjelasan yang kudapat namun tetesan air mata yang jatuh di sela mataku.

“Mengapa di hari tua kami harus begini?”

Aku larut dalam jurang yang tak menista. Sembilu menyucuk kedua bola mata hingga darah mesti terkeluak jika perlu.

“Apa ia dijampi-jampi oleh orang lain?, tapi siapa yang tidak senang dengannya?”

Segera kubuang pikiran-pikiran buruk yang menyambangi sebentar saja. Ia tidak pernah berbuat jahat terhadap sesama bahkan tetangga begitu senang acap kali ia mengumbar senyum. Kuusap air mata yang sedari tadi menetes di sela raungan igau perempuanku. Lalu aku coba hadir dalam ruang hati yang terpulas tidur namun sadar dalam gelap. Sungguh aku pun tak tahu harus berbuat apa.

“Bunuh saja aku, bunuh saja aku”, raungnya lagi.

Sembari itu, urat di wajahku mulai mengeras dan keluar dari peraduannya. Seribu mata terkekang menatap tajam ke arahku. Seakan menghardikku untuk membeberkan malam-malam di awal kami berjumpa dahulu. Urat-urat wajahnya pun mulai membiru. Kejang-kejang dan menggigil tak seperti igau pada beberapa malam lalu. Segera kuhidupkan neon pendar di langit kamar dan memukul-mukul wajahnya. Tiada kesadaran menempa lirik matanya, langit mendung di luar. Rintihnya pekik membangun segala penjaga malam.

Perempuanku memberontak dalam nanar sebuah racun. Sekumpulan sayap-sayap kami bertemu di ujung pelangi. Ia semakin menerjang kesunyian malam dengan ronta tak berirama. Aku takut dengan keadaan ini. Semakin genting dan tak jelas kemana arah dan tujuannya. Seluruh gelap dimakan terjangan singa-singa kelam. Raut wajahnya tak mampu lagi kulihat semua mendengus keranjingan. Perempuanku mulai menembus semesta dengan kegilaan malam yang tak kupinta. Ada titik sedih yang kuliha dari nanar matanya meski ia meraung.

“Sayang, sadarlah. “

“Pa, mama kenapa?”, ujar anak-anakku yang baru saja masuk.

“Sayang, ayo sayang sadarlah”

Semua tubuhnya tampak mengilu dengan rampasan makhluk lain. Sekujur tubuhnya merenggut dinihari. Bisikan raungan tadi senyap seketika bersama angin malam. Embun menyekat kaca dari sejuknya hujan di luar. Petikan kata-kata tadi mengakhiri perjumpaanku dengannya. Aku tak ingat lagi apa yang hadir dalam cerita setelahnya. Anak-anakku pun tak juga mampu menyua sedikit jalan akhir dari malam itu.
***

Mentari merembes masuk ke kamar lewat kaki-kaki pintu. Terlihat dari jendela lalu lalang menyemut seperti biasa. Selimut terlipat dalam gumpalan kerapian. Wewangian kapur barus berbagi di dalam rumah. Banyak bisik-bisik dan tahlil terdengar di bawah. Semua memandang pada satu kujur tubuh yang membuat sejuk tetes air mata pagi ini. Berbaris seluruh keluargaku disana dan membentuk sebuah lingkar dengan penuh haru tapi mengapa istriku juga disana. Ternyata tadi malam hanya mimpi namun mengapa pula seperti ada yang harus dilepas ke alam baka kini. Anak-anakku lengkap dan juga meringis dibalut kain hitam. Lalu siapa yang mereka tangisi dalam kesejukan pagi ini. Kuturuni tangga satu per satu mencoba untuk tak mencuri perhatian mereka yang khidmat. Kucoba menatap wajah yang tepat dihadapanku dan terbujur kaku pucat.

Tubuh itu adalah lelaki dan semua seperti petir di atas Rinjani. Seketika bocah-bocah kecil lari bergurau di bawah teduhnya pohon apel.

“Papa, mengapa cepat sekali pergi”

Medan, 2011

*) Rian Harahap adalah Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta guru, penulis dan aktor teater di Medan.

Bahasa »