IRONI SEBUAH SANDAL UNTUK MIMPI NOBEL SASTRA

Harga Diri Sastra di Mata Sandal Jepit

Dani Sukma Agus Setiawan

Baru-baru ini bangsa kita dihebohkan oleh sandal jepit. Bagaimana tidak, beberapa pekan pemberitaan mengenai tragedi pencurian sandal yang dilakukan oleh ALL, bocah berusia 15 tahun terus bergulir bagai roda panas. Masyarakat gerah melihat briptu AR yang melakukan tindak kekerasan perkara sandal yang ‘katanya’ dicuri sang bocah. Kegemparan pun terjadi, masyarakat berduyun-duyun menyumbangkan sandal jepit ke posko “seribu sandal jepit”. Aduh, mau jadi apa Negara kita jika perkara sandal saja seorang penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat malah menindas dengan buas. Gonjang-ganjing perihal sandal merembet ke dunia internasional, tercatat beberapa media massa luar negeri ikut beramai-ramai memberitakannya, mulai dari Singapura hingga AS. Ada yang memberi judul “Indonesians Protest With Flip-Flops”, “Indonesians have new symbol for injustice: sandals”, “Indonesia’s Flip-Flop Revolution”, “Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice”, maupun “Indonesians fight injustice with sandals”.

Anda takjub? Apalagi saya. Alangkah hebatnya negara kita, hanya dengan sandal bisa menghebohkan dunia. Mari kita bertepuk tangan untuk kesaktian sebuah sandal yang mampu menaklukkan media internasional. Tetapi, timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik, bagaimanakah dengan sastra kita di mata dunia? Oi, untuk yang satu ini kita mesti mengurut dada, sebab sudah 66 Tahun negara kita merdeka, tak satupun sastrawan kita yang meraih nobel sastra. Namun, kita tak boleh berkecil hati, sebab paling tidak masih ada yang pernah mengecap manisnya menjadi kandidat peraih nobel sastra dari negara kita, yakni Pramoedya Ananta Toer. Ironisnya, pahlawan sastra ini sempat dimusuhi oleh sastrawan lain, hal tersebut terjadi pada saat Pram (demikian ia akrab dipanggil) menerima medali bergurat wajah presiden ke tiga Filipina, Ramon Magsaysay dan uang sejumlah USD50.000, sekira 26 sastrawan dan budayawan yang dipimpin Taufiq Ismail dan Muchtar Lubis memprotes peanugerahan penghargaan itu. Alasannya, mereka menganggap Yayayasan Ramon Magsaysay mengabaikan “dosa politik sastra” Pram pada masa lalu. Sebagaimana diketahui, Pram cukup dekat dengan lekra yang notabene organisasi sayap PKI yang dilarang pada masa orde baru.

Yulhasni, salah seorang akademisi sekaligus praktisi sastra, pernah mengulas permasalahan ini dalam tulisannya saat mengupas buku “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, karangan Augus Hans den Boef dan Kees Snoek (http//www.leterater.com), ia berpandangan bahwa “Mungkin saja Pramudya Ananta Toer yang berulangkali masuk nominasi tersebut gagal karena ‘perseteruan’ abadinya dengan kelompok Non-Lekra. Perseteruan itu menjadi semacam ‘batu sandungan’ bagi Pram untuk masuk dalam jajaran elit sastrawan dunia dalam konteks peraih hadiah Nobel Sastra tersebut.”

Terlepas dari kontroversialnya sosok Pram dengan segala praduga yang menyeret namanya, terbukti karya yang dihasilkan layak untuk dikatakan tinta emas dalam sejarah sastra Indonesia. Bahkan menurut Budayawan Arief Budiman –kakak kandung Soe Hok Gie- sastrawan lain seharusnya malu dengan kemampuan Pram, sebab bisa menghasilkan karya yang bagus dalam kondisi apapun.

Senada dengan apa yang diujarkan Arief, sejatinya Pram menjadi pelecut bagi sastrawan lain untuk menunjukkan eksistensinya dalam menghasilkan karya yang berkualitas dan dipandang dunia. Beruntung karya salah seorang novelis kita, Andrea Hirata, dipinang penerbit luar negeri untuk diterbitkan. Seperti yang diberitakan dalam Bisnis Jabar, Novel The Rainbow Troops (edisi internasional Laskar Pelangi) diterbitkan oleh penerbit Farrar, Strauss and Giroux (FSG).

Kita tentu berharap semoga karya Andrea bisa diterima dengan baik di dunia Internasional seperti di tanah air yang meledak bahkan sampai difilmkan. Apabila hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin Andrea berpeluang untuk menjadi salah satu kandidat peraih nobel sastra di masa mendatang. Lebih lanjut dalam pemberitaan di Bisnis Jabar, Andrea mengemukakan, “Penerbit itu bukan sembarang penerbit. Banyak Peraih nobel yang karyanya diterbitkan oleh penerbit itu. Selain itu, buku yang diterbitkanpun melalui seleksi ketat.”

Apa yang diungkapkan Andrea sepertinya tidak berlebihan, FSG adalah penerbit ternama yang berdiri sejak tahun 1946 dan merupakan penerbit yang paling banyak menerbitkan karya para pemenang nobel. Sebanyak 21 pemenang Nobel Sastra yang karyanya diterbitkan FSG antara lain TS Eliot, Pablo Neruda, Nadine Gormer, dan Mario Vagas Llosa yang mendapat Nobel Sastra 2010.

Sepertinya jalan sudah terbuka, namun harapannnya bangsa kita tidak hanya bergantung pada Andrea Hirata saja, semoga sastrawan lain akan menyusul untuk berkiprah di kancah Internasional sehingga impian untuk menyaksikan peraih nobel sastra dari Indonesia dapat terwujud di masa mendatang. Seumpama pertandingan tinju, sastrawan kita telah dipukul telak oleh sandal yang berhasil meraih angka maksimal dari dewan juri –dalam hal ini media internasional-, namun pertandingan masih bisa berlanjut, semoga ronde-ronde berikutnya sastrawan kita bisa bangkit untuk membuktikan bahwa harga diri sastra Indonesia lebih tinggi derajatnya dari sandal, jika tidak, bersiap-siaplah mengenang kesuksesan sandal sebagai prasasti kebanggaan terbesar yang mampu menjadi simbol bangsa Indonesia di dunia Internasional.

Serambi Kompak, Universitas Negeri Malang-2012

*) Dani Sukma AS, Penggagas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Sumatera Utara. Karyanya dimuat di berbagai media massa, selain itu termaktub juga dalam antologi sastra.