Mu’arif *
Seputar Indonesia, 20 Jan 2008
MENULIS sejarah dengan pendekatan politik (kekuasaan) sudah lazim dipakai di kalangan sejarawan. Rangkaian peristiwa sejarah di masa lampau selalu dilihat berdasarkan perspektif kekuasaan (sejarah kekuasaan).
Padahal,sejarah merupakan hasil dialog jiwa dan pikiran manusia dengan realitas kehidupannya secara dinamis dan kreatif. Penulisan sejarah berdasarkan perspektif kekuasaan hanya mempersempit sudut pandang dalam mengungkap fakta-fakta historis dan kerap mengaburkan fakta historis yang cenderung dimaknai secara politis.
Penulisan Sejarah
Secara sederhana, sejarah merupakan pengetahuan tentang masa lampau.Menurut sejarawan Baverley Southgate (1996), pengertian sejarah dapat didefinisikan sebagai “studi tentang peristiwa di masa lampau.”Dengan demikian,sejarah merupakan peristiwa faktual di masa lampau,bukan kisah fiktif apalagi rekayasa. Definisi menurut Baverley Southgate merupakan pemahaman paling sederhana. Pengertian sejarah menurut Baverley menghendaki pemahaman obyektif terhadap fakta-fakta historis. Metode penulisannya menggunakan narasi historis dan tidak dibenarkan secara analitis (analisis sejarah).
Alasan penulisan secara naratif karena faktafakta historis adalah kebenaran obyektif yang tidak boleh dimasuki unsurunsur opini oleh penulisanya (subyektif). Sejarah yang ditulis secara subyektif jelas dianggap menyesatkan. Sebab antara fakta dan opini sudah bercampur-aduk menjadi satu sehingga obyektifitasnya diragukan. Tetapi,menurut Edward Said, sejarah naratif juga tidak steril dari kepentingan. Tak ada pengetahuan tanpa kekuasaan.
Atau sebaliknya, tak ada kekuasaan yang tidak menghegemoni— meminjam istilah Antonio Gramschi. Di sini,Edward Said mengritik “struktur ideologi”yang bersembunyi di balik penampilan akademis berupa catatan kaki dan sikap purapura di balik fakta-fakta historis (Shella Walia,2003: 22). Pemikiran Edward Said sejalan Jurgen Habermas. Bagi filosof Mazhab Frankfrut ini, instrumental knowledge bertujuan untuk mengontrol, memprediksi, mengeksploitasi, bahkan memanipulasi obyek-obyek ilmu pengetahuan.Dengan demikian, wacana obyektifitas dalam ilmu pengetahuan menjadi semakin jauh panggang dari api.
Pendekatan Budaya
Secara filosofis, sejarah tidak cukup didefinisikan secara sederhana seperti teori Baverley.Penulisan sejarah bukan sekadar mengungkap peristiwa-peristiwa di masa lampau, tetapi merupakan sebuah proses memahami secara utuh pola interaksi manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya dalam ruang dan waktu tertentu. Menurut Benedetto Croce (1951) sejarah merupakan rekaman kreasi jiwa manusia di semua bidang baik teoritikal maupun praktikal. Kreasi spiritual ini senantiasa lahir dalam hati dan pikiran manusia jenius,budayawan, pemikir yang mengutamakan tindakan dan pembaru agama.
Dengan mendefinisikan sejarah, perspektif filosofis semakin membuka cakrawala pemahaman bahwa rangkaian peristiwa di masa lampau tidak cukup dipahami lewat pendekatan politik. Sebab, peristiwa sejarah merupakan proses dialog yang melibatkan jiwa dan pikiran manusia dalam ruang dan waktu tertentu, menempatkan manusia sebagai aktor (subyek) sejarah. Menurut filosof Plato (427-347 SM), manusia adalah “hewan berpikir”(animal rational).
Manusia yang berpikir tidak bisa terlepas secara independen dari realitas tempat ia menetap dan bertahan hidup. Proses dialog interaktif yang melibatkan segenap potensi manusia di dunia ini tidak dalam ruang steril, melainkan menempati ruang kebudayaan tertentu. Dalam konteks penulisan sejarah pendekatan budaya, penulis menengarai lima unsur yang masingmasing saling terkait. Pertama, dimensi ruang dan waktu. Dalam konteks penulisan sejarah perspektif budaya, maka di mana dan kapan suatu peristiwa tersebut terjadi harus jelas dan tegas. Pengandaian atau penyebutan secara samar jelas bakal mengaburkan fakta sejarah. Kedua, konsep manusia sebagai animal rational dan latarbelakang sejarahnya.
Menempatkan manusia sebagai aktor sejarah yang memiliki kemampuan berpikir merupakan cikal-bakal munculnya ide-ide kreatif. Ide-ide kreatif muncul dalam proses dialog interaktif manusia dengan realitas yang ia hadapi. Dari sinilah akar kebudayaan manusia. Ketiga, setiap bangsa mendiami kawasan tertentu dan memiliki pola pikir, sistem sosial serta budaya yang mereka warisi dari para pendahulu. Bangsa Persia yang mendiami kawasan Barat Daya Iran merupakan bangsa pendatang.
Mereka berasal dari keturunan suku-suku Arab yang menetap di kawasan tepi Laut Tengah. Sebagian dari mereka juga merupakan keturunan para imigran dari pulau Kreta pada tahun 1200 SM (Ahmad Syalabi, 2006: 3). Dengan demikian,mereka ini terdiridariberbagailatarbelakang etnis yang telah bersatu dalam sistem sosial dan kebudayaan yang boleh dikata amat longgar.Keempat,pola hubungan antara budaya dan kekuasaan. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa jika tanpa ditopang oleh kekuasaan politik tertentu tidak akan bertahan lama.
Sistem politik yang berlaku punmemilikikaitaneratdenganbudaya yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Kelima, bentuk kebudayaan dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa memiliki pertalian erat dengan kebudayaan lain yang mempengaruhinya. Seperti tradisi paganisme di Timur Tengah pada Abad Kelima Masehi merupakan bentuk pengaruh kebudayaan Persia dan Romawi (Byzantium).Pada abad tersebut,Persia dan Romawi merupakan kekuatan politik adidaya yang mewarnai dunia. Kelima unsur tersebut di atas merupakan perangkat pokok dalam mengkaji sejarah pendekatan budaya.
Penulisan sejarah pendekatan budaya dengan metode analitis lebih humanis ketimbang pendekatan politik dengan metode naratif. Kita bisa menikmati beberapa karya ilmuwan kontemporer yang berusaha menjelajahi dunia dalam dimensi masa lampau lewat pendekatan ini. Misalnya Marshall GS. Hodgson dalam karyanya,Venture of Islam.Kemudian Albert Hourani dalam karyanya, Sejarah Bangsabangsa Muslim.
* Mu’arif, Peminat studi sejarah,penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/esai-pendekatan-budaya-dalam-penulisan.html