Ignatius Yunanto, SS
teori-sastra.blogspot.com
Definisi-definisi Kreativitas secara Umum
Kreativitas sampai hari ini telah mendapatkan banyak pengertian. Kata kreativitas sering kita dengar atau kita baca dalam media massa, dalam pendidikan, dalam seminar-seminar, dalam buku-buku, atau dalam percakapan sehari-hari. Bila kita bertanya pada orang-orang tentang pengertian kreativitas, maka banyak orang akan kesulitan dalam memberi batasan yang menurut mereka tepat. Kemungkinan hal ini disebabkan antara lain karena luas dan majemuknya bidang kreativitas.
Dalam mencoba menjawab arti kreativitas secara umum, ada orang yang mengartikan kata kreativitas secara luas dan ada pula yang mencoba menyempitkannya. Ada yang menekankan bahwa kreativitas adalah sikap hidup dan perilaku; tetapi ada juga yang menerima kreativitas itu lebih sebagai cara berpikir. Ada sebagian orang yang mengaitkan kreativitas dengan teknologi dan dunia ilmu, tetapi ada sebagian lain yang menekankan pada sifat artistik, artinya bahwa yang kreatif itu adalah yang mempunyai nilai seni.
Ada banyak tokoh yang mencoba mendefinisikan kreativitas. Di sini penulis mencoba memberikan contoh definisi-definisi ini dari beberapa pemikiran. Julius Chandra, dalam Kreativitas memberikan kata kunci kreatif yaitu: “Kemampuan mental dan berbagai jenis ketrampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan yang unik, berbeda, original, sama sekali baru, indah, efisien, tepat sasaran, dan tepat guna.[1] Di samping itu dalam bukunya juga menunjuk beberapa tokoh yang mencoba merumuskan kreativitas. Ada yang mencoba merumuskan kreativitas secara umum. Untuk membedakan kreativitas yang diartikan secara luas dan secara sempit, kita dapat mengambil contoh misalnya dalam menggambar. Dalam pengertian sehari-hari, kalau ada orang sedang menggambar untuk mengungkapkan ekspresinya, kita mengatakan bahwa ia sedang melakukan tindakan kreatif. Bagaimanapun bentuk hasilnya sudah dapat disebut produk kreatif. Dalam hal ini berarti pengertian kreativitas secara luas. Tetapi, kalau dipakai batasan lebih sempit, gambar itu dapat disebut kreatif kalau dilihat bagaimana pewarnaan, goresan, keluwesan gambar dan makna yang ada dalam gambar itu. Don Fabun, dalam You and Creativity mengatakan bahwa, “Kreativitas adalah semua cetusan daya kerohanian dan seluruh kepribadian yang merupakan pernyataan (aktualitas) kehidupan, baik yang berasal dari seseorang maupun dari kelompok orang.” Erich Fromm, dalam The Creative Attitude mengatakan: “Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk melihat (menyadari, bersikap peka), dan menanggapi.” Kreativitas menjadi unsur inderawi manusia. George D. Stodard, dalam Creativity in Education mengatakan: “Menjadi kreatif berarti menjadi tidak dapat diterka atau diramalkan sebelumnya.” Kadang-kadang orang yang kreatif dianggap sebagai orang yang aneh atau suka tampil beda dibandingkan dengan orang-orang lain di lingkungannya.
Ada juga beberapa yang mencoba melihat kreativitas secara lebih sempit. John W. Haefele, dalam Creativity and Innovation mengatakan: “Kreativitas dirumuskan sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang bernilai sosial.” Kreativitas akan diakui atau dipakai bila mendapat pengakuan dari lingkungan sosial. Kemudian George J. Seidel, dalam The Crisis of Creativity mengatakan: “Kreativitas adalah kemampuan untuk menghubungkan dan mengaitkan, kadang-kadang dengan cara ganjil, namun mengesankan dan ini merupakan dasar pendayagunaan kreatif dari daya rohani manusia dalam bidang atau lapang manapun.” Di sini kreativitas dipersempit sebagai aktualisasi dari daya rohani. Yang terakhir, Jacques Hadamard, dalam An Essay on The Psychology of Invention in The Matematical Field mengatakan: “Jelaslah bahwa penemuan atau kreasi, baik dalam matematika maupun dalam bidang lain terjadi dalam menggabungkan ide-ide.” Di sini kreativitas dipersempit sebagai penggabungan ide-ide. Ide-ide merupakan titik awal munculnya produk-produk kreativitas. Oleh karena itu, yang diutamakan adalah mengkaitan ide-ide yang terpisah menjadi ide baru.
Dalam melihat unsur kebaharuan kreativitas, Anthony Storr, dalam The Dynamics of Creation mengungkapkan “Kreativitas sebagai kemampuan untuk memberi sesuatu yang baru pada eksistensi.”[2] Realitas yang sudah ada ini semakin diperlengkapi dengan sesuatu yang baru. Kebaharuan di sini bukan hanya dalam paradigma atau cara pandang terhadap realitas, tetapi juga bagaimana mewujudkan suatu karya nyata yang baru. Sejalan dengan Anthony Storr, Rollo May juga melihat kreativitas dengan menekankan segi kebaruan dalam kreativitas. Kreativitas adalah process of bringing something into being.[3] Kreativitas merupakan suatu proses untuk menjadikan sesuatu yang baru. Lebih jauh lagi May menegaskan bahwa seseorang melakukan tindakan kreatif (creative act) ketika manusia menyadari keterbatasannya. Dalam keterbatasan dan misteri hidup ini manusia harus berjuang hidup (struggle) dan mempunyai keberanian kreatif. Whitehead juga mendefinisikan kreativitas sebagai berikut: “Creativity is the principle of novelty”. Kreativitas adalah prinsip kebaruan.[4] Dengan demikian, kreativitas menjadi sarana utama bagi entitas aktual karena kreativitas mempunyai daya yang dinamis. Ia mampu bergerak dalam setiap aktivitas entitas aktual. Oleh karena itu, kreativitas ini memberi kemungkinan terjadinya penciptaan diri terus-menerus.
Dengan gambaran beberapa definisi di atas terlihat ada beberapa penekanan terhadap kreativitas yang berbeda-beda. Dari sini kita sulit menentukan mana yang tepat. Namun, demikian kita dapat mencoba memberikan garis merah, yang lebih representatif dari beberapa pandangan umum tersebut. Kreativitas merupakan suatu daya manusia untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan suatu pendorong dan tujuan. Kreativitas berarti kemampuan menciptakan sesuatu bentuk yang baru.[5] Menciptakan sesuatu yang baru berarti merepresentasi (mimesis) sesuatu pada bentuk atau model yang baru. Untuk sampai pada pandangan bahwa kreativitas adalah mimesis, kita harus mempunyai paradigma baru dalam melihat kreativitas ini.
Paradigma Baru dalam Merumuskan Kreativitas
Cara pandang atau paradigma sangat menentukan bagaimana suatu realitas dipahami. Kajian tentang kreativitas sangatlah luas dan majemuk. Kreativitas dapat dipandang dari berbagai segi keilmuan, sehingga bisa membingungkan kita. Untuk itu, di sini penulis memberikan salah satu sudut pandang baru untuk merumuskan kreativitas. Stephen R. Covey dalam bukunya “Seven Habit of Highly Effective People” mengungkapkan bahwa kekuatan perubahan paradigma merupakan kekuatan esensial dari perubahan kuantum.[6] Artinya, dengan adanya perubahan paradigma ini, dunia bisa merangkum banyak potensialitas untuk terus-menerus menciptakan diri sehingga menjadi suatu dunia yang baru. Paradigma ini membantu manusia untuk berpatokan dan memunculkan sesuatu yang baru.[7] Dari sini kita berangkat. Kita melihat bahwa proses alam membentuk manusia, manusia yang juga berevolusi, sehingga memunculkan makhluk manusia yang mau tidak mau selalu mencipta dalam proses perkembangannya, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
a. Proses Alam Membentuk Manusia
Kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan transendensi dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses kehidupan (imanensi), tetapi selalu juga muncul dari arus alam semesta itu untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya (transendensi)[8]. Perkembangan makhluk-makhluk hidup, dari organisme sederhana bersel satu sampai hewan-hewan yang sudah tinggi sekali susunan organismenya, berlangsung dalam suatu perkembangan biologis (evolusi) yang makan waktu berjuta-juta tahun lamanya. Arus alam itu berlangsung terus dalam diri manusia, tetapi di sini nampak suatu dimensi yang sama sekali baru. Manusia tidak membiarkan diri begitu saja dihanyutkan oleh proses-proses alam. Ia dapat melawan arus itu; ia tidak hanya mengikuti dorongan alam, tetapi juga suara hatinya. Manusia menilai dan mengevaluasi alam sekitarnya tetapi pun pula alamnya sendiri.
Hukum-hukum alam, mau tidak mau, harus ditaati: sebuah benda yang yang dilemparkan, harus jatuh. Inilah keharusan hukum alam. Hukum-hukum kebudayaan tidak ditaati secara mutlak seperti pada hukum alam. Manusia bahkan dapat melawannya atau tidak menghiraukannya. Tetapi ini dianggap tidak pantas, tidak layak. Ini yang disebut sebagai keharusan moral. Kadang-kadang seorang tidak dapat mentaati kaidah-kaidah itu, karena moralnya terlalu lemah; kadang-kadang manusia secara sadar mau mendobrak keharusan moril itu, karena menurut pendapatnya keharusan tesebut tidak memadai lagi, maka dari itu perlu diubah atau diperbaharui. Dengan demikian, sejarah umat manusia selalu memperlihatkan suatu dimensi baru, pembelokan arah kebudayaan, dorongan pembaharuan. Di atas tadi dimensi dinamakan dimensi transendensi, karena menerobos dan mendobrak imanensi (terkurungnya manusia dalam proses-proses yang semata-mata bersifat fisik). Ketegangan ini antara transendensi dan imanensi selalu menuntut dari manusia atau kelompok manusia agar dia secara spontan dan otentik melibatkan diri.
b. Evolusi Kehidupan Manusia
Realitas merupakan gambaran suatu proses yang tak pernah berhenti. Dari pandangan Herakleitos, Whitehead, Henry Bergson, atau Jung Young Lee menjelaskan tentang realitas yang selalu berkembang, berproses, selalu menjadi. Perubahan menyangkut keseluruhan. Seluruh alam berubah, benda-alam berubah, dan manusia pun berubah. Manusia berubah menurut alam insaninya. Faktor insani itu ialah penentuan diri demi pengetahuan dan kemauannya. Manusia itu mempunyai pengetahuan yang memungkinkan dia tahu bahwa ia berubah, sekaligus ia juga dapat menginginkan perubahan dan berusaha mengadakan perubahan. Kalau kita menerima adanya evolusi di dunia, maka manusiapun berevolusi. Ia tidak mungkin melepaskan diri dari evolusi dunia, tetapi demi alamnya itu ia dapat mempengaruhi perkembangan dunia dan lama semestanya dan manusia mencoba mempengaruhi dunia dan alam semestanya. Manusia berdialog dengan dunia, ia mengolah dunia. Dalam dunia itu ia membentuk diri dan menyempurnakan diri. Ia menampilkan diri dalam dan karena dunia itu, tetapi tidak semata-mata karena dunia, melainkan karena usaha dan kehendaknya sendiri. Kalau menurut evolusi ada perkembangan dunia ke arah kesempurnaannya dalam arti menjadi lebih baik, demikian juga bagi manusia. Manusia seharusnya juga berkembang ke arah kesempurnaan diri.
Jadi yang paling penting di sini adalah diri manusia sendiri yang punya peran aktif di dalam proses perkembangannya. Manusia terus aktif menanggapi alam semesta di sekitarnya dengan berbagai kekhasannya. Fisik manusia terus mengalami evolusi (seperti dipaparkan oleh teori Darwin, misalnya), demikian juga struktur jaringan otak terus berkembang semakin rumit. (Evolution of The Brain). Tetapi bukan suatu evolusi yang linier, melainkan proses yang konvergen sekaligus divergen, lebih rumit (seperti yang digambarkan Bergson).
Tumbuh dan berkembangnya evolusi hidup manusia sudah dapat kita lihat dalam lintasan budaya dari zaman purba sampai zaman ini. Van Peursen cukup banyak memberikan gambaran tentang proses perkembangan kebudayaan, dari tahap mitologis, ontologis, dan fungsional. Dalam tahap mitologis, gambaran dunia manusia primitif masih tertutup. Batas-batas wilayah sukunya sekaligus juga membatasi dunianya. Yang belum dikenal selalu mengandung bahaya, dikuasai setan-setan, kacau balau, sama dengan dunia yang tak ada. Dorongan untuk bereksplorasi dalam tahap ini masih dikesampingkan. Itulah sebabnya mengapa perkembangan dalam fase ini pada umumnya berjalan dengan sangat lamban. Kemudian tahap ontologis, berarti bahwa manusia mengambil jarak terhadap dunia sekitarnya. Cara hidup berganti dengan cara hidup produktif di mana manusia ingin berbuat sesuatu terhadap alamnya. Di sini gambaran dunia semakin diperluas. Ruang angkasa dipelajari, benua-benua baru ditemukan, adat-istiadat bangsa lain diteliti, ekspresi kesenian lain dipuji, revolusi politik digerakkan. Gambaran tentang maut sudah berbeda dari tahap mitologis. Di sini maut mulai banyak dikaji, terutama dalam filsafat. Dalam tahap fungsional, nampak perkembangan yang lebih maju lagi di mana pertanian semakin disempurnakan, kehidupan industriil diperluas, evaluasi terhadap proses produksi dipelajari. Bahkan dampak-dampak negatif dari perindustrian mulai dikendalikan. Di sini manusia terus belajar bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan yang semakin manusiawi. Dalam masyarakat agraris manusia harus belajar bagaimana bervegetasi. Dalam dunia industri ia harus belajar bagaimana menjalankan produksi. Dan sekarang, dalam masyarakat konsumen, ia beralih ke “masyarakat jasa-jasa”[9]. Lalu bagaimana kehidupan manusia setelah tahap ini? Dengan mengikuti pemikiran Peursen, kita dapat melihat bahwa evolusi manusia tidak hanya berhenti di sini. Masih ada proses yang lebih unik dan khas di kemudian hari.
c. Kreativitas sebagai Kodrat Manusia
Kodrat manusia sebagai makhluk hidup adalah, secara esensial, menyempurnakan dirinya sendiri.[10] Di tengah-tengah situasi yang saling kait-mengkait dalam suatu konteks kesatuan organis, manusia selalu berdialog, berinteraksi, “ngangsu kawruh” dengan realitas di luarnya. Dari sini kesadaran berbicara bahwa “aku” tidak bisa berbuat lain kecuali aktif menanggapi, aktif menciptakan. Tidak mungkin alam yang liar ini dapat menyusun sendiri sebuah bangunan kehidupan manusia yang semakin sempurna tanpa adanya sikap dan gerak aktif dari manusia. Kreativitas atau kemampuan manusia untuk menciptakan sesuatu menjadi syarat utama untuk hidup di dalam dunia dan di dalam dirinya. Tetapi apakah kreativitas dapat berdiri sendiri seperti roh yang menggantung pada manusia atau suatu daya yang in se ada dalam manusia?
Memang ia bisa dilihat dengan banyak cara. Rollo May, misalnya, membicarakan secara dramatis tentang proses kreatif itu sebagai keberanian. Proses kreatif, katanya mengandung unsur perjumpaan, keberanian, dan dorongan untuk membentuk. Kreativitas adalah the process of bringing something new into being.[11] Van Peursen lebih jauh menguraikan kerangka teoritik tentang kreativitas, dengan mengesankan. Kreativitas itu khas manusia, terutama karena dunia manusia bukanlah dunia yang telah serba jadi, melainkan sebaliknya, dunia yang serba belum jadi, serba terbuka, selalu harus dibentuk dan dibentuk kembali, harus setiap kali direstrukturasi. Dalam konteks ini, kreativitas adalah proses restrukturasi itu, restrukturasi realitas supaya makin manusiawi. Dulu realitas sering dimengerti sebagai kata benda, seperti objek material yang kaku dan statis. Kini anggapan itu mulai bergeser: realitas lebih dipahami sebagai rentetan peristiwa, sebagai proses, seperti yang kerap dibicarakan oleh Whitehead, Bergson, dan lebih eksplisit lagi oleh Van Peursen.
Realitas sangat erat berkaitan dengan kultur. Realitas adalah cerita yang berkembang dalam simbol-simbol kultural. Kultur adalah disclosure (ketersingkapan) realitas dari dalam. Meskipun demikian kultur bukan konstruksi realitas. Ia bukan pula kegiatan linier dalam rangka menemukan peta dunia agar kian lengkap seperti yang diyakini oleh teori White Stalin, yaitu teori yang mengatakan, bahwa kultur merupakan upaya untuk memperlengkapi peta dunia hingga makin lama makin kecillah bidang putih atau bidang yang tak dipahami itu. Kultur adalah proses restrukturasi terus-menerus, adalah peta yang setiap kali diubah dan digambar kembali. Maka kalaupun dilukiskan, gerakannya itu tidak linier, melainkan zig-zag. Kultur adalah transformasi data (nature) ke dalam sistem simbol, tapi serentak juga transformasi identitas manusia. Kultur adalah rajutan fakta dan nilai. Dalam seni, ilmu, religi, ekonomi, dan sebagainya realitas selalu menampilkan struktur-struktur baru. Dengan demikian, kultur adalah soal bagaimana manusia menyiasati realitasnya, soal strategi, kata Van Peursen. Dan itu berarti pula soal kreativitas. Lalu kreativitas di sini kita letakkan dalam konteks proses belajar. Kreativitas adalah proses mempelajari cara terbaik untuk merumuskan dan menyiasati realitas.[12]
Dihadapkan dengan realitas yang sedemikian rupa manusia tidak dapat berbuat lain kecuali menciptakan sesuatu. Manusia harus memutar otaknya, melatih anggota-anggota fisiknya, dan mengasah imajinasinya demi kelangsungan hidupnya. Dalam perkembangan selanjutnya manusia harus membentuk rasionalitasnya. Tetapi pembentukan rasionalitas ini tidak berarti kreatif ex nihilo. Manusia tidak mencipta dari ketiadaan. Bagi manusia tak bisa lain, proses dan penciptaan berarti proses pemaduan fakta, struktur, ide, kerangka persepsi dan konteks-konteks asosiasi, yang tadinya sudah ada. Proses awal dari berpikir bukan dari proses asosiasi tetapi bisosiasi. Arthur Koestler selanjutnya melihat tiga kemungkinan penggabungan konteks-konteks itu. Hal ini disebutnya sebagai Trivalensi bisosiasi kreatif (proses dari haha – aha – ah).[13]
Mimesis
a. Apa itu Mimesis d
Mimesis berasal dari bahasa Yunani yang berarti imitasi atau tiruan. Sejak Plato, mimesis diartikan lebih sebagai representasi. Mencipta berarti merepresentasi sesuatu ke dalam bentuk yang baru. Namun, dalam pengertian sekarang atau dalam bahasa sehari-hari sering diartikan sebagai imitasi, atau peniruan. Aristoteles menyatakan bahwa imitasi menjadi suatu yang alami bagi manusia sejak masa kecil. Imitasi menjadi salah satu keunggulan yang melampaui wujud binatang yang lebih rendah tingkatannya. Manusia menjadi makhluk yang paling imitatif di dunia ini, dan yang pertama kali belajar dengan imitasi. Imitasi juga menjadi suatu sifat alami yang memunculkan kesenangan. Bagi Aristoteles, karya seni adalah karya imitasi. Imitasi juga mencakup produk-produk potensial manusia, yang sekarang ini dimengerti sebagai teknologi.
Di sepanjang sejarah seni, dari dunia klasik sampai awal abad ke-20, mimesis itu dipahami bahwa seni itu meniru alam. Puisi Inggris abad ke-16 dari Thomas Overbury dengan sederhana mengatakan “Alam adalah kepunyaan Tuhan. Seni adalah alat manusia.” Kurang lebih tiga ratus tahun sesudahnya John Ruskin mengkritik, “Seni tidak menghadirkan sesuatu yang palsu, tetapi sungguh-sungguh tampil di hadapan manusia sebagaimana adanya”. Puisi Amerika dari Henry Wadsworth Longfellow dalam karyanya Keramos and Other Poems, menuliskan, “Seni adalah anak (turunan) dari alam.” Dalam dunia seni rupa sekarang munculnya fotografi merangsang orang berubah pikiran tentang apa artinya melukis, sehingga gaya naturalistik berubah ke arah impressionistik. Perubahan ini dimungkinkan karena tradisi naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannya pada prinsip mimesis hingga jenuh.[14]
Imitasi dianggap sebagai suatu unsur seni yang berdayaguna, sebagaimana sekarang disebut sebagai seni yang bagus. Sepatu meniru kaki dan sarung tangan meniru tangan. Patung-patung dari seorang pematung telah menjadi suatu representasi dari tubuh manusia. Banyak sekali lukisan-lukisan Timur yang menggambarkan alam. Plato mengatakan bahwa pelukis itu mampu meniru segala sesuatu di dunia ini. Bahkan pilihan subjek seorang pelukis sebenarnya tidak terbatas pada pemandangan alam, bangunan-bangunan, orang, binatang, suasana perang, dan dekorasi anggur dan bunga-bunga pada sebuah mangkok. Kesusastraan dapat meniru kebenarannya sendiri. Musik meniru nafsu-nafsu manusia. Musik juga dapat menjadi deskriptif. Misalnya, dalam Overture karya Tchaikovsky tahun 1812, penyajian musik-musiknya mengingatkan kembali seorang pendengar akan suatu peristiwa suara gemuruh dari meriam-meriam saat Napoleon memasuki Rusia.[15] Atau La Mer (The Sea,1905) karya Claude Debussy mengingatkan akan suara deru ombak.[16]
Peniruan (imitation), dalam arti ini, tidak berarti penggandaan atau penyalinan (duplication). Sebuah rumah yang nyata tentu berbentuk tiga dimensi, tetapi dalam suatu lukisan rumah hanya berbentuk dua dimensi, tetapi tetap bisa menjadi representasi yang nyata. Patung, yang adalah tiga dimensi, lebih mendekati realitas, tetapi tidak hidup seperti apa yang digambarkan.
Gadamer mengakui bahwa ide mimesis dimana seni itu meniru realitas terlihat dalam perkembangan teori estetika post-Aristotelian.[17] Apa yang tampil sebagai kenyataan dalam seni bukanlah suatu peniruan langsung dari dunia itu, tetapi lebih menunjuk pada pemakaian kebiasaan kultural secara khusus. Namun, dia tetap mempertahankan konsep mimesis. Melalui mimesis seni menunjukkan kebenaran realitas, tetapi bukan berarti seni dapat menangkap realitas sebagaimana adanya. Dari sini Gadamer memperlihatkan ada dua representasi, yaitu representasi eksternal dan representasi internal.[18] Representasi eksternal berarti reproduksi dari obyek-obyek atau kopian-kopian, dengan tujuan para pengamat dapat kembali pada keaslian yang mereka reproduksi. Sedangkan representasi internal, adalah representasi artistik itu sendiri dimana kita dapat mengkomprehensi subyek-matter artistik, tanpa membandingkan dengan yang asli. Secara perspektif dan interpretatif apa adanya, seni juga bersifat representasional karena makna seni tidak dapat direduksi sebagai suatu ekspresi kreativitas.
b. Relasi suatu penggambaran dengan apa yang digambarkan
Secara umum representasi berhubungan dengan representasi bergambar (pictorial). Dalam pengertian ini, gambar Paus Leo X karya Raphael merepresentasi seorang Paus Leo X. Oleh karena itu, representasi adalah suatu hubungan antara sebuah gambar dengan apa yang digambar. Istilah-istilah ‘penggambaran’ (depiction) mencoba menangkap kenyataan bahwa ada representasi gambar atau patung atau musik yang tidak sempurna. Meskipun demikian, gambar-gambar tersebut memuat hubungan dengan objek-objeknya. Sebagai contoh, misalnya, gambar Raphael itu mungkin benar terletak di sebelah paus itu. Hubungan representasi lebih khusus lagi menjadi hubungan dari suatu gambar dengan objeknya.[19]
Teks filosofis pertama yang membahas hubungan ini ada dalam karya Plato “The Republic”.[20] Dalam buku ke-10 ini Plato menggambarkan seorang pematung yang dapat membuat apapun yang dibuat para pematung yang lainnya. Dia juga dapat membuat tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk dirinya sendiri, bumi, dewa dan segala sesuatu yang ada di surga maupun di neraka.[21] Ketika teman bicaranya menyatakan keraguannya, dia mengatakan bahwa pada kenyataannya setiap orang dapat menjadi seorang pematung seperti itu, jika dia membawa cermin, yang berisi refleksi dari objek-objek di sekitarnya. Kemudian dia mengatakan bahwa seorang pelukis adalah seorang pematung dari golongan ini. Oleh karena itu, suatu gambar pertama-tama merupakan gambar cermin dari objeknya. Melukis adalah suatu proses mimesis, atau peniruan (imitasi).
Suatu gambar yang dapat mencipta binatang-binatang dan patung-patung tersebut patut diremehkan oleh Sokrates. Sokrates berpendapat bahwa seorang pelukis tidak benar-benar menciptakan sebuah taman yang nyata, tetapi hanya menciptakan penampilan. Dalam epistemologi Plato, penampilan seperti ini harus dihindarkan dari realitas. Hal ini mendasari Plato untuk menolak seniman mimetik dari tatanan ideal. Seorang pelukis telah merayu kita dengan tampilan-tampilan dan membingungkan kita dengan bayang-bayang realitas. Tetapi posisi ini telah ditolak oleh para pemikir dan juga oleh para seniman, yang berpandangan bahwa penjelasan dari tampilan melalui mimesis bisa saja bernilai, dan pada kenyataannya mereka dapat membantu menghantar kita kepada dan melalui realitas. Bagaimanapun juga, apakah mimesis gambar dapat diterima atau tidak, mimesis telah menjadi patokan representasi dari tradisi Barat. Dan ini juga telah menjadi patokan bagi semua gerakan seniman.
Kritik Rene Girard terhadap Konsep Mimesis Plato
Rene Girard adalah seorang pemikir Franco-Amerika. Girard sering disebut sebagai salah satu filsuf kontemporer. Meski mendapat gelar tersebut, dia lebih terjun pada soal-soal antropologis budaya dan sejarah. Pada tahun 1947 dia menyelesaikan tesisnya di Paris. Tiga tahun kemudian mendapat gelar Ph.D di universitas Indiana Amerika. Sejak saat itu dia banyak menyusun tulisan yang bertema humaniora dan filsafat.[22] Di sini penulis menunjuk satu karya yang membahas tentang hasrat yang berkembang melalui mimesis dalam bukunya Things Hidden. Dalam buku ini nampak usaha Girard mencoba menambahkan konsep mimesis dengan kacamata lain, khususnya soal hasrat (desire) dalam suatu mimesis. Tambahan lagi puncak dari mimesis adalah meniru dari lebih tinggi, yang sifatnya ilahi.[23]
a. Pandangan Plato tentang Mimesis
Dalam karya Plato, mimesis dimengerti sebagai representasi, imitasi, dan ekspresi.[24] Plato memperkenalkan mimesis sebagai emulasi[25], transformasi penciptaan sesuatu yang mirip, produk kulit luar (appearances) dan ilusi. Sebelum menulis bukunya The Republic, mimesis bagi Plato dimengerti sebagai imitasi metaforis dan imitasi atas tindakan dari orang lain. Dalam The Republic mimesis juga didefinisikan dalam hubungan dengan puisi dan studi, sebagai seni mimetik. Walaupun konsep Plato mengenai yang real adalah anti mimesis, imitasi memainkan peran yang fundamental dalam pemahaman fenomenologis Plato mengenai hidup.[26]
Rene Girard mengkritik konsep Plato mengenai mimesis yang hanya terbatas pada soal representasi. Dilihat dari konsep Girard, faktor terpenting yang kurang dari konsep Plato mengenai mimesis adalah appropriasi (menjadikan milik).[27] Girard menunjukkan bahwa Plato tidak menempatkan persoalan konfliktual mimesis, misalnya, mimesis yang disebabkan oleh nafsu. Tetapi Plato telah melihat mimesis sebagai sebuah daya yang begitu kuat, sebagai sebuah ancaman terhadap stabilitas dari negara yang dicita-citakannya. Maka, mimesis baik sebagai kopian, tiruan, maupun representasi jelas-jelas dilarang dalam Republik yang ideal.[28]
b. Meniru Model
Tujuan Plato menyangkut dunia Ide-nya adalah membangun sebuah perbedaan, sebuah distingsi antara yang asli dan yang kopian. Dalam karya Plato, Republic, mimesis berarti memproduksi “one’s double” atau bentuk ganda dari sesuatu, tetapi tetap saja, kopian ini bagi Plato tidak ada nilainya. Nilai semata-mata hanya muncul dari model. Maka imitasi itu baik jika modelnya baik dan jelek jika modelnya jelek. Tetapi, dalam dirinya sendiri, mimesis tak bernilai, “esensi” yang sudah jadi kopian adalah negatif, maka menjadi sesuatu yang jelek. Plato menolak mimesis karena kekurangan otentisitas dan bahkan segala otentisitas dan esensi diserahkan pada model. Fakta yang menarik adalah bahwa penolakan ala Plato atas kopian tidak bergema pada Abad Pertengahan dan Renaissance. Sikap penyangkalan atas kopian menjadi populer sejak akhir abad 18, khususnya dalam hubungan dengan teori mengenai seni. Prinsip mimesis mengalami resesi (sejak abad 18) dimana subjektivitas dan kreativitas harus menggantikan mimesis.[29]
Konsep Girardian tentang mimesis tidak mau melawankan kualitas antara model dengan tiruan, karena setiap orang pasti meniru. Kualitas-kualitas yang diinginkan oleh model juga telah dikembangkan melalui imitasi. Peran model sebagai model adalah akibat dari mimesis dan tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, atau secara a priori lebih substansial daripada sebuah tiruan. Originalitas tergantung pada mimesis, pada kemampuan untuk menemukan makna dalam aspek-askpek yang berbeda dari konfigurasi-konfigurasi mimetik dan menempatkan unsur-unsur mimetik secara bersama-sama dalam sebuah gaya (fashion) yang original dan fundamental. Kemampuan ini tidak berasal dari genius a priori tetapi muncul dari imitasi yang khusus, sejenis percampuran mimetik yang pelik.
c. Mimesis Sebagai Pengulangan (Repetisi)
Baik Plato maupun Girard tidak memberi tekanan pada mimesis sebagai pengulangan atau repetisi. Plato tidak pernah berkomentar atas mimesis sebagai repetisi. Girard jarang menggunakan kata-kata repetisi, tetapi ada sebuah unsur repetitif yang kuat dalam menginginkan apa yang ada pada orang lain. Timbulnya hasrat yang bersifat repetitif, sering mengarahkan pada adu kekerasan dimana satu pihak meniru kekerasan pihak lain. Dalam konsep mengenai “the double” (penggandaan), proses pendobelan dari hasrat adalah sebuah proses dimana subjek dan perantara mengulangi hasrat satu sama lain. Dimensi repetitif dari mimesis ini tidak dapat ditangkap oleh Plato karena ia tidak menghubungkan mimesis pada hasrat dan dengan demikian membatasi hanya pada pengkopian dan representasi.
Ketika berurusan dengan repetisi, ingatan kembali ke masa lampau. Imitasi tidak terbatas pada masa kini. Tindakan-tindakan selalu memberi tanggapan pada perjumpaan-perjumpaan sebelumnya. Kita meniru pengalaman-pengalaman masa lalu, dan karenanya mengulangi masa lalu. Imitasi yang disebabkan oleh ingatan kembali terdiri dari sebuah perkembangan, dimana seseorang ketika masih kanak-kanak meniru secara naif dan terbuka pada segala dorongan yang muncul, tetapi ketika tumbuh dewasa, imitasi menjadi lebih terinternalisasi oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan kepribadian seseorang menjadi kurang terbentuk oleh perjumpaan-perjumpaan mimetik. Imitasi menjadi tanggapan akan pengalaman-pengalaman masa lalu yang diambil dari apa yang disebut hidup batiniah kita. Hal ini sesungguhnya memunculkan ke permukaan filsafat Bergson dalam kaitannya dengan teori mimesis.
d. Dilema-dilema Etis pada Mimesis
Dimensi etis pada mimesis adalah jelas ketika seseorang pribadi meniru sebuah model yang baik ataupun yang jahat, dia sendiri akan jadi bagian dari apa yang dia tiru. Namun demikian, dalam karya Plato, kecil kemungkinan untuk jadi bagian dari model yang baik melalui imitasi karena imitasi menciptakan kekeliruan. Peniruan Plato mungkin menerima orang bijak tetapi Plato tidak menerima imitasi sebagai kebijaksanaan. Imitasi itu perse keliru. Plato melihat kaum Sofis keliru karena motivasi mereka berpendapat adalah “memaksa orang yang berbicara kepadanya berkontradiksi dengan dirinya sendiri”.[30] Dalam konteks ini Plato dan juga Aristoteles tidak percaya bahwa meniru seseorang yang baik akan mengantar pada puncak kebajikan. Dalam bukunya Laws, negara ideal digambarkan sebagai mimesis dari hidup yang agung dan sempurna,[31] tidak terlalu berbeda dari tragedi. Dalam karya Plato The Republic, kata kerja mimesis digunakan dua kali, pertama dengan arti positif, dan kedua dengan arti negatif. Mitos-mitos Yunani mengenai dewa-dewi dan pahlawan-pahlawan bukanlah kisah-kisah yang harus ditiru seseorang ketika ia jadi anggota yang duduk dalam pemerintahan. Plato mengecam keras terhadap dominasi pendidikan maternal yang mendidik dan membesarkan anak dengan mitos-mitos destruktif yang pada gilirannya menciptakan mimesis yang jelek sejak bayi.
e. Mimesis yang Baik dan Mimesis yang Jelek
Plato menunjukkan bahwa hampir semua mimesis adalah jelek. Juga dalam karya Girard, ada penekanan pada mimesis yang jelek, tetapi khususnya dalam karyanya yang kemudian, muncul perbedaan yang lebih jelas dan tegas antara mimesis yang baik dan yang jelek. Struktur mimesis yang negatif tidak ada dalam karya Plato. Dalam gagasan tentang mimesis-nya Plato tidak mengenal gerak sesuatu menjadi lebih kuat, lebih bijak, atau lebih manusiawi.
Baik Plato maupun Girard mengkritik mimesis yang jelek dalam masyarakat pada zaman mereka masing-masing karena mengarah pada runtuhnya nilai-nilai moral. Tetapi bagi Girard, tidak ada nilai-nilai moral yang bebas dari mimesis, artinya, nilai-nilai moral hanya dapat dicapai melalui mimesis.[32] Namun demikian, dalam tulisan-tulisan Girard ada sedikit petunjuk-petunjuk positif mengenai mimesis duniawi. Pola pikirnya ialah bahwa mimesis yang baik punya dasar religius, pengungkapannya yang paling jelas ditemukan dalam meniru Kristus (imitation of Christ). Injil termanifestasi melalui sejarah ke dalam sebuah mentalitas tanpa kekerasan. Dan melalui proses sekularisasi, etika duniawi menjadi berharga dan dapat ditiru, tetapi tetap akarnya muncul dari agama.
f. Mimesis yang Baik dan Mimesis yang Jelek dalam Seni
Dalam dunia seni, keseluruhan pandangan Plato menolak mimesis, karena sebagai sesuatu yang jelek. Seni tiruan ditolak karena ia tidak dapat membuat seseorang bijak dan dalam imitasi dalam seni disebutkan berlawanan dengan dirinya sendiri, memecah-mecah karakter seseorang. Karena mimesis dalam seni merupakan sebuah asimilasi dan yang baik dan yang jahat, Plato merasa perlu untuk menolak seni mimesis karena peniruan atas model-model yang jelek (jahat) mengancam Republik.
Plato mengkritik seni mimetik karena merangsang nafsu seksual, kemarahan, dan segala hal yang termasuk dalam kesenangan dan rasa sakit dalam diri kita. Alasannya, seni mimetik meningkatkan nafsu-nafsu ini, padahal nafsu-nafsu ini harus dikontrol.[33] Plato juga mengkritik seni mimesis karena seni ini dapat mendorong orang untuk berbuat jahat. Dalam hal ini, salahlah untuk mengklaim bahwa seni imitatif dalam karya Plato (kontra dengan karya Aristoteles) tidak memiliki efek formatif. Realisme dan moralisme dalam pemahaman Plato mengenai mimesis ditonjolkan karena ia memberi tekanan pada daya dan efek-efek potensial yang menular dari kegiatan meniru. Menurut Girard, penolakan Plato atas kekerasan tragis merupakan kekerasan itu sendiri, karena ia menemukan ekspresi dalam sebuah pelarian yang baru, yakni menjadi seorang penyair.[34]
Di sisi lain, Plato menolak mimesis karena ia melihat kekerasan yang akan diakibatkannya. Dengan pendekatan secara profetis, Plato telah memahami bahwa meniru dewa-dewa yang keji, pahlawan-pahlawan yang kejam, mitos-mitos yang keji akan menciptakan kekerasan. Dari sini jelas bahwa Platolah yang mungkin pertama-tama menghubungkan mimesis pada kekerasan yang kemudian menjadi tema paling penting dalam karya Girard. Plato menganggap mimesis sebagai penyebabkan kekerasan dalam Republik. Plato menginginkan keteraturan dalam Republik, tetapi tidak menganggap stabilitas ini sebagai sesuatu tahapan menuju proses perdamaian universal. Girard menganggap seni yang menyatakan permainan mimetik, sebuah tahapan awal menuju pada imitasi. Plato menghargai orang yang telah memberi teladan kebajikan-kebajikan ideal.
Plato melihat karya para artis, semata-mata sebagai salinan Idea, tidak ada artinya atau jauh dari Ide yang sejati.[35] Seni adalah baik dalam pemikiran Girard sejauh ia menyatakan hasrat, dan sejauh ia (seni) dilihat dari sebuah sudut pandang yang tanpa hasrat (non-desiring). Di sisi lain, seni menjadi jelek jika ia menyembunyikan ataupun mewartakan perantara tanpa menyatakan kekuatan destruktifnya. Maka, tidaklah mungkin mengklaim bahwa Girard menganggap seni mimetik sebagai beracun (poitive) per se. Seni yang menyembunyikan peran dari mediator atau mewartakan sebuah hasrat otonom dianggap sebagai kebohongan (zaman) Romantik. Plato menolak mayoritas ungkapan-ungkapan artistik. Tetapi dia tidak secara total menolak puisi. Puisi yang memberi pujian kepada dewa-dewa dan para warga negara yang berjasa diijinkan. Sebuah puisi juga dapat ditiru sebagai karya mimesis karena menggambarkan dewa-dewa dan para tokoh negara yang ideal. Plato tidak menemukan kesulitan dalam menolak komedi tetapi dia menghadapi kesulitan besar dalam menolak tragedi. Dia bahkan lebih jauh menunjukkan bahwa negara idealnya merupakan sebuah representasi (imitasi) dari tragedi. Musik dan tarian juga merupakan pengecualian, tetapi hanya musik dan tarian yang mengulangi ekspresi-ekspresi tradisional yang dapat diterima. Awal buku Plato yang menolak seni mimesis berakhir dengan sebuah penolakan atas seni yang lebih relaks dan kurang pasti. Plato pada akhirnya menghargai atau memberi kelonggaran pada seni mimetik, seperti drama dan puisi, yang mempunyai peran positif dalam masyarakat.[36]
g. Mimesis dan Moral
Salah satu kritik utama Girard adalah kurangnya penekanan Plato atas sebuah mimesis yang baik. Hampir semua karya Plato berhubungan dengan bagian-bagian destruktif dari mimesis. Di sini Girard memberi petunjuk tentang bagaimana meniru dengan cara yang positif. Ada beberapa solusi duniawi terhadap krisis mimesis (misalnya kekerasan), karena solusi utama adalah solusi religius dalam artian bahwa cara untuk menghindari kekerasan adalah dengan cara meniru Kristus melalui sebuah cinta yang aktif.[37]
Aspek moral dalam Plato lebih jelas karena dia menganggap ungkapan-ungkapan mimetik sebagai sumber konflik dalam disintegrasi masyarakat. Tetapi Plato tidak kesal terhadap aspek-aspek positif dari mimesis dalam pendidikan. Pato menerima para seniman asalkan mereka memberikan gambaran yang baik, sehingga masyarakat dapat mencontoh sesuatu sesuatu yang baik padanya.
It is not only to the poets therefore that we must issue orders requiring them to portray good character in their poems or not to write at all; we must issue similar orders to all artists and craftsmen, and prevent them portraying bad character, ill-discipline, meanness or ugliness in pictures of living things, in sculpture, architecture, or any other work of art, and if they are unable to comply they must be forbidden to practice their art among us. We shall thus prevent our guardians being brought up among representations of what is evil, and so day by day and little by little, by grazing widely as it were in an unhealthy pasture, insensibly doing themselves a cumulative damage that is very serious. We must look for artists and craftsmen capable of perceiving the reality nature of what is beautiful, and then our young men, living as it were in healthy country, insensibly leading them from earliest childhood into close sympathy and conformity with beauty and reason.[38]
Walaupun ada penekanan atas akal dan logos (Allah), prinsip didaktis ini atau moral yang berkaitan dengan dunia ideal tak pernah dapat secara menyeluruh terbebas dari mimesis. Dalam The Republic, Plato melarang peniruan atas model-model yang jelek dan hanya mengakui “imitasi murni atas seorang yang bijaksana”.[39] Dan dalam The Sophist, Plato menyimpulkan panjang lebar tentang peniru yang tulus dan yang tidak tulus (dari kaum Sofis). Oleh karena itu, ada inkonsistensi dalam imitasi atas orang yang baik dan bijak dalam The Republic dan dalam The Sophist, dimana dalam The Republic, mimesis direkomendasikan sementara dalam The Sophist, mimesis hanya mengartikan seseorang menjadi demagogue (pemimpin politik yang mencoba untuk mencari dukungan dengan cara mengajukan argumen-argumen yang mempengaruhi emosi).
Kreativitas sebagai mimesis
Kalau kita mendengar kata mimesis atau meniru, tentu kita bertanya-tanya dimanakah tempat kreativitas. Bukankah kreativitas itu berarti memberi sesuatu pada bentuk atau model yang baru? Bukankah kreativitas itu memberikan gambaran yang baru, berbeda dari yang pernah ada? Pertanyaan-pertanyaan ini secara spontan bisa saja muncul. Namun pertama-tama perlu kita ingat lagi dari pandangan Aristoteles bahwa mimesis bukan berarti penjiplakan atau pemotretan.
Di sini penulis mencoba memaparkan pandangan kreativitas yang berarti mimesis dari sisi estetika dan seni. Namun bukan berarti kreativitas hanya terbatas pada bidang seni dan estetika. Kreativitas tetap mencakup semua bidang aktivitas manusia. Perkembangan pandangan mimesis bukan hanya terbatas pada estetika, melainkan pada seluruh gerak aktivitas manusia.
Dalam teori-teori modern tentang estetika dan seni, beberapa konsep Aristoteles dinilai dan dihargai kembali. Karya seni harus memperlihatkan suatu kesatuan yang bagian-bagiannya saling berhubungan, memperlihatkan suatu koherensi. Setiap karya seni harus berhubungan dengan realitas atau dengan kenyataan, kadang-kadang melukiskan kembali untuk mengamininya, kadang-kadang untuk memberontak terhadapnya, untuk mengambil jarak terhadapnya, untuk memperindah atau mempertajamnya. Tetapi pokoknya selalu mengacu pada kenyataan.[40]
Memang seni tidak terjadi semata-mata karena mimesis (imitasi), melainkan dalam membuat, menyusun, membongkar serta menganut hukum-hukum yang ada. Menurut Plato, realitas duniawi adalah maya, karena merupakan cerminan semu dari dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia idea. Seniman itu meniru alam, artinya ia meniru dari tiruan lain sehingga jauh dari kebenaran dan dapat menyesatkan. Maka, Plato menolak dan merendahkan seniman beserta karyanya.[41]
Jika seni hanyalah suatu sarana untuk pengetahuan, maka seni akan menjadi sangat rendah mutunya daripada geometri. Akan tetapi, jika seni sebagai seni tidak mengenal imitasi – fine arts sejauh diarahkan pada keindahan mempunyai relasi tertentu dengan imitasi – maka cukup sulit untuk bisa mendefinisikannya.
Meniru alam bagi Aristoteles dinilai secara positif. Ia tidak merendahkan karya yang dihasilkan dari meniru realitas. Realitas yang sejati adalah dunia yang tampak, dan bukan dunia idea. Meniru kenyataan itu sendiri sesuai dengan kodrat manusia yang merasa senang bila melihat karya yang mirip dengan aslinya. Manusia adalah makhluk yang paling suka meniru dan ia mulai belajar justru dengan meniru. Dengan meniru seniman mereproduksi atau merepresentasikan secara tepat realitas yang ditirunya, sehingga orang yang mengamati karyanya akan merasa senang.[42]
Fine Arts mencari hasil yang menyenangkan akal budi, melalui intuisi inderawi. Kesenangan ini bukan kesenangan dari tindakan mengetahui, menambah pengetahuan saja atau kesenangan akan kebenaran, melainkan kesenangan yang mengalir deras dari objek karena menampakkan perimbangan bagi akal budi. Maka, setiap karya seni harus bersifat logis atau masuk akal. Ia bukan logika palsu dari ide-ide yang cemerlang; bukan dalam logika pengetahuan melainkan logika dalam karya, yakni memperlihatkan struktur hidup dan kedekatan pada ilmu ukur alam. Bangunan Candi Borobudur, misalnya, memiliki kelogisan yang luar biasa sama seperti ajaran tingkatan kualitas kehidupan dari yang paling rendah sampai pada puncaknya. Gaya bangunan Gereja Abad Pertengahan, sebagai contoh lain, merupakan seni bangun yang mencerminkan selera zaman yang mengindahkan kaidah seni, suatu struktur intelektual dan spiritual dari suatu karya. Di sana terlihat struktur bangunan yang memuncak ke atas, melambangkan aspek transendental dari bangunan tersebut.
Kesenangan mensyaratkan pengetahuan dan lebih dari itu, yaitu mengandaikan kesenangan bagi akal budi. Karena alasan itulah, seni yang ditentukan untuk keindahan, padat dengan bentuk atau warna, suara, kata yang tidak akan pernah pudar baik sebagai wujud barang maupun tanda. Seni bisa dipandang sebagai tanda atau lambang dari perasaan manusia. Dan hal-hal yang dilambangkan, mampu menyiratkan kenyataan lain yang lebih kaya, lebih besar dan yang akan menjadi kemungkinan kesenangan serta keindahan.
Lukisan, patung, puisi, musik dan bahkan tarian merupakan seni-seni representasi, karena mereka mengungkapkan keindahan dan menimbulkan kesenangan batin dengan menggunakan peniruan atau – melalui tanda-tanda inderawi tertentu – membawakan sesuatu yang lain daripada tanda-tanda yang hadir secara spontan kepada jiwa. Lukisan meniru warna-warna dan bentuk gerakan atau peristiwa di luar kita; musik meniru bunyi-bunyian dan degup irama – tarian meniru irama – atau dalam istilah Aristoteles: “watak”, getaran-getaran jiwa, dunia terdalam yang mengatur diri kita.
Kesenangan yang diperoleh melalui keindahan tidak terjadi secara formal karena perbuatan mengetahui realitas; sama sekali tidak tergantung pada kesempurnaan dalam meniru kenyataan. Imitasi atas kenyataan bukanlah suatu tujuan melainkan sarana menuju keindahan. Imitasi sejalan dengan ketrampilan tangan, dengan kegiatan seni dan tidak lebih dari itu. Hal-hal yang ditangkap jiwa melalui tanda-tanda seni inderawi – irama, nada, garis, isi, bentuk, warna, kata-kata, jarak, gambaran – hanyalah unsur material dari seni. Seniman harus meniru sinar cemerlang dari “forma” (kecemerlangan bentuk), yakni tujuan kesempurnaan imitasi. Berkat kecemerlangan yang berpancar dari sesuatu yang teratur dan harmonis, akal budi dapat disenangkan. Itulah “Splendor Veri”, kemewahan dari yang Benar, kata kaum Platonis. Kesenangan datang dari kesempurnaan melalui karya yang mengungkapkan dan mewujudkan forma; atau secara metafisik dikatakan, ia timbul dari kebenaran dari peniruan sebagai perwujudan suatu bentuk. Itulah unsur formal dari imitasi dalam seni, sehingga seni mengandung arti yang universal.[43]
Maka, meniru bukan suatu tindakan mekanis; merekam apa yang ada begitu saja seperti kamera (alat potret). Seniman harus memperhatikan kaidah-kaidah atau logika yang dapat dimengerti, bila ia melukiskan hal-hal atau peristiwa. Lewat pengamatan seorang seniman, sebuah peristiwa diangkat pada suatu tingkat yang universal. Dan karena itu, karyanya dapat memurnikan atau menjernihkan (purifies) jiwa, menyucikan alam perasaan kita. Penjernihan dalam jiwa pengamat atau pendengar terjadi karena sang seniman – melalui akal budinya – berhasil melepaskan bobot material dari perasaan dan hawa nafsu. Dalam definisi seni drama, Aristoteles mengatakan: “Dalam sebuah tragedi, dirangkaikan perbuatan-perbuatan yang serius, lengkap dan bersifat anggun dan agung; dengan mempergunakan gaya bahasa yang enak didengar, masing-masing gaya ditampilkan secara terpisah dalam bagian-bagian tragedi itu, lagi pula dalam bentuk dramatis, bukan naratif; dilengkapi peristiwa-peristiwa yang menimbulkan rasa iba dan takut, sehingga perasaan kita dijernihkan.”[44] Jelaslah bahwa setiap karya seni harus memperlihatkan satu kesatuan yang bagian-bagiannya kait-mengkait, menyatakan kebulatan; harus berkaitan dengan kenyataan dan selalu mengacu pada kenyataan.
Musik mempunyai keistimewaan, yaitu bahwa ia menghasilkan irama dan nada dari getaran-getaran jiwa. Musik meluapkan perasaan dari apa yang ditandakan. Namun luapan perasaan itu bukanlah apa yang ia tuju. Perasaan-perasaan yang hadir dalam jiwa karena irama dan nada merupakan materi yang melaluinya kita merasakan kesenangan suatu forma rohani, suatu tertib transendental, pancaran dari “ada”. Karena itu, musik, seperti tragedi, menyucikan hawa nafsu. Melalui musik, alam perasaan kita dijernihkan.
Dari segi kebudayaan manusia, bentuk mimesis seperti yang dipaparkan di atas dapat kita lihat dalam gambaran Van Peursen mengenai teknologi sebagai fungsi dari badan. Di sini pertama-tama dia menggambarkan bagaimana proses pembuatan sebuah pesawat terbang dari awalnya sampai sekarang ini. Dari struktur badan pesawat yang sangat sederhana (tempel-menempel) sampai pada teknik aerodinamika[45] menggambarkan perkembangan teknik yang semakin diselaraskan dengan fungsi badan manusia.
Lebih jauh lagi, teknologi akhir-akhir ini semakin dapat diintegrasikan secara estetis, dapat selaras dengan alam sekitarnya. Istilah “desain industri” merupakan suatu usaha untuk memberikan suatu bentuk yang indah pada alat-alat teknis, perabot, bis surat, komputer, sepeda motor, dan sebagainya.[46] Ada banyak penemuan-penemuan baru yang memperlihatkan bagaimana teknologi manusia meniru tubuh manusia. Ada banyak contoh yang dapat kita lihat peniruan-peniruan seperti ini, misalnya bentuk kapak meniru bentuk lengan tangan manusia, struktur-struktur kamera meniru struktur organ mata manusia, system jaringan telepon juga meniru system syaraf manusia, bahkan system syaraf pusat pada otak telah direpresentasi ke dalam dunia cybernetica. Kemajuan tercanggih dalam teknologi sekarang ini adalah munculnya robot-robot ciptaan. Robot-robot semakin diperlengkapi hampir mendekati dengan manusia atau hewan atau perangkat tertentu. Bisa jadi robot manusia nantinya hampir tak ada bedanya dengan manusianya sendiri. Dengan kata lain, tiruan yang diciptakan itu semakin mendekati realitas yang ditiru.
Konsep mimesis memang masih selalu diperdebatkan di kalangan para pemikir, misalnya di kalangan filsafat. Ada pandangan lain yang menyatakan bahwa produk kreativitas adalah bentuk ekspresi manusia, bukan bentuk mimesis manusia. Pandangan ekspresionis menekankan orisinalitas ide dan kreativitas seorang pencipta. Segi subyektivitas pencipta juga ditekankan dalam karya ekspresionis. Namun penulis mencoba membatasi dan menekankan bahwa kreativitas merupakan mimesis, dengan argumentasi-argumentasi yang telah dijelaskan di atas. Bisa jadi bahwa ekspresi manusia itu pada dasarnya adalah suatu mimesis atau peniruan. Sebagai contoh misalnya dalam teater. Sebelum seorang mengekspresikan peran tertentu, dia harus belajar dulu mengamati dan mencermati peran bagaimana yang harusnya dia mainkan. Mungkin melalui tontonan yang pernah dia lihat, melalui pelatih, melalui latihan-latihan, dan sebagainya, orang tersebut akhirnya meniru apa yang pernah dipelajari. Bahkan dalam hal keseharian yang tidak disengaja, seorang yang terperanjat kaget akan bereaksi seperti orang-orang pada umumnya. Seseorang yang jarinya tidak sengaja menyentuh api, reaksinya atau tindakannya tidak jauh dari memegang tangannya, menggingit jarinya, menjerit, meniup jari, mengibas-ngibaskan tangan, dan sebagainya. Ada semacam kemiripan ekspresi orang yang satu dengan yang lainnya.
Seperti diutarakan di atas bahwa kreativitas yang merupakan mimesis ini menjadi unsur penting dalam pembentukan kebudayaan. Perubahan-perubahan kebudayaan manusia dari budaya primitif sampai budaya modern selalu menggambarkan aktivitas manusia yang selalu berubah oleh karena banyak faktor. Dari unsur-unsur kebudayaan yang mikro sampai makro selalu bersentuhan dengan daya cipta manusia.