Achyani Subadi *
Lampung Post, 26 Okt 2008
SEPERTI diduga banyak kalangan, film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel best seller karya Andrea Hirata benar-benar meledak. Selama 20 hari diputar di gedung-gedung bioskop telah melampaui rekor film terlaris.
Peristiwa tersebut merupakan fenomena menarik di tengah serbuan sinetron dan film bergenre pertengkaran, mistis, perselingkuhan, dan kekerasan. Laskar Pelangi yang menonjolkan tema pendidikan, humanika, dan sosial bisa menyedot perhatian masyarakat.
Laskar Pelangi menyajikan alur cerita yang sederhana. Seluruhnya merupakan kejadian nyata yang dialami penulis selama bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong, Belitong.
Di balik kesederhanaan cerita, Laskar Pelangi sangat menginspirasi banyak orang baik yang menonton film maupun yang membaca novelnya karena mengandung pesan moral yang sangat berharga. Spirit utama yang dapat dipetik dari Laskar Pelangi adalah keterbatasan ekonomi dan fasilitas tidak menjadi penghalang memperoleh ilmu.
Dengan berbekal ilmu, orang bisa mewujudkan mimpi-mimpinya bahkan menaklukan dunia sekalipun. Dan itu sudah dibuktikan oleh Ikal (Andrea Hirata), murid tercerdas kedua setelah Lintang, yang berhasil menuntut ilmu hingga S-2 di sebuah universitas bergengsi dambaan banyak orang, Sorbone University di Paris. Dari Paris, ia berhasil menjelajah hampir seluruh negara di Eropa dan Afrika.
Begitu pun semangat mencerdaskan otak dan hati yang ditunjukkan Pak Harfan sebagai kepala sekolah dan ibu guru Muslimah tidak pernah kendur hanya karena keterbatasan dana dan fasilitas.
Bercermin dari kondisi yang ada, pendidikan agama dan moral murid-muridnya menjadi concern Pak Harlan dan Bu Muslimah. Bagi keduanya, tidak banyak guna orang yang cerdas tapi miskin hatinya. Kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi di Belitong saat itu disebabkan hadirnya orang-orang pintar yang kaya raya tapi miskin hati.
Sepuluh murid Laskar Pelangi dan SD Muhammadiyah Gantong adalah sebuah contoh entitas yang termarginalkan oleh sistem sosial yang tidak adil yang sengaja diciptakan orang-orang pintar yang menguasai dan menguras timah dari perut bumi Belitong saat itu.
Pengabdian Pak Harlan dan Bu Muslimah di bidang pendidikan pantas menjadi cermin dan teladan bagi banyak pendidik sampai kapan pun. Bu Muslimah adalah sosok guru yang memiliki ketulusan luar biasa menggembleng sepuluh murid yang sama dari SD hingga SMP dan nyaris tanpa bayaran sepeser pun. Kalaupun ada tunjangan hanyalah dibayar dengan beberapa kilogram beras pada bulan-bulan tertentu. Meskipun begitu, dia tidak pernah mengeluh apalagi sampai berdemo menuntut kenaikan gaji.
Ketulusan luar biasa yang ditampilkan guru Muslimah bagaikan tetesan air bening dan segar yang tidak sekadar membasuh, tetapi telah membasahi jiwa-jiwa murid Laskar Pelangi hingga kelak mereka dewasa. Bu guru Muslimah adalah cermin hidup bagi kehidupan para murid Laskar Pelangi dan kita. Sebuah teladan pembelajaran moral yang sangat efektif meskipun tanpa penataran yang memerlukan dana miliaran dan waktu beratus-ratus jam.
Apa yang telah dilakukan Bu Muslimah mengingatkan saya pada ucapan Charles Reade: “Tanamkan buah pikiran dan Anda akan menuai tindakan; tanamkan tindakan dan Anda akan memperoleh kebiasaan; tanamankan kebiasaan dan Anda akan memperoleh karakter”.
Seorang ahli mengelompokkan kualitas guru menjadi tiga, pertama, the good teacher, yaitu guru yang mampu menyampaikan materi pelajaran sesuai tuntutan kurikulum kepada siswanya secara baik. Kedua, the best teacher, adalah guru mampu mengubah perilaku muridnya. Ketiga, the excellence teacher, adalah guru yang mampu mengilhami murid-muridnya.
Berdasarkan kategori tersebut, jelas Bu Muslimah layak menempati posisi the excellence teacher sebagaimana pengakuan Andrea Hirata dan kawan-kawannya yang begitu terilhami ketulusan dan sifat pantang menyerah dia pada keadaan sesulit apa pun. Bu Muslimah juga telah menciptakan momentum yang memungkinkan siswa menemukan apa yang disebut Howard Gardner sebagai crystallizing experiences, yaitu momen-momen yang dapat melejitkan potensi diri seorang manusia.
Ada sebuah pembelajaran lain yang penting bagi kita: Ketika Pak Harlan dan Bu Muslimah tanpa ragu menerima Harun, seorang anak yang mengalami keterbelakangan jiwa kemudian mendidiknya dengan penuh kesabaran. Bu Muslimah pun mendidik murid-murid yang lain menghargai dan membantu kesulitan Harun memahami pelajaran tertentu.
Dengan cara itu, Bu Muslimah tengah mengajarkan empati kepada para muridnya, yaitu memahami dan merasakan kondisi orang lain, yang merupakan inti dari pendidikan moral. Bukan itu saja, dengan menerima Harun sebagai murid dan bersekolah bersama murid lainnya yang normal, SD Muhammadiyah Gantong telah memulai pendidikan inklusi yang saat ini ramai diperbincangkan.
Seperti kita saksikan di beberapa tayangan televisi akhir-akhir ini, banyak sekolah yang kondisinya kurang lebih sama dengan SD Muhammadiyah Gantong yang menjadi latar cerita film tersebut, yang dapat ditemukan di negeri ini hingga sekarang. Bangunan sekolah reot dan hampir roboh, kelas nyaris banjir ketika hujan datang karena genting dan dinding berlubang-lubang, dan sering menjadi tempat berteduh hewan ternak karena tidak berpintu. Begitu pun kondisi muridnya; pakaian seadanya kadang tanpa kancing baju lengkap dan sepatu, serta fasilitas sekolah lain yang masih sangat jauh dari memadai.
Singkat kata, “sekolah-sekolah Laskar Pelangi” yang merupakan kumpulan semua hal yang berbau marginal sebenarnya tidaklah terlalu asing di negeri kita. Ini bisa terjadi sampai kapan pun bila birokrasi pendidikan di negeri ini lebih sibuk mengurusi proyek-proyek pendidikan yang bernilai ekonomi tinggi ketimbang mengurusi nasib anak-anak yang terlantar pendidikannya karena termarginalkan oleh sistem.
Jika saja Dinas P dan K waktu itu berperan sebagaimana mestinya– benar-benar mengurus pendidikan semua rakyat–Lintang, salah seorang siswa di sekolah Laskar Pelangi yang memiliki kecerdasan alam luar biasa, akan terus bisa sekolah dan mungkin sekali sekarang menjelma menjadi Habibie ke-2 atau setidaknya menambah deretan ilmuwan hebat yang masih sangat langka dimiliki Indonesia.
Menyelamatkan satu orang berbakat luar biasa berarti menyelamatkan seribu orang biasa. Karena, bila kelak ia menjadi orang hebat, ia dapat membantu seribu orang lainnya. Itu pelajaran mahal yang harus bisa dipetik oleh para pengambil kebijakan di jajaran Depdiknas agar Lintang-Lintang yang lain tidak bernasib sama, layu sebelum berkembang.
Mata sembab, pipi basah linangan air mata yang mengalir begitu saja dan dada sesak penuh penyesalan memikirkan nasib Lintang adalah pemandangan umum pada ribuan bahkan jutaan orang yang baru keluar dari gedung bioskop menyaksikan film Laskar Pelangi. Semoga saja tumpahan air mata para penonton Laskar Pelangi mengindikasikan kesadaran kolektif bangsa Indonesia, bahwa ada yang salah dalam menilai dan menyikapi fakta sosial yang terjadi di sekitar kita, khususnya dalam pendidikan.
Sebagai sebuah film bermutu, seperti Laskar Pelangi, tidak seharusnya hanya berhenti sebagai sebuah tontonan tetapi seyogianya bisa menjelma menjadi tuntunan bagi kita. Tentu, semua berpulang kepada kesungguhan kita dalam menyikapi sesuatu, apakah kita mau menuai hikmah dari suatu peristiwa atau membiarkan setiap peristiwa berlalu begitu saja dan menganggapnya hanya sekadar tontonan.
*) Achyani Subadi, Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Metro
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/pesan-moral-laskar-pelangi.html