Bandung Mawardi *
Lampung Post, 27 Mei 2012
PENGARANG memiliki kepekaan dan model ungkap unik dalam memerkarakan hembusan modernitas di negeri sendiri. Pengungkapan kerap mengaitkan dengan representasi-representasi modernitas dalam berbagai bentuk. Pilihan atas bentuk aksentuasi modernitas ditanggapi melalui kalimat-kalimat impresif. Pelacakan melalui kalimat-kalimat ini mirip peziarahan historis untuk mengenali dan menemukan penolakan dan penerimaan suatu negeri terhadap sihir modernitas.
Rabindranath Tagore (1861-1941) dalam kalimat-kalimat lugu mengisahkan kontras antara zaman dulu (tradisional) dan zaman modern. Perbandingan ini metaforik dan menguak gagasan-gagasan tentang kekuasaan, kapitalisme, pandangan hidup, dan perilaku. Peraih Nobel Sastra 1913 ini memberi metafor kelampauan: “Zaman dulu adalah seperti putra raja, yang dari waktu ke waktu dalam peristiwa-peristiwa besar, atau dalam keinginan sekejap, membagi hadiah-hadiah mewah dan agung pada semua yang berada di bawah kekuasaannya.” Kalimat dalam buku My Boyhood Days ini kental dengan resepsi kehidupan tradisional dalam genggaman dan kontrol penguasa. Ketradisionalan ditentukan karena sentralisme dan watak kekuasaan. Kebebasan, kenikmatan, atau otonomi jadi urusan pelik karena terberikan atau terkondisikan oleh kemauan rezim. Zaman tradisional adalah zaman harmoni oleh imperatif.
Kondisi itu dibedakan oleh Tagore dalam tuturan cair untuk mengisahkan zaman modern dalam persepsi manusia India pada awal abad XX. Simaklah: “Zaman modern itu seperti putra pedagang, duduk di persimpangan suatu jalan besar dengan berbagai jenis barang yang murah dan remeh tersebar berkilatan di sekelilingnya, dan menarik pembeli-pembelinya dari jalan besar dan jalan kecil dari segala arah.” Zaman modern identik dengan sihir materialistik. Ekonomi jadi acuan untuk mengubat nasib dan martabat hidup. Konsumsi adalah praktek menjadi manusia dalam gelimang citra dan pujaan atas nilai-nilai artifisial. Modernitas menghampiri manusia-manusia di Asia dengan pikat benda dan kekuasaan bersumber dari ulah kapitalisme.
Perbandingan itu menandai kegelisahan pujangga untuk mengenangkan hidup saat masih bocah dan perubahan-perubahan besar di India dalam kuasa kolonialisme. Inggris menjadikan negeri jajahan sebagai kebun untuk menanam dan menyemai kemodernan melalui praktek politik, bahasa, pendidikan, ekonomi, teknologi, dan sastra. Sejarah penolakan dan penerimaan atas sihir modernitas mengakibatkan India tampil dalam wajah mendua. Afirmasi atas nilai-nilai tradisional mengambil ekspresi dalam laku spiritual, seni, dan kultural. Pendambaan atas modernitas tampil dalam bentuk ekonomi, limpahan benda, gaya hidup, dan godaan ideologi-ideologi global.
Kisah di negeri India dalam masa peralihan abad XIX ke abad XX berbeda dengan rembesan modernitas dan penampikan oleh kekuasaan di Turki. Negeri ini memang mendua dengan wajah Asia dan Eropa. Sejarah kemenduaan ini terbentuk karena topangan agama, politik, bahasa, dan pendidikan. Sejarah Turki mirip adalah sejarah pertarungan antara nostalgia dan utopia. Nostalgia atas puncak peradaban Islam jadi klaim identitas politik-kultural. Godaan Barat pun memicu Turki untuk memilih jalan modernitas dengan referensi negeri-negeri di Eropa karena negeri-negeri Islam perlahan mengalami kemunduran. Dilema ini kerap tak selesai oleh kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, atau pendidikan.
Episode Turki saat bimbang memutuskan kiblat perubahan atas nama kemodernan tampil dalam novel The Stone Women karangan Tariq Ali. Novel ini mengisahkan latar kekuasaan politik dan agama di Turki pada abad XV dan XVI. Refleksi kesejarahan dituturkan oleh tokoh Halil dalam perdebatan tentang kejatuhan martabat dan kesalahan penguasa di Turki dalam menilai kebermaknaan mesin cetak.
Revolusi Gutenberg dalam fungsionalisasi mesin cetak di Barat ikut menjadi penentu pembentukan arah modernitas dengan risiko penampikan monopoli otoritas politik dan agama untuk dialihkan pada kebebasan publik dalam menentukan perubahan pelbagai sisi kehidupan.
Tuturan Halil ini keras dan menantang seolah ada sesal saat membuka lembaran-lembaran sejarah suram di Istanbul (Turki). Simaklah: “Istanbul bisa saja menjadi ibu kota segala penemuan dan modernitas seperti Cordoba dan Bagdad di masa silam, tetapi bajingan-bajingan berjenggot yang menetapkan hukum-hukum kita ini takut kehilangan monopoli mereka terhadap kekuasaan dan pengetahuan… Pada permulaan abad keenam belas, setiap kota besar di Barat telah memiliki mesin cetak, sementara Sultan Selim justru mengancam siapa pun yang menunjukkan ketertarikan terhadap hal itu dengan hukuman mati.”
Tuduhan Halil memang nyinyir tapi mengandaikan babak sejarah kontroversial. Mesin cetak diakui sebagai alasan untuk kemodernan dan kekuasaan tradisional menolak karena ada risiko telak. Penguasa takut kisah kejatuhan otoritas politik dan agama di Eropa juga bakal terjadi di Turki. Eropa memang mengalami penggerogotan tapi lekas menemukan jalan perubahan dengan mengusung tema-tema modernitas. Turki sadar dengan keajaiban itu terlambat. Agenda perubahan baru digerakkan dengan model Barat pada awal abad XX.
Modernitas dalam resepsi Rabindranath Tagore dan Tariq Ali seolah takdir zaman dan kemenangan Barat dalam mengonstruksi negeri-negeri di Asia. Pengakuan atas mekanisme kehadiran paket modernitas terbedakan oleh pengajuan contoh dan eksplorasi gagasan. Tagore merasa modernitas merembes di India dengan nalar keseharian. Tariq Ali melalui tokoh Halil justru menganggap bentuk afirmasi atas modernitas ditentukan oleh pembentukan kultur literasi. Kultur ini bisa memberikan kebebasan publik mengolah pengetahuan sebagai basis kehidupan modern. Mesin cetak adalah kunci perubahan. Perbedaan tafsir ini sekadar menampilkan tanggapan-tanggapan atas godaan Barat dan sihir modernitas. Begitu.
*) Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/05/sastra-dan-sihir-modernitas.html