Haska Helmi *
Bali Post, 14 Okt 2012
WARNA gelap dominan di sekujur karya-karya lukisan dan grafis. Sebagian besar karya mempresentasikan sosok perempuan yang terpiuh, dengan latar belakang grafiti dan kolase guntingan berita media massa. Sika Gallery, Ubud, tempat gelaran pameran tunggal Jenny Ashby bertajuk ?Response?, sedari 2 Oktober hingga 25 Oktober 2005, menampilkan karya-karya buah dari kelindan pemikirannya tentang realitas sosial kaum perempuan Indonesia sebagai pembantu rumah tangga. Persoalan-persoalan keseharian hingga yang bersifat global ditangkap sebagai sumber inspirasi menjadi karya.
Jalin-berjalinnya gambar dan kata di atas kertas, yang disebut sang perupa sebagai naratif, menjadi rekaman aspirasi atas pelbagai peristiwa yang menimpa perempuan Indonesia sebagai buruh migran di mancanegara yang tersingkir dan dimarginalkan sistem yang tidak berkeadilan. Sesosok tubuh perempuan yang duduk termangu, yang tangguh atau dengan tonjolan rangka di sana-sini berpejam mata mengisi taferil. Pandang baik-baik tubuh perempuan itu, yang kian rudin menjadi bagian mesin produksi dan tercerabut dari kemanusiannya. Sosok perempuan-perempuan itu menyembul dari kegelapan seakan begitu saja berada pada ruang nyata, ruang rumah kita.
Dalam karya berjudul ?Flower for Women?, sosok perempuan duduk telanjang, matanya tertutup bak pesakitan, bibirnya dijahit benang merah di bidang gelap penuh teks dan sepotong percaberita koran, mempresentasikan yang maya dan yang nyata berusaha saling melebur, sosok itu seakan timbul tenggelam, barangkali sosok-sosok itu kita kenal. Seakan mereka teman kita, tetangga kita, saudara kita, bahkan mungkin orang tua kita. Orang-orang yang terbiasa berkumpul dengan kita.
Perempuan
Selain karya lukisan dan grafis monotipe, perupa perempuan asal Australia yang telah berkarya di Ubud tiga tahun terakhir ini, juga mengusung instalasi wayang-wayangan perempuan yang digantung di atas matras, seember pakaian kotor, cermin, kosmetik dan suara radio yang terus mengoceh tentang para perempuan buruh migran yang menjadi korban tindakan kriminal majikannya. Semua elemen itu direspons dalam sebuah performance art oleh Yanti, seorang tukang binatu dari Monang Maning, Denpasar.
Sebagai perupa yang terlibat dengan pokok soal perempuan pekerja atau buruh migran, Jenny menguasai tiga hal sekaligus yakni medium, teknik, dan konsep secara berimbang. Ia mempersembahkan karya, yang tidak sekadar menjadi perpanjangan media massa yang cenderung mempresentasikan perempuan pekerja yang senantiasa dalam wujud yang serius: wajah marah atau penuh belas, tangan terkepal atau terkulai, tubuh terlindas atau meradang-melawan.
Jenny Ashby mengenyam pendidikan seni rupa di Charles Sturt University, Wagga Wagga NSW Australia meraih titel Bachelor of Fine Arts (2003) dan Master of Arts (2010). Selama tahun 2003 hingga 2010mengampu bidang seni grafis di Riverina Institute of Technical and Further Education (TAFE) NSW, Australia. Sebagai perupa Jenny aktif menggelar pameran di Australiadan Indonesia. Pameran tunggalnya antara lain, ?Video installation, Wagga Wagga TAFE (2010), ?Stories My Mother Never Told?, seni instalasi dengan menggunakan elemen gambar dan grafis, video, bebunyian, objek dan bebauan di Wagga Regional Art Gallery, Australia (2009).
***
*) Haska Helmi, pengamat budaya