Sastra Islami dan ‘Jalan Tengah’

Judul Buku: Pesan Al-Qur’an untuk Sastrawan
Penulis: Aguk Irawan MN
Penerbit: Jalasutra, Jogjakarta
Cetakan: I, November 2013
Tebal: x + 434 hlm.
Peresensi: Ridwan Munawwar Galuh *)
Jawa Pos, 01 Des 2013

Sebagai bagian dari tradisi tulis, esai memegang peranan penting dalam kehidupan berbudaya secara luas. Esai merefleksikan berbagai gerak kebudayaan dalam gerak nalar seorang individu sebagai subjek budaya itu. Kita mungkin akan ingat ungkapan Ignas Kleden dalam esainya “Esai: Godaan Subyektivitas” (Horison, Januari 2004) menulis, “…sebuah esai menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, daya-tariknya muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana…”.Esai harus menarik, dan karena itulah esai tidak kaku dalam berbahasa mengartikulasikan gagasan, dan sifat luwesnya menjadikannya mediator antara dunia publik dengan dunia disiplin ilmu yang rigid.

Puluhan esai yang terhimpun dalam buku ini adalah kumpulan esai yang pernah ditulis Aguk Irawan MN, seorang santri yang telah lama bergelut dalam kebudayaan, terutama bidang sastra. Esai-esai yang terkumpul dalam buku ini, sebagian besar pernah terpublikasikan di media masa, baik lokal maupun nasional, sebagian kecil lainnya pernah dipresentasikan dalam beberapa kesempatan seminar dan diskusi pada komunitas-komunitas seni-sastra, jadi semua menyimpan rekam jejak dari berbagai masalah yang mucul dalam kebudayaan kita, sekitar sepuluh tahun ke belakang, sekaligus juga memperlihatkan bagaimana si penulis menyikapi masalah-masalah itu. Menulis esai dalam rangka menghadapi masalah sosial-budaya menjadi suatu nilai tersendiri bagi seorang penulis, karena itu menunjukkan bagaimana spontanitas dan kepekaan kontekstual dari tradisi-diri dalam berfikir dalam menyikapi problem budaya yang ada.

Judul dari buku ini jelas menunjukkan spirit yang menjadi landasan Aguk dalam menyikapi masalah-masalah budaya itu; Al-Qur’an sebagai pedoman berbudaya. Al-Qur’an memiliki keutuhan dan keluhuran dalam dimensi keindahan (estetika) maupun kebenaran (the truth). Prinsip inilah yang disadari betul oleh Aguk, sehingga dalam menyampaikan suatu kritik, ia meneladani sifat Al-Qur’an, ia mengedepankan prinsip keindahan; keindahan berbahasa dan keindahan budi. Kritik dan pangeling, pepeling (pengingat) ia sampaikan dalam tutur bahasa yang sopan, ucap-kalimah yang tamah dan etika-nirmala yang krama, meskipun tentu saja dengan tetap diiringi ketegasan yang pasti.

Satu contoh, dalam menghadapi persoalan seksisme dalam dunia sastra dikisaran tahun 2007, Aguk mengingatkan kembali akan adanya tradisi sastra linuhung yang terlahir karena terinspirasi oleh Al-Qur’an. Bahkan, Al-Qur’an itu sendiri memiliki kualitas sastrawi yang agung linuhung dan susah ditandingi, dan karena itulah ia bisa mengungguli tradisi sastra pra-Islam di Arab/sastra jahiliyyah yang saat itu terbagi ke dalam dua genre; mu’allaqat dan mufaddaliyat.

Dengan kekayaan referensi dan literatur yang dimilikinya tentang historisitas sastra (dalam dunia) Islam, Aguk yang sempat mereguk ilmu di Mesir ini meneroka secara lebih jauh perihal bagaimana sastra Arab jahiliyyah yang sudah mencapai puncak kejayaan dan keemasaanya. Kejayaan itu dinilai dari dua sisi: pertama, para penyairnya yang memiliki kepiawaian tingkat tinggi dalam berbahasa seperti Imri’il-Qais dan Musailamah, dan Abu Mihjan Ats-tsaqafi serta sederet nama terkenal lainnya. Menurut budayawan Adonis, karya Imri’il Qais yang berjudul “Ayyuhat Ath-thalali al-Bali” (Wahai Puing-Puing yang Usang) dan karya Musailamah yang berjudul “Aayat ad-dhifda’ (Ayat-ayat Katak) memiliki kualitas bahasa sastra yang sangat tinggi, nyaris laik kitab suci.

Kedua, tradisi sastra Arab jahiliyyah juga mendapat dukungan publik yang luar biasa dan total dari masyarakat Arab saat itu; penyair menjadi tokoh masyarakat yang paling disegani, dan puisi menjadi sesuatu yang sangat berharga dan dicintai oleh khalayak luas. Dengan kata lain, istilah “masyarakat sastra ideal” yang sampai saat ini masih digelisahkan oleh kritikus Indonesia, itu sudah menyata pada Arab jahiliyyah. Tetapi kendungan satrawinya yang nyaris tanpa makna yang diperlukan bagi kebudayaan atau peradaban, sebaliknya, yang ada dan banyak justru sastra lendir, atau seksisme itu.

Karena itu Al-Qur’an membawa fungsi dan peran baru dalam bersastra (jahiliyah), dan penyair seperti Ka’ab bin Zuhair, Ibnu Rawah dan Hasan bin Tsabit yang terinspirasi oleh kandungan al-Qur’an kemudian mencipta puisi-puisi yang tidak saja indah dalam bahasa, tapi isinya juga sangat menggetarkan kalbu. Jadi kehadiran kitab suci sastrawi Al-Qur’an di tengah mayarakat Arab jahiliyyah yang bertradisi sastra tinggi adalah pergeseran dari keindahan yang afirmatif pada kebobrokan sistemik menjadi keindahan yang berlandaskan kebenaran yang fitrah. Dan, kehadiran Al-Qur’an tidak membunuh urat nadi tradisi sastraArab, tapi justru semakin memekarkannya dan menjadikannya bernilai mulia.

Nah, apabila gambaran di atas direfleksikan pada kondisi tradisi sastra kita yang penuh lendir itu, bukankah itu sama saja kita tengah berbalik meniru sastra Arab jahiliyyah? Puisi-puisi lendir dan vulgar itu tentu saja meskipun kasar tetap memiliki sisi estetis tersendiri dari segi bahasa dan sastra, tetapi apakah itu cukup, dengan ambiguitas nilai atau bahkan tanpa landasan nilai sama sekali? Kilahan akan mudah sekali dimunculkan, misalnya seperti “puisi-puisi lendir itu hanyalah cerminan atas kebobrokan sosial yang ada”. Sesuatu yang sudah bobrok tidak perlu diafirmasi, tidak perlu dipanjangkan dalam tradisi menulis, dan “kritik sosial” tidak perlu dilakukan dengan cara sembrono seperti itu. Mengafirmasi kebobrokan realitas dengan membuat tulisan yang juga bobrok, adalah sebuah kekalahan diri. Sastra kehilangan jatidirinya sebagai guru pangampih bagi pembaca. Harus ada kesunyian dan kesejatian yang dipertahankan.

Jalan Tengah

Bersamaan dengan mengkritik kecenderungan sastra banal-lendir yang distansiasi dari sakralitas berbudaya, sebaliknya Aguk juga mengkritik tradisi “sastra Islami” yang mengedepankan label dan sisi artifisial dari simbol-simbol agama Islam seperti doa-doa, ucapan salam dan semacamnya. Ini tidak salah, namun beresiko untuk mengerdilkan fungsi sastra sebagai media yang syarat nilai universal. Pada kenyataannya, “sastra Islami” didominasi oleh corak narasi tulisan yang berisi dogma fiqhiyah, kriteria halal-haram, demarkasi hitam-putih antara muhrim dan non-muhrim dan mengabaikan eksplorasi estetik sebagai unsur penting dalam sastra (hlm. 48). Religiusitas terkait dengan nilai universal, “segala sastra mulanya bersifat religius” (YB Mangunwijaya) dan sastra religius tidak harus diekspresikan dengan modus-modus yang melulu bersifat permukaan.

Apa yang diinginkan Aguk adalah “jalan tengah”, seorang yang beriman perlu mengambil inspirasi esensi sastranya dari kitab suci, tetapi juga tak harus mengorbankan estetika. Singkat kata, yang lebih penting sebenarnya esensi dan substansi, bukan serta merta bungkus dan wadah. Toh, sastrawan Islam yang sudah ngempu seperti Adonis atau Nadjib Mahfudz tidak terjebak pada jerat sekadar simbol permukaan bukan? Sebaliknya mereka menjadikan spirit islami sebagai landasan diri dalam menjalani dan mencandra realitas sosial dengan tetap mengedepankan estetika berbahasa. Menghadapi realitas sosial yang semakin rumit dan keras, membutuhkan kelenturan jiwa.

Walyatalattof. lentur. Jalan tengah. Demikian Al-Qur’an ngendika. Dengan berbekal spirit ini pula esai-esai Aguk berlanjut di bab-bab berikutnya, dalam tema yang semakin meluas.

*) Ridwan Munawwar Galuh, pecinta buku, bergiat di Komunitas Budaya Sakra. Tinggal di Jogja.

Bahasa »