Kritik Sastra Kampus, Mana?

Dhoni Zustiyantoro *
unnes.ac.id

Lebih jauh, fakultas maupun jurusan sastra di perguruan tinggi sejauh ini tidak melahirkan sastrawan maupun pegiat sastra yang mumpuni.
SASTRA -hanya- dipandang sebagai hal yang perlu dipelajari. Setelah itu, berhenti sebagai bidang ilmu. Di kampus, ia dilesapkan di dinding kelas dan pembelajaran yang terkesan kaku.

Beberapa puluh tahun lalu HB Jassin, kritikus dan dokumentator sastra terlengkap negeri ini pernah berkata, tak ada kritik sastra di kampus. Lebih jauh, fakultas maupun jurusan sastra di perguruan tinggi sejauh ini tidak melahirkan sastrawan maupun pegiat sastra yang mumpuni. Bidang itu justru banyak digeluti oleh mereka yang tidak berangkat dari pendidikan tinggi. Terlebih lagi sarjana (bahasa) sastra kian tak mampu hidup dan menggantungkan mimpi, juga harapan untuk mengkhidmati jalan itu. Dunia sastra benar-benar bukan pilihan untuk dapat hidup.

Di sisi lain, kritik sastra tidak jarang digunakan sebagai pendekatan. Maman S Mahayana dalam sebuah esai panjang “Sejarah Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia” menjabarkan, kritik sastra dianggap sebagai pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret.

Dalam banyak perbincangan, teori, pendekatan, maupun penelitian sastra hampir-hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori kritik sastra. Walhasil, teori semacam strukturalisme atau semiotik, misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra. Teori itu kemudian menjadi komoditas, digunakan sebagai alat penelitian terlaris -termasuk juga oleh pengajar di banyak perguruan tinggi.

Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan telaah yang lebih mendalam terhadap karya sastra, teori -yang menjadi alat analisis- itu kemudian seperti gagal. Kekayaan makna dan interpretasi tak mampu diiris oleh “pisau impor” itu. Ketika dioperasikan, teori-teori itu seakan memberi aura ilmiah belaka.

Minim Geliat

Dalam ranah pendidikan tinggi, “kritik sastra ilmiah” itu kemudian hanya sebatas pada tugas, skripsi, tesis, bahkan disertasi. Tentu, bila ditanya kebermanfaatan -sering ditulis manfaat penelitian- pun mandek. Atau bahkan Sang Peneliti ragu akan kebermanfaatannya. Sastra benar-benar -hanya- menjadi komoditas.

Yang kemudian terjadi, mahasiswa (bahasa) sastra pun makin enggan untuk total. Keengganan itu nampak pada makin minimnya apresiasi, pentas, maupun penerbitan buku sastra karya mahasiswa. Hal itu penting sebagai sarana pengembangan potensi dan eksistensi daya juang. Memang, sesekali nuansa sastra muncul di beberapa sudut kampus, namun itu pun minim peminat; sebut saja pentas teater atau puisi tak pernah dipadati apresiator -mungkin termasuk pengajar (?). Mahasiswa sastra hilang. Yang digadang-gadang tak kunjung datang. Sastra dianggap -akan- tumbuh subur di kelas.

Realitas yang ada, mahasiswa tak lagi akrab dengan pendalaman materi dan ke dalam berpikir -apalagi berpikiran kritis. Mereka lebih akrab dengan jejaring sosial, chatting, maupun gadget. Kalaulah benar pernyataan Armijn Pane, seperti yang ia tulis dalam Kesoesasteraan Baroe, “Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.” Maka benarlah: geliat sastra makin hilang -seiring dengan pelakunya yang juga kian lenyap.

Dalam hubungan itulah, seorang sastrawan -atau setidaknya mahasiswa (bahasa) sastra- tidak dapat melepaskan dirinya dari tanggung jawab sosial. Ia dapat dipandang sebagai wakil masyarakat; mewakili kebudayaan dan daerah, juga mewakili semangat pada zamannya. Sastra kerap dianggap sebagai potret sosial. “Setiap masjarakat lain seninja, setiap waktoe lain seninja,” tulis Armijn Pane.

Di Sekolah, Mana Pula?

Sadar akan minimnya totalitas itu, nyatanya mahasiswa sastra -ingin- berbelok arah menjadi pendidik. Kepada cita-cita luhur inilah tak sedikit dari mereka menggantungkan harapan setinggi-tingginya. Angan-angan “pamungkas” ini nampaknya menjadi pemberhentian terakhir atas apa yang ingin dicapai; menjadi pegawai negeri sipil (PNS), maka selesai!

Namun, masalah tak ingin berhenti. Kurikulum sastra di sekolah tak mendapat porsi sesuai. Pembelajaran sastra yang harusnya menyenangkan, terbatas pada kemampuan tenaga pendidik. Lagi-lagi karena masa belajar mereka minim apresiasi -jangankan kritik atau karya. Di sini, sastra berhenti di kelas. Syahdan, bibit-bibit penggiat sastra di sekolah pun tak terkelola.

Dalam beberapa kesempatan, sastrawan senior Jawa Suparto Brata mengatakan, “sastra adalah buku”. Itu mungkin sering ia ungkapkan karena semakin jengah, saat ini makin minim terbitan buku sastra, apalagi oleh kaum muda. “Kalaulah tiada orang yang sempurna, setidaknya proses juga butuh jangka waktu,” kata Mbah Parto.

16 Mei 2012
*) Dhoni Zustiyantoro, alumnus Bahasa dan Sastra Jawa FBS Universitas Negeri Semarang.

Bahasa »