Tjut Zakiyah Anshari *
GIRINDRA Pararaja Tumapel Majapahit kembali melakukan perjalanan, dan ini kali kesembilan sejak dirilis akhir Desember tahun lalu (2013). Surowono, sebuah candi yang terletak di dusun Surowono, desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, menjadi tempat yang dipilih oleh penyelenggara, Komunitas Teater Sastra Pare. Diskusi dilaksanakan di sisi timur candi jejak peninggalan sejarah, dan merupakan pendharmaan Bhre Wengker yang wafat 1388 M.
Pukul 9, penulis GIRINDRA, Siwi Sang, telah bersama dengan tamu dari Nganjuk dan Bekasi. Panitia tampaknya belum mempersiapkan segala sesuatu untuk diskusi yang sudah diagendakan 2 minggu sebelumnya ini. Bagi para tamu yang lebih banyak berasal dari seniman – budayawan, fenomena ini bukanlah hal yang aneh dan patut diresahkan. Rupanya sudah bukan rahasia lagi, “jam karet” termasuk salah satu budaya yang masih melekat. Tidak demikian dengan Agus R. Subagyo, penyair dan penulis asal Nganjuk ini, dan juga Siwi Sang. Menurut mereka, budaya ini seharusnya dibuang jauh-jauh. “Seniman dan budayawan pun harus memiliki sikap menghargai waktu, juga agar tidak mengecewakan tamu yang hadir tepat waktu,” kata Siwi.
Satu jam kemudian, diskusi buku GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit yang ditulis Siwi Sang dimulai dan dimoderatori Dedi Ashari. Edi Santoso, pendiri Study Asia-Afrika Society bidang sejarah, narasumber sangat antusias memberikan apresiasi pada buku yang diterbitkan Pena Ananda Indie Publishing (Tulungagung) ini. Menurutnya, GIRINDRA ini buku yang berhasil mengumpulkan puzzle sejarah yang selama ini terpotong-potong, terserak, bahkan sebagian lagi hilang atau “dihilangkan” karena sesuatu sebab dan kepentingan. GIRINDRA juga berhasil memaparkan dengan baik dan gamblang bagian-bagian sejarah yang selama ini cenderung tidak terbaca, disisihkan, bahkan ditutupi dan diputarbalikkan karena sesuatu hal pula atau kepentingan tententu. Bukan rahasia pula, bahwa sejarah lebih sering dtulis oleh para penguasa, atau mereka yang berdekatan dengan kekuasaan. Hanya segelintir kecil para sejarawan atau budayawan dan menuliskannya secara obyektif.
Seperti yang dicontohkan Siwi dalam Babad Tanah Jawa khusus episode masa keruntuhan Majapahit yang banyak dijadikan acuan penulisan sejarah Nusantara, tak lepas dari kepentingan kolonial Belanda yang saat itu mensponsorinya, meski ditulis oleh para sastrawan Keraton Mataram Islam. GIRINDRA, menurut Edi dan beberapa peserta diskusi, juga memaparkan fakta-fakta dan analisa data tentang beberapa tokoh sejarah yang berbeda dengan yang dipelajari para siswa di sekolah.
“Mungkin seperti aku yang sudah 40 tahun dicekoki bacaan sejarah di sekolahan-sekolahan, yang menurut pemikiranku hingga saat SMA, meyakini kebenarannya, dan setelah lulus SMA, aku kembali mempertanyakan kebenaran itu. Karena ternyata banyak sekali kepentingan-kepentingan saat menuliskan itu, bukan pure untuk menggali sejarah, akan tetapi ada sisipan-sisipan yang dilakukan oleh penelitinya yang sebagian besar dari Belanda,” ungkap Agus R. Subagyo dalam diskusi tersebut. “Dan disini terbukti. Ini kita masih ngomong Jawa, 3 wilayah kecil, Kediri, Tumapel, Majapahit. Belum ngomong Indonesia. Sejarah Indonesia itu sudah banyak yang tidak jelas, dan itu dicekokkan ke berapa ratus juta anak-anak Indonesia. Kita juga salah satu korban, yang tadi juga diakui oleh mas Edi Santoso. Memang butuh dukungan dari kita semua, agar buku ini tetap dibaca oleh banyak orang, terutama generasi muda,” sambung sosok yang lebih akrab dipanggil Rego itu.
Diskusi semakin menghangat, tetapi keteduhan yang dihadirkan rerimbunan pohon bambu, memberi efek kesejukan dan dinamisnya diskusi yang memakan waktu hingga sekitar 3 jam. Menurut Aris Thofira sendiri, menariknya GIRINDRA adalah tidak hanya menuliskan hal empiris saja, yang bisa terbaca oleh indera, tapi juga membaca dibalik yang tampak oleh indera. Pembacaan simbol-simbol yang dihadirkan oleh karya sastra kuno, sebagaimana dilakukan Siwi Sang menjadi kekuatan eksklusif dari buku GIRINDRA. Cara membaca sejarah dengan kekuatan intuitif inilah yang tak dimiliki oleh sejarawan Eropa, meski sudah mengusung jutaan naskah kuna milik Nusantara. “Dalam arkeologi, sejarah punya patahan-patahan yang harus ditambal, dan penambalan itu memerlukan kreativitas. Dan kreativitas ini saya lihat ada di mas Siwi,” ungkapnya.
“Itulah kelebihan kita sebagai orang Atlantis. Orang Atlantis punya kelebihan rasa, hati nurani, indera keenam. Orang Eropa-Amerika punya kelebihan logika,” imbuh mbah Suroso yang lebih akrab dipanggil Ki Sanggem.
Ternyata, di lokasi bangunan candi yang telah ada sebelum Bhre Wengker wafat, sebagaimana diungkapkan Siwi dan menuliskannya di buku GIRINDRA, di sini Edi Santoso tahun 2010 menggagas lahirnya SAAS bersama keempat kawannya. Sesuatu yang dimulai dari kecil, dengan komitmen tinggi, akhirnya berbuah kepercayaan dan keberhasilan. Maka itu pula yang diharapkan dari diskusi sor pring (bawah bambu, red) tentang buku GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit karya Siwi Sang ini. Menurut Edi, kegiatan ini adalah bentuk kesadaran baru yang akan beresonansi saat mereka pulang dari Surowono. “Revisi demi revisi catatan sejarah, untuk kembali memproyeksikan peradaban baru,” katanya menegaskan. Dan tentunya menggelitik rasa ingin tahu, hasrat untuk mendudah, menjawab banyak tanya, “jangan… jangan…”.
25 March 2014
*) Founder of PENA ANANDA CLUB dan Penerbit PENA ANANDA INDIE PUBLISHING.