Imas Damayanti
koran-sindo.com
Minimnya ruang sastra dalam publikasi menimbulkan kecurigaan terkait wacana untung-rugi dalam ruang sastra di media. Pasalnya, sastra bukanlah suatu hal yang dapat menarik profit bagi media.
Sementara menyempitnya ruang sastra akan mengikis kehadiran generasi ideologis kelak. Hal itu mencuat dalam diskusi publik bertema, Senjakala Ruang Sastra di Media , di Gedung OLVEH, Jakarta, akhir April lalu. Menurut penulis Djenar Maesa Ayu, terkikisnya ruang sastra akan membuat para generasi ideologis kehilangan ruang untuk berekspresi.
“Proses kreatif yang dilalui para generasi ideologis sejatinya adalah hal yang harus dianggap penting dan perlu bagi perkembangan sebuah bangsa,” katanya. Nah , persoalannya, bagaimana menjaga keberlangsungan generasi ideologis tersebut? Penulis dan sutradara Agus Noor menilai, perkembangan sastra dari waktu ke waktu mengalami perubahan yang cukup signifikan di ranah media.
Jika pada tahun 70-an terdapat beberapa media seperti majalah yang berfungsi sebagai lembaga otoritatif terhadap sastra, ketika itu pula sastra memiliki trek yang terarah dengan “legitimasi” otoritas tadi. Sementara pada tahun 80-an majalah mulai tergantikan perannya oleh media cetak harian atau koran.
Di era ini penulis dan penggiat sastra sangat terbantu dalam memublikasikan tulisannya. Media cetak harian ini pun menurutnya secara tidak langsung mengambil peran sebagai lembaga otoritatif kala itu. Namun, saat ini fungsi otoritatif hampir tidak terasa sama sekali. “Hari ini kita hampir-hampir kehilangan fungsi otoritatif terhadap sastra,” katanya.
Agus mencontohkan, saat ini hampir setiap orang bisa menuliskan tentang apa pun sesuka hati di dunia digital, termasuk sastra. Bahkan ia menilai, orang yang buta akan sastra pun banyak yang menuliskan soal sastra dengan pendekatan individualis tanpa peduli bagaimana harusnya sastra berbicara.
Jika dahulu sastrawan Seno Gumira Adjidarma merilis sebuah buku, menurutnya, telah ada reviewer yang memiliki kualitas sastra hampir setingkat dengan Seno. Dengan begitu, tulisan mengenai review tersebut secara tidak langsung begitu kuat dan dapat menjadi rujukan-rujukan yang memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Hal sebaliknya terjadi saat ini. Menurutnya, hari ini setiap orang termasuk anak-anak generasi alay pun—dapat menulis tentang film Ada Apa Dengan Cinta 2 tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan film Ada Apa Dengan Cinta pertama secara kontekstual dan virtual sesuai gagasan yang coba dibawa si sutradara.
Hal seperti itulah yang menurutnya, fungsi otoritatif hampir hilang sama sekali. “Siapa saja hari ini bisa menulis dan berinteraksi dengan meng-gunakan nama sastra, tapi pada ha-kikatnya (sastra itu sendiri) hilang,” katanya. Maka, jika ruang sastra makin terkikis di ranah publikasi, akan ada dua kerugian. Pertama , hilangnya fungsi otoritatif terhadap sastra.
Kedua , timbulnya persaingan yang tidak sehat. Senada dengan hal tersebut, redaktur pelaksana harian Suara Merdeka, Triyanto Triwikromo, menilai, saat ini dunia digital memiliki kebebasan yang tidak terarah sehingga menanggalkan fungsi otoritatif. Sementara itu di sisi lain juga pada 2015 dunia digital membuka ruang terhadap dunia sastra ke tempat yang belum pernah terjamah sama sekali sebelumnya.
***
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=19&date=2016-05-15