Dialektika Generasi Teater Modern di Cirebon (1-5 Habis)

Edeng Syamsul Ma’arif
cirebontrust.com

Apa kabar generasi teater di Cirebon? Mencengkeram bola-gagasan keberdirian dan kebertahanan atau membiarkannya terbang bersama pesimisme wacana publik yang telah menelikungnya ke dalam ruang gelap dan pengap? Keras kepala dengan estetika dan manajemen kelompoknya atau merelakan sekujur tubuh dilindas eksistensi kapiran masa lalu?

Membicarakan teater modern Cirebon, tak ubahnya mengobok-obok sebuah kolam ikan hingga keruh. Sementara, semua paham betul teater modern Cirebon mengalami involusi. Ibarat menegakkan benang basah, serba salah berbaur aroma apatis dan apriori.

Sejak dahulu persoalannya selalu sama. Seputar nostalgia, menyedihkan dan tidak menyedihkan, tentang legenda dan mitos-mitos yang dibangun untuk mengutuk setiap generasi menjadi pecundang. Hingga fakta terbaru melukiskan kecenderungan generasi hari ini yang sibuk mencari tempat berlindung dari sergapan kompetisi kreatif dan ekonomi yang tidak mengenakkan.

Ada baiknya semua pihak kembali ke rumah masing-masing. Mengembalikan kesadaran kepada ruang dan waktu konkretnya. Menata diri dan berpikir ulang soal orientasi berkesenian, menegaskan cita-cita pribadi dan kelompok, merumuskan estetika lewat peristiwa di atas panggung, menggali potensi dan fungsi manajemen organisasi, membangun jaringan kerja kreatif antar komunitas untuk menghadirkan pergesekan dan kompetisi wacana lewat pertunjukan dan dialog intensif, dan seterusnya. Meski tidak bermaksud simplifikatif, langkah semacam ini akan memenggal kesombongan masa silam yang telanjur membatu.

Karena sejarah telah menjelma lampion yang akan menerangi sekat-sekat masa lalu. Kita tidak akan bisa masuk untuk sekadar meniup atau menghidupkannya kembali, sebab ia telah menempati tanah pekuburannya. Sejarah adalah benda-benda, prasasti, imaji-imaji, legenda tentang labirin, atau titian yang menjembatani gerbang masa kini dengan masa lalu yang berserak memenuhi halaman ingatan-ingatan.

Dan pada kenyatannya, ingatan-ingatan generasi yang berada jauh di belakangnya tidak akan mampu sepenuhnya memahami, menginterpretasi, dan mengharu-biru singgasananya. Kecuali membacanya lewat fakta-fakta lisan dan tulisan yang tersebar di media massa, makalah-makalah, arsip-arsip yang bertumpuk di laci gudang, atau obrolan-obrolan di warung kopi.

Mungkin kita tidak akan pernah bisa menolak atau menerima gagasan dan kemungkinan yang ditawarkan oleh masa lalu, dalam bentuk retorika maupun teka-teki, tanpa pertimbangan interpretatif, imajinatif, kreatif, dan rasional. Dengan bahasa lain, kita tidak mungkin merebahkan diri pada hamparan artefak tanpa menggerakkan naluri skeptik, sejalan dengan pengetahuan dan wacana yang berkaitan dengannya.

Namun, jika pilihan wacana tak pernah bisa ditemukan, persoalan klasik masih menjadi hantu bergentayangan merasuki tubuh dan isi batok kepala; masa lalu masih menyisakan tempat untuk sekadar mengisap cangklong sambil bertumpang kaki, sembari menilik gagasan yang berserak tak beraturan dalam khazanah literatur kebudayaan.
***

Jika ditengok kembali, sejak mula berteater adalah pilihan sulit dan mengerikan. Lorong gelap yang tidak tegas memberikan jaminan masa depan. Meski tidak berarti menciptakan martir atau sekadar melanjutkan tradisi Sisyphus, betapa naif ketika harus berpikir tentang waktu yang dibutuhkan untuk proses berteater.

Berteater adalah fakta tentang ilmu, cita-cita, perasaan, teks literer, karya cipta dan praktik dramaturgi, naskah, sutradara, aktor, pendanaan, produksi, organisasi, publikasi, penonton, kritik, ulasan, dan sebagainya. Berteater tidak merupakan simplifikasi atas keluh dan duka lara perasaan ingin bermanja-manja atau pelampiasan ekspresi semata.

Pikiran semacam itu akan menemukan bentuknya ketika direkatkan pada sewujud komunitas yang terbangun karena kesamaan emosi, cita-cita, komitmen, faktor sosial, kesungguhan, dan spiritualitas para pelakunya. Di sana ada hukum-hukum yang disepakati bersama sebagai pengatur lalu-lintas kreatif dan sosial. Mencapai target bersama, mengevaluasi, introspeksi, dan membangun kesadaran terhadap tanggungjawab moral dan estetika suatu karya.

Sadar Kemiskinan

Kata WS Rendra, bekerja menciptakan teater modern Indonesia harus bertolak dari kesadaran akan kemiskinan. Adapun kesadaran itu bukan dari jenis yang penuh rasa kasihan pada diri sendiri dan bukan pula kesadaran yang segera disertai hiburan-hiburan maya tak berguna. Kesadaran itu harus dari jenis pandangan akal sehat yang biasa saja.

Sudah menjadi kenyataan teater modern di Indonesia miskin penonton, miskin kritikus, miskin penulis, miskin gedung, miskin kesempatan, miskin modal, miskin keuntungan material, miskin peralatan teknis.

Lebih jauh, Rendra menyebut, kritik drama di Indonesia juga belum tumbuh. Sehingga orang terpaksa harus bekerja dalam gosip, komentar-komentar ngawur, opini-opini penuh dorongan ego yang tidak mampu merangsang kreativitas dan justru menyeret ke arah tetek-bengek yang tidak ada hubungannya dengan drama.

Namun, jelas Rendra, karena kreativitas datangnya dari dalam diri manusia dan tidak dari lingkungan serta tetangganya, maka tetap tidak ada alasan untuk mengompromikan kualitas dengan situasi. Statemen Rendra ini telah dilontarkan sejak awal 60-an. Namun, sudahkah para pelaku teater di Cirebon menjadikannya sebagai tawaran gagasan yang keras didiskusikan?

Memang, berteater dengan identitas komunitasnya tak sejenis supermarket yang dibangun oleh motivasi dan kekuatan korporasi. Kelompok teater adalah sejenis Sega Lengko Pagongan atau bubur sop ayam Pelet di Plered dengan segala kekhasan produk dan manajerialnya, sehingga akan membuat siapa saja merasa penasaran, ketagihan, dan akan berusaha mencari di manapun warung itu berada. Analogi semacam ini memang menyebalkan. Namun, faktanya, selama ini teater modern di Cirebon tidak dibangun oleh asumsi kosmopolit dan konglomerasi. Jika ada yang nekat melakukannya, niscaya ia sejenis calo kesenian dalam pertunjukan teater naskah realis.
***

SEKADAR menyebut nama, Cirebon pernah memiliki sutradara, aktor, penulis naskah andal seperti Arifin C Noer (alm), Indra Suradi (alm), Nano Riantiarno (pendiri Teater Koma), Embi C Noer, Toto Sugiarto (alm), Nurdin M Noer, Dicky Purs, Usman C Noer, Sumbadi Sastra Alam, Dino Sahrudin, Mahmud, Nana Gareng Mulyana, Andrian Raharjo, Ken Nagasi, Ali Bustomi, Chaerul Salam, Askadi Gibarlah, Satoy Syahbandar, Dewi Mayasari, Ade Nurhadi, Neneng Herni, Dedi Kampleng, Alvin Aquila, Koernady Chalzoum, Muhammad Achir, dan sederet nama lain yang sempat mewarnai jagat teater modern Cirebon.

Pada saat itu, sekitar tahun 1970-an hingga 1995, Tim Budaya “PR” Edis Cirebon dan kelompok lain seperti Teater Nara, Teater Cob Cob Gerage, Teater An-Nur, Teater Alif , Teater Awal, dan lain-lain menemukan masa keemasannya. Teater modern Cirebon marak oleh pertunjukan beserta ulasan-ulasannya di media massa (ketika Cirebon baru memiliki surat kabar mingguan satu-satunya, “PR” Edisi Cirebon).

Gedung Pemuda di Jalan Lawanggada (kini menjadi Apotek Aman) menjadi alternatif ruang terbaik untuk setiap acara-acara kesenian. Pentas teater, lomba baca puisi dan cerpen, dan seminar kebudayaan, berlangsung meriah di tempat ini. Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) ketika itu masih menjalankan fungsinya sebagai fasilitator event-event kebudayaan. Pergesekan kreatif dan sosial berlangsung intens.

Kemudian, situasi berubah. Gedung kesenian dipindah ke komplek perkantoran Bima. Atas prakarsa Walikota Cirebon, Kumaedhi Syafruddin (alm), berdirilah gedung kesenian yang diberi nama Nyi Mas Rarasantang pada tahun 1997. Aktivitas kesenian dan kebudayaan bergerak kembali, meski konstruksi dan akustiknya jauh dari kategori gedung pertunjukan. Akses transportasi juga cukup menyulitkan apresian untuk menghadiri acar-acara yang diselenggarakan di tempat ini. Sehingga muncullah kebiasaan baru yang cukup memprihatinkan: pentas teater diadakan siang hari! Tujuannya satu, agar penonton bisa pulang sebelum hari menjadi gelap.

Hanya Dewan Kesenian Cirebon (dikomandoi penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy) yang masih mempertahankan tradisi acara dan pertunjukan di malam hari. Tercatat, WS Rendra bersama Bengkel Teater pernah singgah di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang, menampilkan teater mini kata Bip Bop. Kemudian Teater Koma Jakarta, Teater Titik Nol Bandung, Teater ESKA Yogyakarta, Teater Tangga Yogyakarta, Studi Klub Teater Bandung. Pun sastrawan, penyair, cerpenis serius seperti Adi Wicaksono (Malang), Mathori A Elwa (Yogyakarta), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Ahda Imran (Bandung), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Bode Riswandi (Tasikmalaya), Godi Suwarna (Ciamis), Beni Setia (Madiun), Riki Dhamparan Putra (Bali), Binhad Nurrohmat (Jakarta), Hajriansyah (Kalimantan), Ian Campbel (Australia), Andy Fuller (Australia), dan sederet nama lain yang pernah membincangkan wacana sastra dan membacakan karya-karyanya.

Namun, gegap kebudayaan di tempat ini harus berakhir. Pada paruh 2010, melalui musyawarah mufakat, kepengelolaan gedung kesenian yang semula dipegang seniman, dikembalikan kepada Pemerintah Kota Cirebon cq Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata. Kelompok-kelompok seni yang sempat memelihara gedung kesenian, menyebar. Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang yang sudah mengalami empat kali perbaikan pun, tetap saja tidak memenuhi standar kelayakan sebagai gedung kesenian.
***

Kita lupakan gedung kesenian. Sebab keberadaannya tidak lagi menjadi representasi kreativitas dan kebutuhan penting masyarakat seni Cirebon. Siapa pun bisa membuat pertunjukan di mana saja ia mau.

Bahkan, jika dalam kondisi gedung kesenian seperti sekarang masih saja digunakan, justru akan semakin menghancurkan estetika dan suasana pertunjukan. Pelaku di panggung dan penonton akan sama-sama merasakan situasi seperti di dalam pabrik beras.

Spiritualitas dan Anti Membaca

Membicarakan teater modern di Cirebon memang involutif. Serba salah dan serba susah. Hampir semua mengeluhkan pendanaaan, miss-orientasi, sulitnya regenerasi, yang kemudian berbalik menjadi kekecewaan psikologis terhadap teater itu sendiri. Tak jarang, para pelaku teater beserta kelompoknya menafikan spiritualitas, kesungguhan, dan kesetiaan.

Akibatnya, hampir tidak dijumpai gagasan yang mencuat dan menjadi perbincangan serius, tidak ada isu menarik tentang teater di media massa Cirebon, serta sulitnya menemukan pertunjukan bagus dan layak diapresiasi. Belum ada kesadaran ontologis, sesuatu antara diri manusia dengan teater masih menyatu. Teater dipahami sebatas ekspresi bukan sebagai ilmu. Tidak referensi, refleksi, dan evaluasi dalam penciptaan.

Perlu ada penilikan kembali terhadap kehendak dan cita-cita, ketika seseorang berniat masuk ke dalam dunia teater atau membangun sebuah kelompok. Berserikat untuk mengukuhkan kekuatan ideologis. Sebab berteater tidak sekadar keisengan menyalurkan hobi, melepas penat, dan memenuhi hasrat biologis para pelakunya.

Jika gagasan ini dikesampingkan, yakinlah, teater (meminjam istilah Adorno) hanya akan dijadikan terminal bagi lalu-lintas orang-orang buta yang melakukan aktivitas. Karena faktanya, tidak sedikit pelaku teater di Cirebon yang tidak tertib menata manajemen pribadi dan kelompok. Sanggar dibiarkan kumuh. Menganggap seni dan kesenian tidak bersih dan wangi.

Pertanyaannya, kapan pelaku teater di Cirebon memiliki tekad bergerak menertibkan konstruksi pikiran dan cara bekerja? Bagaimana merumuskan sistem dan metode proses, dramaturgi, gagasan unik, mengumpulkan teks referensi, mengukur capaian-capaian estetik, menumbuhkan gagasan ke dalam peristiwa di atas panggung?

Membaca buku-buku, koran, majalah, pertunjukan-pertunjukan kelompok lain, dan membangun jaringan sosial yang sehat? Mengritisi kembali teori WS Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, N Riantiarno, Danarto, Suyatna Anirun? Atau membongkar kembali rumus Constantin Stanislavsky, Jerzy Grotowsky, Bertolt Brecht, Walter Benjamin, Antonin Artaud, Henrik Ibsen, Richard Boleslavsky, Albert Camus, Jean-Paul Sartre, Peter Brook, atau teks-teks lain yang tidak pernah dilirik itu?

Sudahkah merumuskan dan merancang sistematika pra-produksi, menjalankan produksi, dan melakukan evaluasi? Membangun dan mengejar paspor kebudayaan untuk meluaskan jaringan lewat lobi-lobi elegan sebagai pengiring capaian estetis kerja kreatif?

Adakah kebutuhan terhadap pentingnya media massa sebagai pengukuh dan penyebar isu dari gagasan maupun praktik teaternya? Mendorong para pelakunya menjadi pekerja seni sekaligus intelektual yang mampu menjadi juru bicara di hadapan publik kebudayaan?
***

Tahun 2005 saya menulis di sebuah koran lokal: Saya tidak sedang menggugat apalagi menumbuhkan paranoia. Tapi jika wacana yang berlangsung di tubuh teater Cirebon masih seperti hari ini, yakinlah, lima atau sepuluh tahun ke depan, para pelaku teater di Cirebon hanya akan menjadi sekumpulan kecoa yang berlompatan di atas lembar-lembar kebudayaan.

Ke sana kemari mencari pengakuaan eksistensi atas kegagalan membangun sejarahnya sendiri. Dan sekarang sudah tahun 2015! Lho, memangnya ada berapa kelompok teater di Cirebon yang masih tersisa? Tak perlu kecewa. Kini tinggal kelompok teater kampus yang masih tertera.

Ada Teater Awal (IAIN Syekh Nurjati), Teater Dugal (Unswagati), Teater Roempoet (UMC), Teater Rantai Biru (FKIP Unswagati). Selebihnya, kelompok teater yang tersebar di sekolah-sekolah menengah atas dengan segala keterbatasannya tanpa pelatih yang cukup kapabel.

Nama-nama tersebut masih berkiprah meski sudah semakin kehilangan arah. Proses dan pertunjukan berlangsung seolah tanpa greget. Sekadar pentas dan berkeluh-kesah. Masing-masing tampak gagap dengan konsep pemanggungan dan teknis penggarapan.

Menunggu Godot

Ibarat kegetiran Estragon dan Vladimir dalam naskahnya Samuel Becket (1906-1989) En Attendant Godot (diterjemahkan menjadi Menunggu Godot), publik teater di Cirebon juga berharap nyaris putus asa. Panggung tampak ramai oleh para pemain. Penuh ketegangan dialog dan saling-silang sorot lampu. Tapi terasa sepi oleh gagasan-gagasan artistik, estetika, dan produksi.

Menunggu lahirnya karya yang cukup menarik untuk diapresiasi dari para pegiat teater di Cirebon, layaknya Menunggu Godot. Menunggu apa saja yang ditunggu. Namun yang ditunggu itu tak kunjung muncul.

Maka orang yang menunggu menjadi gelisah. Berjalan hilir-mudik dan berbicara dengan diri sendiri. Kegelisahan itu menimbulkan ketegangan. Akan tetapi dalam waktu itu, sesungguhnya, tidak ada yang dikerjakan. Hanya pikiran saja yang simpang-siur.

Lebih dramatis lagi, apabila kita bayangkan menunggu itu sambil duduk saja, tetapi jantung berdegup memukul-mukul. “Kapan datang? Kapan datang?” Sebab Godot diharapkan mendatangkan kebahagiaan, memberikan tempat tinggal yang menyenangkan dan makanan cukup lezat kepada dua gelandangan itu (Estragon dan Vladimir) yang tidur di bawah langit tanpa selimut dan makan pun hanya sepotong bagi berdua.

Lantas, apakah publik teater di Cirebon akan bermain sebagai penunggu sebagaimana Estragon dan Vladimir, atau justru menjadi Godot itu sendiri?

Dan bagai marahnya Pozzo—si tuan tanah kejam yang mengikat leher Lucky, budaknya, dengan seutas tali—pertanyaan dan pernyataan di atas tentu akan membuat geram para pegiat teater di Cirebon.

“Anda menyiksa saya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Saya benci mendengarnya. Kapan? Kapan? Pada suatu saat tentu. Tidak cukup jelas bagi Anda? Pada suatu saat seperti mungkin akan terjadi pada orang lain dia menjadi bisu. Sebagaimana juga saya pada suatu saat menjadi buta. Suatu saat kita dilahirkan dan pada suatu saat kita akan mati. Saat itu, detik itu. Jelaskah sekarang bagi Anda?***

*) Penulis adalah cerpenis penikmat Kopi Eho
http://www.cirebontrust.com/dialektika-generasi-teater-modern-di-cirebon-5habis.html
http://www.cirebontrust.com/dialektika-generasi-teater-modern-di-cirebon-4.html
http://www.cirebontrust.com/dialektika-generasi-teater-modern-di-cirebon-3.html
http://www.cirebontrust.com/dialektika-generasi-teater-modern-di-cirebon-2.html
http://www.cirebontrust.com/dialektika-generasi-teater-modern-di-cirebon-1.html

Leave a Reply

Bahasa »