Ahmad Naufel *
riaupos.co
Pada medio Desember 2015 hingga akhir Januari 2016, i:boekoe (Indonesia Buku) menyelenggarakan Kelas Esai dengan “guru utama” si empu arsip, Muhiddin M. Dahlan. Sebagai empu arsip, Muhiddin memiliki segudang contoh esai yang melintasi zaman ke zaman. Muhiddin, mengenalkan esai-esai zaman pra kemerdekaan hingga pasca 70 tahun Indonesia merdeka pada kami.
Seabrek tulisan dari nama-nama tenar pun diperkenalkan. Tersebutlah nama Tirto Adhi Soerjo melalui Boedi Oetomo (Medan Prijaji: 1909), Sukarno dengan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (Soeloeh Indonesia Muda: 1926) hingga Joko Widodo dengan Revolusi Mental (Kompas: 2014) dan Dahlan Iskan dengan Egois Dua Tahun untuk Mendung Tebal (Jawa Pos: 2015). Dan itulah esai.
Secara genealogis, kata esai berakar dari Michel de Montaigne (1533-1592). Montaigne mendefinisikan esai sebagai “percobaan”. Tulisan yang coba-coba. Tak serius. Karena itu, esai mampu memainkan cita rasa sastrawi dengan cita rasa ilmiah. Tergantung pada sejauh mana tendensi dalam suatu tulisan, jika mendekati kutub sastra, esai menjadi agak absurd. Namun sebaliknya, andai medan magnetik ilmiah lebih kuat tarikannya, esai akan menjadi lebih serius, hingga “percobaan” harus tungkus dalam “keseriusan”.
Aktivis cum sastrawan Mahbub Junaidi (1976) dengan bernas dalam memparodikan ideologi negeri ini sebagai ideologi yang “bukan-bukan”. Negara ini berasaskan Pancasila, bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Sehingga, esai dalam tilikan Muhiddin M Dahlan adalah gaya tulisan yang “bukan-bukan”. Ia bukan sastra, dan bukan pula ilmiah.
Esai seperti ingin meretas jembatan yang menghubungkan puisi dan ilmiah. Sekaligus meredam subjektifitas dan objektivitas penulis. Ia berada di lingkaran moderat, di tengah-tangah kutub puisi dan ilmiah. Zen Rs (2010) menyebut ihwal posisi esai yang berada diantara pojok kiri puisi dan pojok kanan karya ilmiah.
Seorang peneliti, akan begitu militan dan heroik memburu bendera objektivitas. Karena objektivitas adalah kekuatan yang tak terperikan dalam lingkaran sawala ilmiah. Objektivitas adalah ortoritas kebenaran. Begitupun sebaliknya, puisi seperti ingin merangkum realitas dalam subjektivitas. Segala yang diresepsi, menyucur melalui subjek “aku”, sang penyair.
Tapi esai tak memiliki kehendak untuk menegasi dan mengafirmasi secara absolut karangan ilmiah ataupun puisi. Dalam Esai Tentang Esai (1982), Arif Budiman menerangkan bahwa esai seringkali melompot-lompat, dari objektivitas ilmiah ke subjektivitas puisi dan begitupun sebaliknya. Esai adalah esai. Ia bersifat demokratis dalam meyajikan kebenaran dan melukiskannya dengan simpatik.
Kebenaran dalam esai dihayati dan digambarkan dengan riil, namun tanpa harus mengkonfirmasi ihwal validitasnya. Tak membutuhkan ruang eksperimentasi rasional. Esai berjalan di tebing karangan ilmiah dan puisi. Ia adalah sebuah karya yang, menuju pada sesuatu yang entah? Dalam esai, emosi diaduk-aduk, namun tanpa ada pretensi menenggelamkannya ke samudera puitik.
Jika, di dalam puisi, kita mesti bersusah payah menginterpretasi. Hingga diktum matinya pengarang (the death of author) dijadikan altar pembenaran, maka dalam esai kita bisa menikmatinya dengan khidmat, dangan seksama dan tanpa harus bergerilnya mematikan sang esais. Karena, esais harus mampu menyajikan realitas dengan gamblang. Meskipun terkadang cara mengilustrasikannya memiliki beragam gaya: mendayu-dayu, menghentak, menuduh, menggugat dan mengkritik.
Dalam esai, rasionalitas dan imajinasi bersatu padu dalam satu langgam yang sama. Jika puisi selalu berkelindan dengan imajinasi untuk menemukan metafor-metafor estetis dan karangan ilmiah bergulat dengan nalar rasio untuk menemukan “jalan” terang objektivitas, esai memadukan dua-duanya. Imajinasi diterima dan rasionalitas pun demikian.
Ignas Kleden dalam Esai: Godaan Subjektivitas (2004) menegaskan, bahwa ketika: “Membaca sajak kita terserap dalam suasana puitis, membaca karangan ilmiah kita berkutat dengan analisa objek penelitian. Sedangkan membaca esai, sebaliknyaa, cendrung membuat kita teringat penulisny, karena gerak-gerik, mimik dan gestikulasinya, demikian pun kegembiraan dan rasa jengkel akan muncul dalam kalimat-kalimatnya.”
Membaca esai Goenawan Mohammad, kita seolah ditarik menuju ambang absurditas, ketidakjelasan dan keabu-abuan. Goenawan manambang kata-kata untuk dijadikan anasir puitis dalam esainya. Sehingga, tendensi puitisnya lebih kentara dalam esai yang dia narasikan.
Berbeda dengan Goenawan, Nurcholis Madjid (Cak Nur), menulis esainya dengan diksi-diksi yang linear. Lurus tanpa ada liukan. Kita dibuat jemu membacanya. Porsi ilmiah tertuang lebih signifikan, ketimbang rasa puitisnya. Namun, esainya Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat (1970) “berdarah dingin” dan meletup menjadi polemik berskala nasional, tentang ide sekulerisme.
Persoalan menjadi lebih kompleks, jika esai memercikkan bara yang siap membakar apa saja yang menghalanginya. Esai yang bertungkus lumus dengan urusan politik merupakan entitas yang selalu mengumbar provokasi dan menyulut propaganda. Karena tak membutuhkan pembuktian, atau arena eksperimentasi-rasional, cukuplah esai mengajukan praduga dan pertanyaan.
Inilah yang dilakukan Refli Harun, saat mengusik MK, dengan esainya MK Masihkah Bersih? (Kompas: 2010). Gugatan yang tak berbukti itu, cukup keramat, karena selang beberapa bulan pasca esai itu ditulis, Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar jadi pesakitan yang harus menggenakan rompi “Tahanan KPK”.
Spektrum cakupan esai begitu luas, dan tak hanya bersimpatik dengan persoalan tetek-bengek belaka. Toleran pada segala sesuatu adalah salah satu sifat esai. Ia melintasi pakem-pakem tertentu. Karena itu, menjadi esais generalis seperti Mahbub Junaidi, AS. Laksana, atau Gus Dur tidak jadi soal, dan jadi spesialis pun laiknya Yasraf Amir Piliang dalam menulis esai juga tak haram.
Dan kerena itu, berterimakasilah pada esais yang telah melunakkan yang keras dan mengeraskan yang lunak. Membikin sepele yang serius, dan menyeriusi yang sepele. Mengobjektifkan yang subjektif, dan mensubjetifkan yang objektif. Itulah hakikat esai. Semua itu bergelayut dalam horizon pemahaman yang “seolah-olah”–untuk tidak menyebut yang “bukan-bukan”. Sehingga melalui segudang arsip tulisan yang “bukan-bukan” itulah Muhiddin M Dahlan menerbitkan buku Inilah Esai (2016).
***
*) Penulis adalah pengelola TBM Hasyim Asy’ari Yogyakarta
http://riaupos.co/3325-spesial-esai-gaya-tulisan-yang-%E2%80%9Cbukan-bukan%E2%80%9D.html