Gerakan Kemandirian Sastra Merdekakan Sumatera Utara

Afrion
sastramedan.com

Bangkitnya gerakan Sastra Sumatera Merdeka, mestilah diartikan sebagai spirit menumbuhkan kebersamaan dan kemandirian sastra.

Tulisan ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali semangat pergerakan penciptaan karya sastra dan perlawanan Sastra Sumatera Merdeka. Suatu gerakan moral yang menentang hegemoni dan monopoli pusat (Jakarta) di daerah. Bangkitnya gerakan Sastra Sumatera Merdeka, mestilah diartikan sebagai spirit menumbuhkan kebersamaan dan kemandirian sastra. Dalam artian tidak menjadikan Jakarta sebagai daerah yang memiliki kekuasaan besar, yang sangat menentukan, dan menjadi barometer karya sastra berkualitas.

Sejarah sastra merupakan teori sastra, jika pengembangan pengajarannya tidak tepat dan lengkap, maka dapat membahayakan keberadaan karya sastra. Bahkan pada akhirnya menghilangkan konteks dan fungsinya di masyarakat. Akibatnya, karya sastra menjadi terasing dan akan kehilangan relevansi sosial budayanya.

Gerakan Sastra Sumatera Merdeka yang diprakarsai Idris Pasaribu sejak tahun 1998, terus menyuarakan kemandirian sastra di Sumatera Utara hingga kini. Kemandirian sastra diartikan sebagai kewenangan daerah, untuk menentukan dan mengelola sendiri segala hal yang berkaitan dengan sastra. Kualitas karya sastra tidak digiring mengikuti teori-teori sastra yang berkembang di Jakarta. Dengan demikian, tidak menjadikan Jakarta sebagai barometer untuk mengukur pencapaian kualitas karya sastra.

Menurut sosiolog sastra Dr. Faruk Rediasyah, munculnya gerakan perlawanan menentang monopoli dan hegemoni pusat, pada dasarnya bertujuan untuk; (1) membangun sastra yang lebih membumi, (2) membuka jalan bagi pengakuan eksistensi sastra di daerah, dan (3) menghidupkan iklim kesenian di berbagai daerah. Munculnya gerakan tersebut mencerminkan harapan sastrawan di daerah untuk diakui eksistensinya oleh lingkungan yang lebih luas.

Sedangkan Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (Dahana, 1994) menyebut adanya gerakan revitalisasi perlawanan sastra di daerah, merupakan reaksi daerah atas dominasi pusat dan merupakan satu bukti bahwa daerah mempunyai hak untuk bersuara dan diperhitungkan di tingkat nasional. Daerah bereaksi karena semakin menipisnya peluang dan kemungkinan media-media massa berskala nasional mengakomodasi ekspresi artistiknya para sastrawan daerah.

Gerakan perlawanan menentang hegemoni pusat ini, ternyata diikuti sastrawan dari beberapa daerah lain di Indonesia. Munculnya Angkatan Reformasi yang dimotori Kusprihyanto Namma (Ngawi), Sosiawan Leak (Solo), dan Wowok Hesti Prabowo (Tangerang). Mempelopori lahirnya angkatan terbaru sastra Indonesia yang dilansir dalam tabloid Angkatan.

Mendobrak Hegemoni pusat, mendobrak dan Membongkar Relasi Kuasa Seni di Bali. yang dilakukan Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar. Di Kalimantan Tumbuhnya komunitas-komunitas sastra alternative, di samping ingin memperbaiki berbagai ketimpangan yang ada dalam perangkat sistem sastra di Indonesia, juga sebagai upaya perlawanan sastrawan mendobrak arogansi sentralisme dan monopoli Jakarta.

Dalam pandangan kreatif, lahirnya komunitas sastra alternatif di Kalimantan merupakan penentangan terhadap legitimasi dan kewibawaan pemegang otoritas sastra di pusat kesenian Jakarta yang dianggap sebagai penghalang kreativitas. Di Palembang Sumatera Selatan, muncul gerakan pemurnian dengan semangat sastra lokal sebagai bentuk perlawanan sastra yang tidak ingin terus menerus dikuasai oleh hegemoni pusat.

Bahkan di Jawa Timur gerakan perlawanan yang dilakukan Komunitas Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), Forum Studi Sastra Seni Luar Pagar (FS3LP), Komunitas Dewan Kesenian Blambangan Reformasi, dan Bagus Putu Parto bersama Barisan Seniman Muda Blitar mengusung tiga konsep landasan perlawan yaitu (1) membangkitkan penyebaran kehidupan sastra agar tidak terpusat di pusat-pusat kekuasaan, tetapi dapat berkembang dimana-mana. (2) membuat media alternatif sebagai media penyebaran karya sastra, dan (3) membangun jaringan komunikasi.

Perubahan mendasar dengan gerakan besar, akan terus diperjuangkan. Perubahan dengan tujuan mengembalikan poros sastra Sumatera Utara, sebagai ujung tombak perkembangan sastra Indonesia. Secara umum pertanyaan mengapa tidak ada karya-karya sastrawan daerah khususnya Sumatera Utara dalam buku-buku teks sejarah sastra Indonesia terkini? Justru karena sentralistik kekuasaan dan adanya hegemoni pusat

Gerakan memerdekakan sastra Sumatera Utara, pada akhirnya harus memperjuangkan pula penerbitan dan pemakaian teks-teks buku sejarah sastra, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Pengajaran sastra tidak dimonopoli buku-buku sastra terbitan Jakarta. Khususnya menyangkut materi penciptaan karya sastra, lebih mengutamakan kearifan lokal.

Kondisi yang memprihatinkan ini, disebut Yulhasni sebagai bentuk hegemoni dan monopoli Jakarta. Tembok-tembok kekuasaan Jakarta hanya mengakui keunggulan karya-karya sastra yang dibukukan oleh penerbit Jakarta. Apalagi kemudian penerbit buku terbesar di Indonesia memang berasal dari Jakarta, terus semakin menguasai distribusi pangsa pasar buku-buku di Sumatera Utara bahkan di seluruh Indonesia.

Tidak menganggap karya sastra Sumatera Utara berkualitas rendah, apalagi dianggap sebagai pengekor berbagai bentuk penciptaan karya sastra Jakarta. Jika hal ini terjadi, maka Sumatera Utara tentu saja hanya dikenang sebagai daerah yang tidak mampu menciptakan kualitas karya sastra.

Gerakan Memerdekakan Sastra Sumatera Utara, lahir dari pemahaman makin tersisihnya Sumatera Utara dari khasanah sastra Indonesia. Hal ini ditandai dengan tidak adanya pergerakan memunculkan kualitas sastra. Begitu pula dengan sejarah sastra terkini, yang semakin menggerus posisi Sumatera Utara. Saya termasuk orang yang setuju dengan pendeklarasi Sastra Sumatera Merdeka, dengan tujuan membendung hegemoni pusat, khususnya menyangkut keberadaan penerbit Jakarta yang terus menggurita dan memonopoli teks-teks buku sastra. Gerakan perlawanan Sastra Sumatera Merdeka lebih mengarah pada penggunaan teks-teks buku sastra terbitan Jakarta, dengan cara membatasi peredarannya dan mengutamakan penggunaan teks-teks buku sastra terbitan daerah. baik tingkat SD, SMP, SMA, dan di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Pandangan Idris Pasaribu yang menyebutkan karya sastra nasional telah menggurita menguasai pangsa pasar buku di daerah dan karya sastra lokal semakin jauh tersingkirkan, bukan tidak beralasan. Secara politis para pemegang kekuasaan di dunia pendidikan, mewajibkan pemakaian buku-buku terbitan Jakarta, secara tidak langsung mematikan buku-buku terbitan daerah. Dengan demikian cara pandang guru dan dosen pun sebagai staf pengajar bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dan perguruan tinggi, hanya mengakui buku-buku terbitan Jakarta.

Praktek monopoli yang dilakukan penerbit besar yang ada di Jakarta, pada akhirnya mematikan Penerbit buku yang ada di Sumatera Utara (Medan). Sekaligus tidak memberikan pencerahan terhadap perkembangan sejarah sastra. Apalagi teks-teks buku sejarah sastra Indonesia kini mengalami stagnasi, tidak bergerak dan masih mengulang-ulang materi sejarah masa lalu. Teks buku sejarah sastra masa kini, hanya memuat angkatan masa lalu yaitu angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66.

Gerakan memerdekakakan sastra Sumatera Utara, tidak hanya melawan praktek monopoli yang dilakukan penerbit Jakarta. Tidak hanya mengadakan perlawanan terhadap intervensi pusat, tetapi juga harus memasuki ranah yang lebih luas. Karena itu diperlukan penguatan kemandirian karya sastra.

Jika Hegel berbicara mengenai manusia, yang dimaksudnya adalah manusia sebagai bangsa. Roh suatu bangsa, menurut Hegel menentukan panggilan dan nasib historisnya. (Weij, 2000). Historis sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang mempelajari tentang perkembangan sastra dengan segala permasalahannya. Di dalamnya mencakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan.

Dengan demikian, kemandirian sastra berarti menempatkan karya sastra pada ruang yang maha luas. Dalam kaitan inilah hegemoni dan monopoli pusat terhadap daerah kemudian digugat, karena ternyata pusat bukannya tambah menghidupkan sastra daerah, malah cenderung mematikan kreatifitas penulis daerah.

Mengkritisi hegemoni dan monopoli pusat di daerah dalam karya sastra sebenarnya sejak tahun 1994 sudah mulai didengungkan di daerah ini (baca; Sumatera Utara) lewat gerakan Sastra Sumatera Medeka. Saya menyebutnya sebagai gerakan membendung dominasi Jakarta yang mengabaikan perkembangan sejarah karya sastra di daerah.

Gubernur dan walikota sebagai pejabat yang berada dalam level pemegang kekuasaan tertinggi di daerah, harus bertanggungjawab terhadap praktik monopoli pemasaran buku-buku yang selama ini masuk menguasai dunia pendidikan di daerah, khususnya Sumatera Utara. Praktik pembunuhan terselubung terhadap penerbit buku di daerah yang selama ini berjalan mulus, harus segera dihapuskan. Setidaknya akan dapat menghidupkan kembali penerbit buku di daerah.

Dunia sastra di Sumatera Utara harus diakui selalu berkembang mengikuti zamannya, sebagaimana tulis M. Raudah Jambak (Analisa, 5 Juni 2011) bahwa Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan. Beberapa di antaranya tentu dikenal di seantero nusantara. Tetapi Jakarta tetap menganggap sebelah mata.

Generasi sastra masa kini, telah bermunculan dari daerah-daerah. Sumatera Utara ternyata menyimpan sedemikian banyak potensi pekarya yang menulis karya-karya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel. Dari segi usia tentu sangat menggembirakan, mereka para pekarya ini masih berusia muda dan bahkan kebanyakan di antaranya masih berstatus mahasiswa.

Seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra Sumatera Utara terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *