Saripuddin Lubis *
komunitashomepoetry.blogspot.co.id
Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera Utara dianggap sebagai tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu sastrawan Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air.
Pertama sekali dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai peletak dasar berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu muncullah nama Amir Hamzah, pemuda dari Langkat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan Pujangga Baru.
Kemudian lahir pula Chairil Anwar yang merupakan orang yang paling populer namanya dalam wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih dianggap sebagai ikon sastra di Indonesia bersama Amir Hamzah. Jika diadakan survei, tentunya nama merekalah yang menduduki peringkat pertama sastrawan di Tanah Air yang dikenal masyarakatnya.
Setelah itu, perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada teman-teman sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-nama sastrawan dari Sumatera Utara mulai tenggelam ditelan zaman. Nama-nama yang masih bertahan hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, M. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal di jagad sastra nasional.
Memasuki tahun 2010, sedikit demi sedikit ada yang berbeda dalam dunia kepengarangan di Sumatera Utara. Kegelisahan yang selama ini mendera dunia kepengarangan di Sumatera Utara agaknya telah mulai memperlihatkan kecerahannya. Karya dan penerbitannya mulai mencecah dunia kreativitas dan produktivitas.
Mengapa tidak? Pada tahun ini dunia kepengarangan di Sumatera Utara mulai mencecahkan kakinya dalam skala yang lebih luas – hingga pentas nasional. Awalnya, menjelang 2010, dunia kepengarangan di Sumatera Utara yang “unjuk gigi” hingga pentas nasional terbilang sedikit. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan dapat dihitung dengan jari.
Beberapa nama yang perlu dicatat antara lain T. Sandi Situmorang dengan genre novel remajanya. Kemudian Maulana Samsuri dengan novel-novelnya yang terus mengalir. Si anak muda yang enerjik, Hasan Al Banna, yang karyanya boleh dikatakan telah melanglang buana di seluruh koran-koran di daerah maupun nasional terutama di pusat-pusat penerbitan di Jawa. Sebuah prestasi yang sungguh membanggakan hati kita tentunya.
Tahun 2010 ini, ternyata sastrawan Sumatera Utara terutama generasi mudanya semakin membuat kita bangga. Hasil Kongres Sastrawan Sumatera Utara 2009 lalu di Hotel Garuda Plaza yang digagas Afrion dan kawan-kawan rupanya telah menorehkan hasil.
Salah satu rumusan yang ditelurkan dalam kongres yang juga dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara, Hj. Nurlisa Ginting waktu itu, di antaranya adalah meningkatkan produktivitas penerbitan karya. Memang hasil yang dicapai sekarang ini tidaklah secara langsung hasil dari pertemuan itu. Paling tidak, pertemuan yang dihadiri sastrawan di Sumatera Utara pada waktu itu antara lain memang mempersoalkan miskinnya penerbitan karya pengarang dari Sumatera Utara.
Selain kongres sastrawan di Garuda Plaza Hotel, tahun 2009 itu pula KSI yang dimotori Idris Pasaribu dan kawan-kawan melakukan workshop kepenulisan, menghadirkan novelis ternama Saut Poltak Tambunan di Taman Budaya Sumatera Utara. Dari workshop itu pula dihasilkan rumusan yang sama, yaitu keinginan akan bangkitnya dunia kepenulisan di Sumatera Utara. Kiranya genderang kebangkitan sastra Sumatera Utara kini telah mulai dipalu.
Apa saja indikator kebangkitan sastra Sumatera Utara itu? Ada beberapa catatan penting yang perlu kita amati. Pertama, lahirnya novel Acek Botak yang ditulis Idris Pasaribu. Novel yang bercerita tentang kisah pembauran seorang anak Tionghoa di kota Medan ini setidaknya telah mampu mencuri perhatian masyarakat Medan dan nasional.
Dalam beberapa kesempatan, novel ini terus diperbincangkan. Novel ini dibedah dan diulas oleh beberapa pembahas di Universitas Darma Agung. Kemudian diramaikan pula dalam talk show di beberapa siaran radio. Padahal novel ini belum diluncurkan secara resmi oleh penerbitnya. Belakangan baru kemudian novel ini diluncurkan bersama beberapa novel-novel lain terbitan Kaki Langit Kencana di Jakarta.
Seperti telah disinggung di atas, yang tak pernah berhenti berkarya, tahun 2010 ini juga Hasan Al Banna. Setelah tahun 2009 sebuah cerpennya terpilih sebagai salah satu cerita pendek terbaik penerima Anugerah Pena Kencana yang diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama, tahun ini pula karya Hasan terus mengalir dalam pelbagai surat kabar nasional. Bulan April kemarin salah satu puisi Hasan Al Banna kembali terpilih dan diterbitkan sebagai salah satu puisi terbaik Anugerah Pena Kencana 2010.
Berikutnya hadir pula novel Pelacur, Politik, dan he..he yang ditulis Tandi Skober. Meski tidak lagi bermukim di Medan, tetapi paling tidak Tandi masih menjalin tali yang tidak putus dengan kota Medan. Novel ini memang ber-setting Indramayu, namun nuansa Tandi Skober yang pernah bermukim di Medan tidak lepas dari novel ini. Novel ini juga diterbitkan oleh Kaki Langit Kencana Jakarta di penghujung 2009 yang lalu.
Nama lain yang ikut pula menghidupkan euforia kebangkitan dunia kepengarangan di Sumatera Utara adalah novelis Win RG yang meluncurkan buku keduanya di UMSU beberapa waktu lalu. Konsep peluncuran buku juga dibuat berbeda dalam acara ini. Setidaknya 200 orang hadir dan membayar tiket untuk menghadiri acara peluncuran buku.
Kita teringat yang disampaikan Saut Poltak Tambunan di TBSU waktu itu. Beliau mengatakan, peluncuran buku bukanlah sebuah pesta seremonial, bukan sekadar datang menghadiri lalu pulang mendapat buku gratis! Beliau menambahkan, buku yang diterbitkan harus dibeli oleh pengunjung peluncuran buku, sebab penulisnya harus dihargai perjuangannya. Kira-kira seperti itulah ungkapan Saut Poltak waktu itu. Artinya, apa yang dilakukan Win RG melalui FLP-nya bisa dimaklumi.
Masih dalam hitungan hari, Maulana Samsuri tampil kembali dengan kumpulan cerita pendek terbarunya. Kumpulan cerpen yang diterbitkan ini umumnya berkisah tentang persoalan manusia dengan Khaliknya. Maulana samsuri yang biasanya menulis novel ini ternyata juga tidak kalah apiknya ketika menulis cerita pendek. Usia yang semakin senja ternyata tidak membuat Maulana Samsuri berhenti berkarya. Beliau terus menorehkan tintanya dalam dunia sastra Sumatera Utara.
Lagi-lagi pengarang muda mulai menunjukkan jati dirinya dalam percaturan sastra di Sumatera Utara dengan munculnya nama Butet Benny Manurung. Perempuan satu ini memang sangat produktif dalam menulis. Puncaknya lahirlah novelnya berjudul Metamorfosis Gendis yang diterbitkan Easmedia Yogyakarta.
Nama orang muda lainnya adalah Haya Aliya Zaki dengan buku terbarunya Titik Balik (Menerjang Rintangan Menggapai Masa Depan) juga diterbitkan Leutika Yogyakarta. Sebelum Haya Alia Zaki, telah dulu terbit sebuah novel ditulis oleh Onet Aditya Rizlan berjudul Selamat Tinggal Ca, yang diterbitkan oleh Penerbit Leutika Yogyakarta.
Nama-nama lain yang selama ini terus menancapkan bendera karya di Sumatera Utara, juga tidak dapat kita kesampingkan. Sebut saja Suyadi San yang terus berkarya pada syair-syairnya lewat penerbitan maupun di pelbagai koran-koran nasional. Kemudian M. Raudah Jambak yang cerpennya juga terpilih sebagai cerpen terbaik tingkat nasional dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Belum lagi syair-syair puisinya yang terus meluncur dalam pelbagai media nasional.
Antilan Purba secara diam-diam tapi pasti terus menulis esai-esai sastra dalam berbagai terbitan di Medan dan Pulau Jawa. Tidak salah jika mengatakan kalau Antilan Purba saat ini merupakan esais paling produktif yang kita miliki. Beliau terus pula menggeliat dengan Laboratorium Sastra-nya bersama Afrion dan kawan-kawan yang senantiasa produktif dalam menerbitkan karya. Ada pula nama Syaiful Hidayat lewat ulasan dan kritiknya. Kemudian Teja Purnama, Nasib TS, T. Agus Khaidir, Jones Gultom dan nama lain yang tak dapat saya sebut satu per satu ikut pula memberi warna sastra berbeda dari ruang-ruang redaksi.
Satu terobosan penting yang juga perlu dicatat adalah lahirnya portal www.sastramedan.com (situs ini sudah tidak aktif lagi-ed.TAH.com) Kelahiran sastra dan sastrawan dalam dunia maya ini tentu saja akan semakin melebarkan sayap kesusastraan Sumatera Utara yang bahkan akan sampai di belahan dunia manapun.
Diana Tanjung, seorang teman lama di New York menuturkan, dia sekarang telah gampang membaca karya-karya pengarang Sumatera Utara. Teman yang juga berdarah sastra itu merasa senang dan seperti berada di Belawan, kampung halamannya, ketika membuka portal. Apa yang dilakukan YS Rat, Yulhasni, dan teman-teman lain dalam website ini tentu semakin menambah warna-warni sastra Sumatera Utara. Pada awal Juni ini juga, kembali akan terbit sebuah novel setebal 412 halaman, karya Omadi Famous yang juga anak KSI Medan.
Demikianlah. Semoga tahun 2010 benar-benar akan menjadi tahun kebangkitan sastra Sumatera Utara. Tahun penuh dengan riak, gerak dan rentak yang tak berhenti. Menggeliat dan bergerak dalam dunia masing-masing. Senior tentunya akan terus memotivasi mereka yang muda. Yang muda tentu tidak akan merasa besar dengan karya-karya yang telah mereka lahirkan. Sebab jika merasa besar, sebenarnya adalah awal dari sebuah kemunduran.
Selain Acek Botak karya Idris Pasaribu, dalam tahun ini juga akan terbit dua buah novelnya yang lain berjudul Mangalua (Kawin Lari) dan Bincalang. Sedikit wawancara dengan Idris Pasaribu, dengan rendah hati Idris Pasaribu mengatakan, anak-anak KSI Medan, akan melahirkan sedikitnya delapan buah novel. Semua novel sebelum dikirimkan ke penerbit, terlebih dahulu didiskusikan di sekretariat KSI Medan, di bawah pohon asam, sebuah sudut di Taman Budaya Medan.
Akhirnya, sekecil apapun yang anda dan siapa saja lakukan dalam dunia kesusastraan, pada saat itu pula kita telah memberi sumbangsih untuk awal kebangkitan kembali sastra Sumatera Utara itu. Ayo!
*) Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA 1 Binjai dan Dosen Sastra STKIP Budidaya Binjai.