AIR HIDUP BANYUWANGI

Taufiq Wr. Hidayat *

Di samping beberapa situs budaya dan sejarah Banyuwangi, tidak boleh dilupakan aset utama kebudayaan kita, yakni para penjaga, pelaku budaya beserta para pendukung dan penganut kebudayaan itu sendiri. Ini penting kalau kita hendak mengembangkan kebudayaan Banyuwangi yang tak belaka festival tanpa makna, atau sekadar “politik identitas” Using yang kerap jadi alat praktis “orang pusat”.

Menarik benang sederhana dari persoalan mendasar, yakni kebudayaan dan sejarah memang butuh kearifan yang tidak ala-kadarnya. Adanya kehendak bersama, kesungguhan, dan keterbukaan pemerintah sebagai fasilitas kelestarian budaya—bukan penentu, dalam budaya yang meniscayakan perubahan terus-menerus, dinamis dan harmonis. Kebudayaan yang dialiri bagai air, berhembus bagai angin. “Kreatifitas hulu” yang dilaksanakan rakyat secara mandiri, misalnya sentra-sentra industri kecil, perlu didukung dan diperhatikan tidak belaka dipamer-pamerkan dalam festival, tetapi tanpa penguatan. Dalam dinamika dan harmonisasi nilai-nilai segenap unsur pada masyarakat, kesejahteraan diselenggarakan dengan semangat dan perilaku (formal maupun non-formal) yang menghargai nilai kemanusiaan, penegakan hukum dan keadilan.

Budaya sebagai dinamika pergerakan perubahan yang dinamis dan terus-menerus. Hanya dengan memahami budaya melalui pandangan seperti itulah, kiranya sanggup diciptakan sebentuk sikap hidup yang tak dangkal, yang mampu mengutamakan aktualisasi keadilan dan kemanusiaan. Bukan belaka kebanggaan-kebanggaan identitas dan kampung halaman yang cenderung gombal.

Memahami budaya dan sejarah sebagai bentuk belaka, pada gilirannya cuma menciptakan sikap bergagah-gagah dan memulia-agungkan diri sendiri. Sikap pragmatis yang tak pernah terbukti dapat melestarikan dan menjaga budaya beserta para pelaku dan penganutnya. Tidak heran, jika kehendak bergagah-gagah atau pencitraan penguasa Banyuwangi itu mewujud dengan maraknya festival—nyaris 10 tahun, sebagai upaya industri pariwisata yang lebih menguntungkan pemodal besar. Disertai pula sulitnya perizinan yang merugikan pemodal kecil yang tak siap. Kebutuhan mendasar rakyat yang tidak pernah berhenti berdialektika dengan akar tradisi dan sejarahnya itu, mustahil berharap pada sistem pemerintahan yang tetap “bergaya lama”, tapi berpoles “gaya baru” dengan gincu.

Banyuwangi punya aset hidup, yakni para pelaku budaya yang telah menghasilkan bentuk budaya. Lagu-lagu Kendang Kempul misalnya, adalah kesenian legendaris yang terkenal ke pelosok dunia. Siapa tak tahu lagu “Genjer-genjer” ciptaan Mohammad Arif dari Temenggungan, Banyuwangi? Juga Shalawat Badar ciptaan Kiai Mas Ali Mansur, Karangrejo, Banyuwangi. Shalawat Badar yang dibawakan ke mana-mana oleh budaya santri-santri NU itu, menjadi khazanah budaya nusantara meski dituduh hasil adaptasi dari syair Arab. Begitu juga lagu legendaris ciptaan Andang Cy. berjudul “Umbul-umbul Blambangan” yang diakui dunia sebagai lagu etnis terbaik Asia. Berderet para pencipta lagu khas Banyuwangen yang hebat-hebat: Armaya, Fatrah Abal, Endro Wilis, Yons DD, dll.

Membicarakan hasil-hasil budaya Banyuwangi adalah sebentuk perjalanan pada dimensi ketinggian cita rasa seni yang adi luhung. Ini dibangun dan dihasilkan dari gerak dinamis yang tekun, sebagai jalan hidup, terus-menerus. Para pelaku dan penganut itu menyimpan kesetiaan dan idealisme berkarya. Tak semata hidup dari kesenian, bukan pelaku pragmatis. Tapi, mereka menghidupi kesenian sebagai wujud kesetiaan pada gerak budaya sebagai panggilan jiwa dalam hidup sehari-hari. Berapa nilai materi yang mereka dapatkan? Kecil! Bahkan lazim tak dapat apa-apa. Berapa penghasilan penari gandrung Temu yang tarian serta suaranya menjadi kebanggaan daerah dan membawa Banyuwangi ke pentas pergaulan seni nusantara dan dunia? Atau para penulis budaya? Merekalah aset budaya dan sumber aset budaya yang hidup dan terus bergerak, membuat Banyuwangi yang khas itu tetap ada. Tapi, kebanyakan hidupnya jauh dari layak. Kecuali beberapa saja, misalnya Armaya, sastrawan nasional yang memang berada. Armaya mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap kebudayaan dan kesusastraan lokal, ia mengeluarkan dana pribadi dengan memimpin secara tunggal perhelatan kebudayaan dan sastra di Banyuwangi. Ia bersemangat membangun situs sejarah makam Buyut Atikah di Giri ketika Pemkab tidak tahu-menahu. Ia pun secara rutin menerbitkan jurnal budaya dan buku-buku budaya dan sastra di Banyuwangi.

Di manakah pemerintah dalam kegiatan-kegiatan yang sangat berarti bagi budaya dan sejarah Banyuwangi itu? Apakah yang telah diperbuat kekuasaan pada budaya dan pelaku seni-budaya Banyuwangi kecuali festival bersama para “tukang” yang bekerja untuk kepentingan bergagah-gagah dan praktis? Lantas apa bukti pencapaian riil dan berguna dari festival bagi seperangkat peralatan rias dan sekilo minyak goreng dalam kehidupan seorang gandrung Temu, misalnya? Bukankah dia diarak saat festival, dilihat turis, lalu selesai?

Banyuwangi, 2018-2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »