Ahmad Syauqi Sumbawi *
…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial… (Aliniea IV Pembukaan UUD 1945)
Menilik kembali tujuan didirikannya negara Indonesia di atas, barangkali beberapa di antara kita menanggapinya secara skeptis dan pesimistis. Bahkan sebagian lagi mungkin berpendapat bahwa hal tersebut adalah sebuah mimpi belaka. Mimpi dari sebuah bangsa yang terbangun dengan identitas dan jatidiri terkorupsi habis-habisan akibat kolonialisasi yang mencengkeram kuat selama berabad-abad.
Stigma yang berkembang menyatakan bahwa 350 tahun merupakan lamanya periode kolonial di atas. Tentunya hal tersebut tidak sebanding dengan periode kemerdekaan yang baru akan memasuki usia 74 tahun pada 17 Agustus esok. Atau, 1011 tahun dinisbatkan pada pendirian Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 sebagai momentum hari Kebangkitan Nasional. Melalui hitung-hitungan sederhana—dimana anak sekolah dasar di negeri ini pun tahu—, memang perbandingan tersebut tidak cukup memadai secara kuantitas untuk memulihkan identitas dan jatidiri dari keberadaannya sebagai bangsa inlander menjadi bangsa merdeka.
Dari sini kemudian muncul pertanyaan, benarkah bangsa Indonesia dijajah selama 350 tahun? Dengan berpatokan pada lamanya waktu tersebut, bukankah hal itu berarti menafikan perjuangan anak-anak bangsa, meskipun dalam tarafnya yang masih bersifat lokal? Perjuangan menegakkan identitas dan jatidirinya sebagai anak manusia bersama masyarakatnya. Karena itu, pemahaman utuh terhadap historisitas tersebut menjadi krusial dalam rekonstruksi identitas dan jatidiri bangsa ini.
Secara substansial, kesadaran tidak berada pada wilayah kuantitas—lama dan sebentarnya waktu—, melainkan berpusat pada tataran kualitas. Kemudian pada perkembangannya, kesadaran tersebut menjadi kesadaran kolektif, yang menjadi rahim sekaligus proses dari seluruh gerakan kebangkitan nasional dan dekolonialisasi. Kesadaran kolektif ini pula yang kemudian melahirkan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia.
Kalaupun tujuan di atas dikatakan sebagai mimpi, maka mimpi itu bukan sekadar mimpi. Akan tetapi “mimpi yang berkesadaran”, yang terus melekat dan menuntun seluruh proses kehidupan bangsa ini. Bukan idealitas yang terpencil, tetapi “idealitas yang berjembatan”, dimana bangsa ini dituntut untuk menyusurinya dengan penuh kesadaran pada setiap langkahnya. Dan kini pertanyaannya, apakah bangsa ini digerakkan dan melangkah dalam kesadaran kolektif itu?
Barangkali yang kita alami dan lihat bersama, bahwa langkah-langkah berkesadaran itu kini dalam kondisi tersandera oleh kompleksitas permasalahan bangsa yang mengerucut pada tergerusnya identitas, jatidiri bangsa dan kesadaran kolektif di atas. Korupsi, sikap politik yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan, westernisme, radikalisasi mengatasnamakan agama, konflik antar etnis dan agama, tawuran antar pelajar, kemiskinan, maraknya kriminalitas, dan sebagainya, tidak lain merupakan bukti bahwa bangsa ini mutlak untuk berkaca dan membenahi diri.
Apakah kita gagap dengan tujuan di atas? Atau barangkali karena kebanyakan kita lahir pasca proklamasi hingga menjadikan enggan untuk menengok sejarah? Kalau benar demikian, kasihan sekali nasib bangsa ini. Bahwa apa yang disebut “Indonesia”, tidak lebih dari kumpulan individu tanpa identitas dan jatidiri sebagai manusia Indonesia. Tanpa kesadaran kolektif atas tujuan didirikannya negara ini. Barangkali juga, hanya kumpulan individu yang mementingkan diri sendiri. Lebih luas lagi, adalah kepentingan sekelompok individu atau golongan tertentu.
Dalam pidato awalnya tentang rumusan dasar negara Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan BPUPKI, Bung Karno menyebutkan lima sila (prinsip/ dasar), yakni kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Panca Sila, demikian sebutan yang diintrodusir oleh Bung Karno, merupakan titik konsensus dari segenap elemen bangsa. Kendati demikian, Bung Karno juga menawarkan opsi lain andaikata lima sila tersebut tidak mendapatkan kesepakatan bersama. Tri Sila atau tiga prinsip, yang menurut Bung Karno merupakan perasan dari lima prinsip di atas, yaitu, socio-nationalisme yang diperas dari dua dasar pertama, yakni kebangsaan dan internasionalisme serta kebangsaan dan perikemanusiaan. Kemudian, socio democratie, yang merupakan gabungan dari paham demokrasi dan kesejahteraan sosial. Berikutnya adalah ke-Tuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Lebih jauh Bung Karno menjelaskan, jika tiga prinsip tersebut tidak disepakati, maka opsi terakhirnya mengerucut pada Eka Sila, yaitu sila gotong-royong. Dengan pernyataan tersebut, tampaknya Bung Karno ingin menegaskan bahwa “nyawa” dari Panca Sila—sebagaimana dikemukakan di atas—, adalah semangat gotong-royong. Jelasnya, kelima sila di atas harus berjiwa gotong-royong, dengan ekspresinya yang proporsional.
Rumusan terkait dasar negara yang dikemukakan oleh Bung Karno di atas— juga yang disampaikan para tokoh bangsa lainnya—, kemudian mengalami finalisasi melalui proses pengesahan konstitusional oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Kita dapat menemukan rumusan final tersebut pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak lain merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang telah hidup dan mengatur kehidupan masyarakat sejak masa yang lama. “Ber-Pancasila tanpa nama”, demikian Gus Dur menyebut kehidupan bangsa ini pada masa itu, yang dikenal dengan istilah “bhinneka tunggal ika”, berbeda-beda tetapi satu tujuan.
Berkaitan dengan satu tujuan di atas, gotong-royong yang dimaksud oleh Bung Karno adalah paham yang dinamis. Bahkan lebih dinamis daripada kekeluargaan. Sebuah gambaran atas kesatuan upaya bersama yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan cita-cita seluruh bangsa Indonesia. Lantas pertanyaannya, apakah bangsa ini masih memiliki kesadaran kolektif tersebut?
Pada konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, inilah titik pusat dari kompleksitas permasalahan yang menyandera Indonesia dewasa ini. Terutama korupsi, yang biasanya melibatkan kalangan elite politik dan pemerintahan, yang disebut “oknum”. Lalu siapakah oknum itu? Tidak lain adalah keberadaan tanpa identitas dan jatidiri. Bukan seluruh anak bangsa Indonesia yang nasibnya dipertaruhkan. Kita sebut saja, “sang penyandera”.
***
__________________
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.