Sufisme Humanistik dalam “Perawan Mencuri Tuhan”

Ahmad Syauqi Sumbawi *

Sufisme humanistik, berangkat dari konsep-konsep al-Qur’an terkait keberadaan manusia dalam kehidupannya. Pada konteks ini, al-Qur’an menyebut manusia dalam beberapa terminologi, yaitu abd Allah, al-basyr, al-insan, al-naas, bani Adam, al-ins, dan khalifah fi al-ardl. Dari terminologi-terminologi tersebut, yang kemudian dikombinasikan dengan perspektif filosofis-antropologis, setidaknya didapatkan sebuah formulasi pemahaman atas keberadaan manusia dalam kehidupan secara luas, yaitu pertama, sebagai hamba Tuhan yang dituntut untuk mengenal dan mencintai Tuhannya.

Kedua, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu mengembangkan segala potensi yang terkandung dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Ketiga, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan aktif dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Keempat, sebagai khalifah Tuhan di muka bumi yang bertugas sebagai pengelola segala potensi yang ada di dunia yang diarahkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, yang secara khusus menunjuk pada keberadaannya sebagai makhluk lingkungan.

Konsep humanisme di atas merupakan kesatuan integral yang mengiringi historisitas umat manusia. Dalam cakupan ini pula, antologi puisi Perawan Mencuri Tuhan karya Amien Wangsitalaja menemukan relevansi sebagai karya sastra sufistik, tanpa meninggalkan aspek humanisme dalam konstruksinya secara utuh, yakni keberadaan manusia, baik sebagai hamba Tuhan, makhluk pribadi, makhluk sosial, maupun makhluk lingkungan.

Keberadaan manusia sebagai hamba Tuhan, dapat dilihat pada beberapa puisi, seperti “Sajak Sufi 1”, “Sajak Sufi 2”, dan “Sajak Sufi 3”. Ketiga puisi ini ditutup dengan pernyataan yang sama,

karena itu/
sebab pekerti/
bolehkah aku/
menulis sajak sufi?//.

Dalam pembacaan sederhana, pernyataan di atas menunjuk pada konklusi bahwa menulis sajak sufi mensyaratkan adanya sikap dan perilaku yang sesuai dengan idealisme yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama. Keberadaan tanda tanya (?) sebagai penutup, merupakan pertanyaan retorik dan tidak memerlukan jawaban. Karena jawaban sebenarnya telah tergambar pada premis sebelumnya sebagai kausalitas dari idealitas keberagamaan.

Pada “Sajak Sufi 1”, bagian pertama menyebutkan,

tak harus kau tahu/
syahadatku qaim/
shalatku daim/
shiyamku lazim/
hajiku naim.

Sementara bagian kedua menyebutkan,

tak harus kaupandu/
judi aku tak/
mabuk aku tak/
zina aku tak/
korupsi aku tak//.

Kedua bagian ini menjelaskan bahwa idealitas tersebut menunjuk pada implementasi ajaran-ajaran Islam yang secara umum mengarah pada upaya menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Keberadaan baris, “tak harus kau tahu/” dan “tak harus kaupandu/” merupakan pilihan kata yang proporsional untuk menegaskan bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran agama tersebut harus dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Pada konteks ini, takwa bukan berarti takut—dalam bahasa Arab adalah khauf— atau karena terpaksa, tetapi lebih dari itu, ketakwaan merupakan komplementasi antara kerendahan diri dan hati (tawadlu’), keridlaan atas segala yang diberikan-Nya (qana’ah), menjaga diri dari perbuatan yang dilarang-Nya, baik yang syubhat maupun haram (wara’), serta pemahaman yang dibingkai dengan hikmah. Dalam arti lain, ketakwaan merupakan fitrah berkesadaran yang termaknai dari kedudukan manusia sebagai hamba Tuhan, dimana cinta (mahabbah) menjadi sesuatu yang “menyuburkan”. Karena ketakwaan lebih merupakan dimensi esoteris, maka sudah sepantasnya untuk tidak terjebak pada simbolisme agama.

Kesederhanaan beramal yang lebih mengarah pada proporsionalitas dan keikhlasan diungkapkan dalam bagian pertama “Sajak Sufi 2”, yaitu

aku pun/
beramal secara wajar/
tak harus besar-besar.

Sajak ini merupakan kelanjutan dari sajak sebelumnya. Jika “Sajak Sufi 1” lebih terfokus pada implementasi ibadah ritual (mahdhah), maka “Sajak Sufi 2” lebih mengarah pada ibadah sosial (ghairu mahdhah), dimana keduanya merupakan komplementasi dalam ibadah. Pada konteks ini, karakteristik al-Qur’an yang menyandingkan—bahkan integral—, antara aspek keimanan (tauhid), ibadah yang berhubungan dengan Tuhan (hablun min allah, seperti menegakkan shalat), dan amal shalih yang berhubungan dengan manusia (hablun min al-naas, seperti sedekah, berderma atau charity), tampaknya menjadi hal yang dipahami oleh penyairnya. Dalam beramal ini, aspek proporsionalitas merupakan hal penting. Tidak perlu dalam sifatnya yang terpaksa atau dipaksakan, serta tanpa tendensi kepentingan tertentu, kecuali mengarah pada Tuhan dan keridlaan-Nya.

Proposionalitas ini juga mengarah pada keikhlasan, dimana baris: tak harus besar-besar, dapat diinterpretasikan bahwa amal tidak harus dibesar-besarkan dan diiklankan, yang dalam banyak hal malah dapat memunculkan sifat riya’ (pamer) dan sombong.

Kemudian “Sajak Sufi 3” bagian pertama menyebutkan,

kepada perampok dan ahli tenung/
aku memang tak berkata langsung/
tapi kudidik kawan-kawan/
tentang cara-cara membela badan/.

Pernyataan ini menampakkan subyektivitas dalam menyikapi kejahatan, yakni tidak konfrontatif (berkata langsung), tetapi lebih memilih untuk memperkuat diri secara internal (membela badan). Lebih jauh, perspektif teologis menyebutkan bahwa segala perilaku yang diidentifikasi sebagai “kejahatan” baik yang fisik (perampokan) maupun non-fisik (tenung), muncul ketika kondisi manusia dikuasai oleh hawa nafsu atau melupakan Tuhan. Karena itu, reaksi batin yang idealnya lahir dalam diri manusia ketika melihat kejahatan dan kemungkaran adalah menyakini bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, disertai upaya memperkuat keimanan diri sendiri. Hal ini dikarenakan setiap manusia dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari godaan hawa nafsu.

Dalam sifatnya yang kondisional, terkadang manusia dalam hidupnya luput dan melakukan dosa, begitupun sebaliknya. Karena itu, keberadaan hidayah dan kekuatan dari Tuhan menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku manusia. Di samping itu, dengan memandang kejahatan dan kemungkaran sebagai contoh dan pelajaran, yakni “ayat-ayat Tuhan”, tentunya hal tersebut akan menghindarkan diri manusia dari sikap mengkafirkan orang lain. Pada titik inilah, tampak bahwa pendekatan hikmah lebih menonjol dalam kehidupan sufistik.

Secara keseluruhan, “Sajak Sufi 1”, “Sajak Sufi 2”, dan “Sajak Sufi 3”, merupakan sebuah kesatuan yang utuh. Memisahkan salah satu dari yang lainnya dapat mengakibatkan rusaknya konstruksi konseptual yang dikemukakan penyair terkait sufisme. Dalam keutuhannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa idealitas dalam sufisme dibangun dengan kombinasi antara iman, islam, dan ihsan. Meninggalkan salah satunya berarti mengurangi nilai-nilai ke-sufi-an, yang tentunya juga mengurangi nilai-nilai ke-Islam-an itu sendiri.

Tasawuf atau sufisme, secara umum menunjuk pada upaya pendekatan diri kepada Tuhan. Sebagai pengalaman religiositas transendental, maka keberadaan rasa spiritualitas (dzauq) menjadi unsur penting dalam memaknai hubungan antara manusia (hamba) dengan Tuhannya. Pada tataran ini, idealitas sufisme, terutama dalam hubungan tersebut, diungkapkan penyair dalam puisi berjudul “Habibul Hubbi”. Konstruksi puisi ini terdiri dari dua bagian, yaitu bahasa Arab dan bahasa Indonesia, dimana secara tekstual, keduanya kurang lebih memiliki kesamaan arti. Keberadaan bahasa Arab, sebagaimana pula kesan yang muncul pada judul puisi tersebut, tampaknya diarahkan pada kontekstualisasi tradisi dan historisitas sufisme yang berkembang dalam Islam. Hal ini cukup efektif untuk membangun nuansa transendental dalam puisi tersebut.

Pada bagian kedua diawali dengan,

bukankah aku teramat fahim akan cinta/,

yang merupakan pernyataan retorik yang tidak membutuhkan jawaban, karena jawaban tersebut sudah ada, bahkan mensyaratkan keberadaannya, yakni pemahaman terhadap Tuhan yang Maha Cinta (fahim akan cinta). Pemahaman tersebut dalam tradisi sufisme menunjuk pada istilah ma’rifah atau ma’rifatullah, yang menjadi kewajiban pertama yang harus dimiliki oleh manusia sebagai hamba Tuhan.

Berikutnya,

dan bila kusingkap dan kutampakkan cinta/
kekasih pun telah menyingkapkan/
dan menampakkan dirinya/.

Sebagai kelanjutan dari ma’rifah, ungkapan di atas menunjukkan dua proses, yakni musyahadah (penyaksian) dan mukasyafah (terbukanya tabir). Sebagaimana diketahui, musyahadah merupakan penyaksian bahwa seluruh kejadian dalam kehidupan ini merupakan ayat-ayat Tuhan (ayat kauniyah). Kehendak dan Kekuasaan Tuhan “bermain” dalam gerak kehidupan ini. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkap oleh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam konsep wahdat al-wujud, bahwa alam semesta yang serba ganda dan berjenis-jenis ini hanyalah wadah penampakan dari asma’ dan sifat-sifat Tuhan dalam wujud terbatas.

Pada proses berikutnya, yaitu mukasyafah, mengarah pada pengalaman terbukanya tabir antara hamba dengan Tuhan, dimana Tuhan sendiri yang menyingkapkan tabir tersebut. Dalam tradisi Islam, mukasyafah dicontohkan pada peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad Saw, dimana secara garis besar diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’. Lebih lanjut, tradisi Islam menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dalam peristiwa tersebut “berdialog” Allah dan diperlihatkan pula sebagian dari rahasia-Nya, seperti surga dan neraka serta gambaran dari para penghuninya, berdialog dengan ruh para utusan-Nya, dan sebagainya.

Kemudian mahabbah (cinta), sebagai puncak dari keseluruhan proses tersebut, diungkap oleh penyair dalam baris penutup, yaitu, sungguh, aku hanyalah mencintai cinta/. Pernyataan ini menjelaskan bahwa hubungan yang tertinggi antara manusia dengan Tuhannya menunjuk pada kehidupan manusia yang didasari oleh cinta, digerakkan oleh cinta, dan menuju cinta, yakni Dzat wajib al-wujud sendiri. Dengan arti lain, seluruh kehidupan manusia dalam seluruh dimensi hidupnya tidak lain merupakan manifestasi rasa cinta seorang hamba kepada Tuhannya.

Keberadaan manusia sebagai makhluk pribadi dalam perspektif sufisme ditunjukkan oleh “Perawan Mencuri Tuhan”—yang juga menjadi judul antologi puisi ini—. Permasalahan filosofis terkait keberadaan manusia di dunia merupakan permasalahan mendasar bagi setiap pribadi manusia, yang populer dengan istilah “pencarian jatidiri”. Di sini, keberadaan sebuah “jawaban” sangat penting sebagai dasar untuk memaknai seluruh proses hidupnya. Urgensitas permasalahan tersebut juga dinyatakan oleh sebuah hadits yang sangat populer dalam tradisi sufisme, yaitu “barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya” (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu). Pada titik ini dapat dikatakan bahwa fase filosofis merupakan pembuka dari fase sufistik. Secara historis, hal ini secara gamblang dapat ditemukan pada periode awal kehidupan Nabi Ibrahim, yang terlibat dalam pertanyaan tentang hakikat keberadaannya, yang pada perkembangannya berlanjut pada permasalahan tentang ketuhanan.

Bagian pertama puisi ini menyebutkan,

ada perawan bersembunyi/
di balik meja dan almari kayu/
takutnya serupa orang perahu/
yang sedang berlayar sendiri/.

Secara sederhana, kata “perawan” merupakan ibarat dari fase awal terbukanya pemahaman dan kesadaran yang lebih luas terhadap realitas kehidupan. Dalam ilmu psikologi perkembangan, biasanya proses ini terjadi pada masa remaja, sebagai periode khusus peralihan dari anak-anak menuju dewasa, yang ditandai dengan perubahan seluruh dimensi kepribadian manusia, baik fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan sebagainya.

Ketika seorang individu terlibat dengan berbagai pertanyaan filosofis tersebut, maka dia membuat jarak (bersembunyi) dengan melakukan kritik terhadap pemikiran dan jawaban yang dikemukakan oleh manusia (di balik meja dan almari kayu). Kendati bernilai manfaat, pemikiran dan jawaban manusiawi tersebut bersifat partikular atau subyektif, bukan utuh dan tunggal, seperti yang diharapkannya. Dalam kesendirian, seorang individu akan merasa khawatir, terombang-ambing, dan takut akan tidak didapatkannya jawaban yang sebenarnya atau malah tersesat, meskipun dia sadar bahwa inilah idealisme yang mesti dilalui oleh setiap manusia untuk mendapatkan hakikat diri dan hidupnya (takutnya serupa orang perahu/ yang sedang berlayar sendiri).

Bagian kedua puisi “Perawan Mencuri Tuhan” menyebutkan,

ia perawan yang bersembunyi/
di balik meja dan almari kayu/
agar ibu tidak melihatnya/
agar bapak tidak melihatnya/
agar kakak tidak melihatnya/
agar adik tidak melihatnya/
agar semua tidak melihatnya/
: ia tengah mencuri tuhan mereka/.

Perubahan kata “ada” pada bagian pertama menjadi “ia” di bagian kedua, menunjukkan terjadinya perubahan level dari “cerita atau kabar” menuju level “ke-diri-an”. Di sini, personalitas mengejawantah dalam kepribadian yang spesifik, yakni anak manusia “yang bersembunyi/ di balik meja dan almari kayu/”.

Kemudian dalam keberadaannya sebagai pribadi, serta keterlibatan yang semakin jauh dalam pencariannya, maka proses pelepasan hubungan dengan yang lain, baik keluarga maupun hubungan sosial lainnya, merupakan proses yang tak terhindarkan secara filosofis. Dari kesemuanya, hal tersebut disebabkan dia sedang mencari kesejatian, bahkan dengan cara-cara yang dianggap radikal oleh pandangan keagamaan mayoritas masyarakatnya, (mencuri Tuhan mereka).

Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial banyak diungkap dalam antologi puisi “Perawan Mencuri Tuhan”. Bahkan, keberadaan puisi bertema sosial menjadi bagian terbesar dari konstruksi antologi ini secara keseluruhan. Selain berdimensi luas dalam kehidupan masyarakat, hal ini tampaknya dimaksudkan oleh penyair sebagai penegasan bahwa kehidupan sufistik, atau religiositas secara umum, memiliki tanggungjawab atas permasalahan sosial dalam berbagai situasi dan kondisinya. Di antara puisi-puisi bertema sosial, puisi berjudul “Sajak Sosial” merupakan keberadaan yang vulgar, sekaligus menarik dengan kandungannya yang universal.

Bagian pertama puisi “Sajak Sosial” yaitu,

aku belum melihat kemauan puisi/
dapat melebihi amal sehari-hari//,

menyatakan pandangan penyair bahwa dalam perspektif ibadah sosial, wilayah konseptual tidak mungkin dapat melebihi wilayah praksis. Di samping merupakan kelaziman (belum melihat), konsistensi (sehari-hari) dalam ibadah sosial tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya secara nyata dalam kehidupan masyarakat daripada sekedar gagasan, rencana, maupun kehendak (kemauan). Karena notabene ibadah sosial menunjuk pada wilayah lahiriah, yakni tindakan atau aksi.

Sementara pada bagian kedua,

aku belum tahu kemampuan puisi/
dapat melewati amsal sehari-hari//,

kurang lebih memberikan pemahaman bahwa seruan yang baik dalam kegiatan sosial, tidak akan efektif tanpa dukungan keteladanan (amsal) dan konsistensi (sehari-hari). Dalam konstruksinya, bagian kedua ini merupakan kelanjutan dari bagian pertama yang saling terkait dengan fokus yang berbeda. Jika pada bagian pertama, “Sajak Sosial” diposisikan sebagai pengetahuan dasar yang dipahami secara umum, maka pada bagian kedua, “Sajak Sosial” menyiratkan gerak atau efektivitas (kemampuan). Pada tataran ini, “Sajak Sosial” bukan sebagai judul an sich, tetapi juga mengandung pemahaman tersendiri, yakni idealitas sosial yang diserukan kepada masyarakat.

Kemudian sebagai bagian penutup,

: karena itu/
sebab amal sebab amsal/
bolehkah aku/
menulis sajak sosial?//,

merupakan pernyataan retorik yang menunjuk pada konstruksinya sebagai penegasan bahwa idealisme sosial yang diserukan kepada masyarakat harus disertai dengan konsistensi dalam perilaku dan keteladanan.

Dalam pembacaan lain, “Sajak Sosial” bisa juga diposisikan sebagai kritik penyair terhadap tokoh pemerintahan, tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis sosial, bahkan masing-masing kita, yang mungkin lebih cenderung mendasarkan upaya transformasi masyarakat pada “kata-kata”. Tentunya, hal ini tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yang menegaskan keberadaan Rasulullah Saw sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah), bukan sebagai seruan yang baik (mauidhah hasanah).

Keberadaan manusia sebagai makhluk lingkungan, diproyeksikan dalam beberapa puisi, antara lain “Banjir 1”, “Banjir 2”, dan “Banjir 3”. Secara umum, ketiga puisi tersebut merupakan pandangan penyair mengenai banjir dalam berbagai perspektif yang komplemen.

Pada puisi “Banjir 1” disebutkan,

nuh/
aku bukan anakmu/
nuh/
aku bukan anakmu/
nuh/
aku bukan anakmu//,

secara umum mewakili pandangan esoteris keagamaan. Redundansi pernyataan di atas memberikan kesan supranatural, laiknya wirid atau dzikir, yang menunjuk pada kebesaran Tuhan. Banjir sebagai fenomena alam, atau berbagai bencana alam lainnya, pada hakikatnya merupakan ayat-ayat kauniyah Tuhan yang mengandung pelajaran dan hikmah bagi umat manusia. Tataran hakikat ini pula yang tampak pada rekaman historis, ketika Kan’an putra Nuh, berlepas diri dari golongan Nuh dan kaum beriman. Kan’an tenggelam bersama golongan kaum kafir lain. Dengan pemahaman dan kesadaran hakikat tersebut, yakni “tangan Allah di balik segala kejadian”, tentunya hal tersebut akan melahirkan kesabaran, bahkan meningkatnya keimanan, dalam diri manusia ketika dihadapkan dengan bencana alam.

Bencana alam sebagai pelajaran dan hikmah, secara sederhana ditunjukkan oleh keberadaan isu-isu yang berkembang di masyarakat, seperti yang terungkap pada “Banjir 2”. Bagian awal puisi ini menyebutkan,

dua syeikh berbincang//
“tahukah tuan korelasi/
antara bencana banjir dengan politik/
dengan ekonomi?”//.

Pada umumnya, sebagaimana pandangan penyair, isu-isu yang berkembang di masyarakat terkait banjir, atau bencana alam, selalu dikait-kaitkan dengan permasalahan politik dan ekonomi. Secara faktual, kedua permasalahan tersebut sangat menarik dan memiliki daya jual tinggi di masyakarat, terutama dari segi pemberitaan (media massa), dengan munculnya rumor yang menyertainya, seperti pencitraan tokoh politik tertentu dan sebagainya.

Akan tetapi sebaliknya, melalui bagian terakhir, yaitu

“hamba tidak tahu. yang kutahu korelasi/
antara bencana banjir/
dengan keakraban sesama/
dengan kejahatan sesama”//,

pandangan penyair memposisikan bencana banjir sebagai hikmah dan pelajaran. Dalam batas tertentu, banjir dapat mendekatkan hubungan sosial di masyarakat. Kepedulian terhadap sesama manusia dapat dilihat dari berbagai bantuan sosial, baik makanan, obat-obatan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Ironisnya, kedekatan hubungan sosial tersebut, ternyata lahir dari perilaku manusia sendiri yang tidak peduli dengan nasib sesamanya, serta menutup mata terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kesewenang-wenangnya dalam pengelolaan lingkungan.

Perilaku manusia yang sewenang-wenang dan tidak bertanggungjawab sebagai faktor yang mengakibatkan terjadinya banjir, atau bencana alam lainnya, ditegaskan dalam “Banjir 3”, yaitu,

kutahu/
banjir ada yang membuat/
seperti kata aristokrat/
negara aku yang membuat//”.

Hal ini tentunya sesuai dengan pernyataan al-Qur’an surat Ar-Ruum [30]: 41, yang secara umum menegaskan bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, dimana terjadinya bencana alam tersebut dimaksudkan sebagai pelajaran bagi umat manusia.

Ketiga puisi di atas, yaitu “Banjir 1”, “Banjir 2”, dan “Banjir 3” secara umum menunjukkan keberadaan manusia sebagai makhluk lingkungan. Pada konteks ini, keterkaitan antara manusia dengan lingkungan memiliki ekspresi yang berbeda di antara keduanya. Pengaruh lingkungan terhadap manusia bersifat pasif, sedangkan pengaruh manusia lebih bersifat aktif. Di sisi lain, kendati tidak mempunyai kemampuan sama, keberadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Perilaku eksploitatif-manipulatif manusia terhadap lingkungan dan daya dukungnya dapat mengakibatkan kerusakan bagi kehidupan secara luas, termasuk kehidupan manusia.

Secara keseluruhan, sufisme humanistik dalam antologi “Perawan Mencuri Tuhan” dibangun dengan keberadaan puisi-puisi—73 judul—yang memiliki kemiripan tipografis, umumnya terdiri dari satuan gramatika yang tersusun dari frase-frase tanpa banyak “sayap”. Kesederhanaan gramatika dengan susunan sintaksis yang normatif dan wajar, menjadikan kontekstualisasi puisi dapat dibangun tanpa upaya kontemplasi yang sangat rumit. Kendati demikian, pengetahuan kajian sufisme menjadi faktor penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam atas puisi-puisi yang termaktub pada antologi ini.

Kesederhanaan gramatika di atas, tampaknya disadari oleh penyair, sebagai susunan yang efektif untuk menyampaikan pemahaman, gagasan, dan pemikirannya. Akan tetapi di sisi lain, hal tersebut cukup berdampak pada suasana puisi yang kurang tergarap secara maksimal. Lepas dari itu, “Perawan Mencuri Tuhan” karya Amien Wangsitalaja ini merupakan kontribusi penting dalam khazanah kesusastraan Indonesia, terutama sastra sufistik. Dengan eksplorasi seluruh dimensi kemanusiaan, karya ini menampilkan keberadaan manusia secara utuh dan berkesadaran.

2013

____________________
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *