Taufiq Wr. Hidayat *
Apa gerangan yang membuat seseorang berharap pada kematian? Hidup yang tak hidup, kata WS. Rendra. Kehilangan daya untuk menentukan diri sebagai subyek. Hanya obyek. Dan tumbal. Seseorang berharap mati, tapi kematian tak kunjung menjemputnya. Sedang ia takut bunuh diri. Sesungguhnya ia ingin membunuh dirinya sendiri. Namun selalu gagal. Lantaran ada hidup yang ingin ia raih, yang belum pernah dapat diraih. Sementara itu, ada tuntutan sehari-hari. Uang air dan kesehatan. Makan dan kakus. Kebutuhan-kebutuhan cepat yang harus dibayar mahal. Dan tak ada jaminan. Tak ada kepedulian dari siapa-siapa. Setiap orang melaju dengan sendiri-sendiri, hidupnya sendiri-sendiri, kepentingannya sendiri-sendiri. Kemudian yang kuat menertawakan yang kalah dan terbuang.
Manusia yang berkuasa dan menduduki status tinggi sosial-ekonomi dengan segenap keangkuhan akan merasa hidupnya tidak aman. Ia merasa selalu diincar oleh orang-orang miskin itu. Tiap nafasnya membisikkan kewaspadaan; takut hartanya dijarah, jangan-jangan orang akan menipu dan diam-diam merebut pekerjaannya, nyawanya terancam, hidupnya terganggu, atau takut dijatuhkan orang-orang miskin atau para pengangguran yang brengsek, orang-orang terbuang, orang-orang kalah dan yang menderita dihimpit kenyataan tak terelakkan. Ketika kekayaan dan kekuasaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya dan berkuasa belaka, maka di luar itu adalah rimba belantara di antara pohon-pohon beton yang melubangi langit raya. Orang-orang sial yang adalah korban kemudian jadi lelucon orang-orang mujur itu berpikir—juga berspekulasi, atau meyakinkan diri, bahwa semua kesialannya juga dapat dialami dan dirasakan orang-orang mujur. Siapa pun. Ia meyakinkan dirinya, kesialan terjadi pada dirinya karena ketidakadilan dan penindasan orang-orang mujur yang harum dan terawat. “I used to think my life was a tragedy, but now i realize it’s a comedy,” katanya. Ia berpikir, hidupnya hanyalah tragedi. Ketakmujuran-ketakmujuran yang tak pernah ia harapkan, tapi yang tak terelakkan. Namun ketika melihat perbuatan dan pandangan orang terhadap hidupnya, ia tak lebih komedi. Lantaran orang melihat kemujuran itu di sana. Ada sebentang jarak antara aku dan tragedi: ketakterlibatan. Sehingga bagi aku—yang berada dalam jarak dengan tragedi itu, tragedi cuma lelucon, kelucuan sehabis makan siang.
Sosok Joker selalu menjadi idola. Tak banyak orang mengidolakan sosok Batman atau Robin secara histeris seperti orang mengidolakan Joker. Mungkin sebagian—dengan diam-diam, para pengagum Batman sesungguhnya mengidolakan Joker. Tanpa Joker, tak mungkin ada Batman yang juga muncul dari kegelapan. Batman yang menyimpan dendam lain dari kemapanan dan kepatutan, yakni trauma kematian kedua orangtuanya yang kaya raya itu di tangan orang miskin. Jika di situ ada Joker, maka di sini ada Batman. Tapi Joker bukan Fir’aun, dan Batman bukan Musa. Barangkali benar Carl Jung, ada bayangan di balik diri manusia itu. Itulah insting kebinatangan yang dirahasiakan secara ketat di balik diri. Menjelma identitas. Kegetiran, kesialan, dan ketidakadilan yang dialaminya, membuat ia memakai insting kebinatangan itu untuk melawan dan mengutuk kemapanan hidup. Hidup yang telah mencurangi dan memerasnya. Sigmund Freud meyakini, semua orang punya potensi dan keinginan kuat melakukan kejahatan. Apa yang disebut Nietzsche sebagai kehendak untuk berkuasa. Namun norma dan moralitas telah memenjara kebinatangan itu. Bagaikan Adam yang dilarang mendekati pohon larangan di Taman Eden. Pemenjaraan kebinatangan itu mengakibatkan depresi. Sehingga ia sesungguhnya memerlukan pelepasan. Maka kejahatan verbal terjadi. Orang gemar menertawakan kesialan orang lain, baik kesialan yang disebabkan suatu peristiwa atau kesialan bawaan seperti misalnya cacat pada tubuh. Tatkala Joker dengan terang-terangan mengumbar kebinatangannya karena dendam dan kepahitan hidup, kita berbondong-bondong mengidolakannya. Seolah wajar saja ia menuntut keadilan di tengah hukum yang tak pernah memberikan keadilan. Lantaran apa yang sesungguhnya dilakukan dan diinginkan Joker tak lain adalah keinginan dan hasrat semua orang, apakah ia orang mujur atau orang celaka, orang terhormat atau tidak terhormat.
Pada puncaknya, terjadinya chaos antara apa yang diandaikan dengan lazim dan realitas memunculkan tawa. Lelucon. Itulah barangkali yang membuat Joker tertawa ketika ia tertekan, sedih, marah, atau melihat dan merasakan kesewenang-wenangan. Ia menangis ketika merasakan ketenangan, sesuatu yang sesungguhnya nyaman. Maka ia anti dan mengutuk kemapanan. Ini persis Semar dalam khasanah Jawa; “gemuyu nangis, ning nangis gemuyu” (tertawa tapi menangis, menangis tapi tertawa), paradoks yang niscaya. Itulah kenapa sosok Batman tak pernah terlihat tertawa terbahak-bahak. Tapi Joker selalu tertawa, pertanda ia selalu menderita, marah, tertindas, tertekan. Batman seolah sosok yang dingin. Ia mewakili apa yang rapi, mapan, berkuasa. Dan pertarungan antara keduanya tak pernah usai dalam sejarah. Tapi Joker menegaskan, bahwa kebajikan dan kejahatan tak pernah bisa dipandang secara sederhana dan gamblang. Ada yang sesungguhnya rumit di balik keduanya. Kegelapan tak bisa disederhanakan belaka kegelapan. Begitu pula terang. Moralitas dan agama pun omong kosong ketika ia hanya dianggap sebagai sebentuk bangunan yang selesai, tanpa peluang dan kemungkinan. Gelap dan terang, hitam dan putih, tak selamanya harus berhadap-hadapan. Seorang pahlawan tak sepenuhnya suci tanpa noda. Ia akan dipuja di satu keadaan, dikutuk pada keadaan yang lain. Kepahlawanan tak hanya lahir dan hidup dalam kebajikan atau moralitas yang telah ditetapkan masyarakat. Di dalam kegelapan—dendam dari yang kalah dan terbuang, kepahlawanan itu lahir dengan wajah yang lain. Ada kemungkinan yang tak pernah dapat diduga di situ. Ada peluang. Dan moralitas hanyalah penjara.
Kekalahan Joker sejatinya bukanlah kekalahan. Lantaran sosoknya tak pernah kalah dalam sejarah. Ia kekal di dalam diri semua manusia. Ia tak dapat disebut kekalahan, karena ia bergerak tanpa tujuan apa pun. Ia hanyalah ekspresi banalitas yang jahanam. Sejatinya ia tertawa untuk berupaya memahami hidupnya yang tak dapat ia pahami karena kegetiran dan kegagalan, atau merasakan realitas yang bertentangan dari apa yang ia harapkan sebagaimana wajarnya. Tetapi di balik kekejiannya itu, ia tetap berharap mengalami mati yang bisa dipahami. Ia mendesah: “kuharap kematianku lebih masuk akal daripada hidupku”. Ia tetap ingin bermakna dengan hidup yang tak bermakna. Tapi siapa yang bisa memahami dengan pengertian-pengertian kemanusiaan yang tak belaka komikal? Sesungguhnya ia kesepian. Sedih dengan tawa yang selebar-lebarnya. Dan ia hendak mengajak dunia tertawa bersamanya. Itulah barangkali yang menghinggapi Sukri saat membawa pisau dalam “Sukri Membawa Pisau Belati”nya Hamsad Rangkuti. Ia telah dibully, diperlakukan tidak adil, direndahkan karena kegagalannya, karena hidupnya tak menyimpan masa depan di hadapan kemapanan. Ketika ia berharap hidup berbahagia dengan cinta dan kesetiaan, tenteram dan damai bersama kekasihnya, ia harus menghadapi kenyataan, bahwa hidup bahagia itu tak cukup dengan cinta dan kesetiaan. Tetapi pekerjaan, kemudian uang, rumah, dan perhiasan: kemapanan. Sang kekasih meninggalkannya, berpindah pada lelaki mapan berskuter yang jauh lebih mapan daripada Sukri yang hanya membawa cinta dan kesetiaan. Kedua orangtua kekasih Sukri pun menolak, tak ingin sang anak menderita bersama laki-laki yang tidak jelas. Kendati Sukri bukan Joker. Tapi nasibnya segelap sang Joker. Sukri menyelinap ke balik semak-semak, menyelipkan belati di pinggangnya. Ia melompat ke ruang tamu. Ia marah. Ia mengatakan mereka hanya melihat benda-benda, tidak melihat hati dan ketulusan cintanya. Belati ditikamkan ke dada kekasihnya, lalu ke dada kedua orangtua kekasihnya, kemudian ke dada laki-laki mapan berskuter yang merebut kekasihnya itu. Terakhir Sukri menikamkan belati ke ulu hatinya sendiri. Tragedi yang mengenaskan. Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang dalam cerita Hamsad Rangkuti yang mashur itu. Absurditas yang klise. Tetapi yang tak pernah beres pada setiap zaman. Setiap pencapaian seakan meminta tumbal. Dan apakah manusia bisa menghindari keniscayaan itu? Yang terbuang dan terjatuh dalam sial. Di antara politik yang memuakkan, persaingan yang saling memakan dan memusnahkan, perang, derita, pembunuhan. Bukankah semua itu berulang-ulang? Dan bukankah itu suatu kelucuan? Lalu siapakah Sukri, Joker, dan siapa aku?
Hingga akhir hayat, barangkali seorang badut memang tak akan pernah atau susah sekali melepaskan nasibnya. Pakaian badut itu, seperti dalam sebuah film horor “Clown” (2014) garapan Jon Watts, bagai kutukan yang tak pernah diduga dan tak pernah diinginkan seseorang. Dalam film itu, kostum badut adalah “kulit iblis”. Ketika tak sengaja dipakai, kostum badut akan melekat selamanya pada tubuh seseorang. Tak dapat dilepaskan. Kostum badut itu merubah seseorang menjadi keji. Ia hanya dapat diakhiri dengan dibunuh. Atau bunuh diri.
Tetapi Sawung Jabo meratapi nasib sang badut yang malang dalam lagunya, yang mati terkapar sendiri di dalam kamar riasnya. Lagu dengan irama yang menyayat. Dan suara Jabo yang khas itu telah berlalu puluhan tahun yang lalu. Tetapi benarkah badut-badut yang malang itu pun berlalu? Entah kenapa, film-film horor menampilkan badut yang sadis, bermain-main dengan nasib orang lain dan dirinya sendiri, sinting dan menjengkelkan? Siapa sebenarnya badut? Diakah yang di panggung, di tivi, di radio, di koran, di mana-mana? Tapi apakah hidup bukan panggung? Apakah sebuah profesi dan ruang-ruang yang tercipta dari kehendak-kehendak manusia bukan kostum? Kenapa harus panggung? Dapatkah seseorang melepaskan profesi atau peran yang tak pernah ia inginkan? Oh ia bagai kostum badut yang tak dapat ditanggalkan, melekat lengket sebagai kutukan.
Orang ditelan kesibukan kota-kota, perkantoran, entah apa dan di mana lagi. Ia tak dapat melepaskan perannya. Sekali waktu, ia ingin melepaskan semua itu. Tapi tak pernah bisa. Ia telah dikutuk. Berangkat pagi tepat waktu, mengerjakan setumpuk tugas yang itu dan kembali ke itu-itu saja. Pulang senja. Tiba di rumah. Malam pun lelah. Mengunci pintu agar tak ada orang mengganggu. Menonaktifkan medsos. Atau bermain-main android, mengintip pesan sambil lalu. Seks singkat yang terburu. Besok pagi tepat waktu. Nyaris seluruh hidupnya habis dalam perjalanan, ruang ke ruang, rapat ke rapat, jadwal ke jadwal. Semua itu tak dapat dilepaskan. Melepaskannya berarti bunuh diri. Ia harus terus membadut. Jika “selamat”, ia dapat pensiun. Usia tinggal sejenak, mudah marah, pelit, kehilangan jati diri, dan haus pujian.
Tak semua begitu. Tapi jika segala rutinitas yang itu-itu saja tak dapat sejenak dilepaskan, ia menjelma mesin. Bagai badut yang belaka menghibur, dirinya sendiri tak pernah terhibur. Sesungguhnya menjadi manusia sejenak saja adalah karunia hidup yang menakjubkan. Barangkali menertawakan diri sendiri penting, dan itu membutuhkan “yang lain”. Yang lain dari dirinya dan dari dunianya. Menyadari derita, orang bersedih. Menyadari bahagia, orang tertawa. Saat bahagia tak disadari, orang lupa tertawa dan peduli. Tatkala derita tak disadari, orang tak tahu bahwa ia sebenarnya tersiksa, tapi tak kuasa berbuat apa-apa. Tiba-tiba jiwa telah terlunta, dan tak enak badan. Derita dan bahagia cuma komedi. Tidak ada yang agung di dunia ini, kata Charlie Chaplin. Yang agung adalah gajah, yang kecil adalah kutu. Jangan lupa tertawa, katanya. Sebagaimana jangan lupa untuk menangisi segalanya. Agar tak menikam diri mengakhirkan komedi.
Umberto Eco menyebut ada iman yang tidak tertawa, ada kebenaran tanpa keraguan. Khotbah, moral, dan agama sekadar alat menenangkan di tengah kemapanan, bahkan cuma lelucon di antara canda cabul saat makan siang. Yang terbuang, yang gelap dan teraniaya, terkapar dalam ketakberdayaan menertawakan agama, moral, dan Tuhan yang tanpa keterlibatan. Tuhan yang hanya di sana, di kursi kemegahan, yang mengawasi setiap gerak-gerik makhluk, menghukum yang terjerembab dalam noda dan kegelapan, tapi memberkati yang kaya, mapan, rajin, dan patuh pada segala aturan yang ditetapkan-Nya dari langit. Mereka pun meludah sampah pada segala khotbah. Menyimpan dendam dan senjata di balik pinggangnya untuk menikam siapa saja, lalu menikam dirinya sendiri. Pengertian kemanusiaan yang mendalam tak pernah tercipta di tengah hidup yang seolah-olah, kemapanan yang tak menghikmatkan diri pada ketakberdayaan. Kekuatan yang tak menyadari kelemahan di dalam dan di luar dirinya. Kemudian kebencian, perang, dan kematian. Repetisi waktu yang tak terelakkan. Bukankah sejak dulu hingga hari ini pahlawan itu sesungguhnya adalah Sang Joker? Sosok terbuang dan gelap yang melakukan perlawanan dengan caranya sendiri itulah yang selalu dikutuk dan dilaknat. Tapi yang diam-diam dipuja di dalam diri kita masing-masing. Di dalam zaman beserta segala perubahan-perubahannya yang melesat bagaikan kilat yang menyambar.
Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.