Proses Pendangkalan dalam Pemikiran Sastra Kini

Wiratmo Soekito

Dengan pemikiran sastra bukan puisi, novel ataupun sudah tentu yang kita maksud cerpen, tetapi lebih berkenaan dengan kritik dalam berbagai bentuknya, atau dengan sendirinya tidak masuk dalam kategori seni. Sebab seni itu tidak menguraikan, melainkan menyatakan, sehingga seni itu tidak memerlukan argumen atau alasan. Seorang seniman menurut hemat kita boleh tidak logis, malahan seorang seniman dalam menyatakan seninya boleh “sinting” atau “gila”.

Itulah sebabnya kita bisa mengerti apabila seniman atau penyair Sitor Situmorang menciptakan sajak yang tidak logis, seperti misalnya sajak “Malam Lebaran”, di mana ia menggambarkan bulan di atas kuburan pada malam Lebaran. Orang yang mengetahui, bahwa pada setiap malam Lebaran bulan tak mungkin kelihatan, dengan sendirinya akan menilai jalan pikiran dalam sajak itu sebagai tidak logis.

Memang tidak logis pula dalam suatu karikatur yang menggambarkan seorang pemain sepak bola dalam sebuah pesawat televisi bolanya ditendang sampai ke luar dari pesawat televisi tersebut, dan mengenai seorang penonton televisi. Karena bukan hal-hal yang seperti itu yang kita maksudkan apabila dalam tulisan ini kita berbicara tentang proses pendangkalan dalam pemikiran sastra.

Penulis ini tidak termasuk orang-orang yang beranggapan, bahwa kegiatan kreatif di bidang seni sastra merupakan privelege atau hak istimewa para penulis sastra atau sastrawan dan bahwa publik sastra tidak menjalankan kegiatan kreatif.

Suatu karya seni sastra yang tidak dapat menimbulkan apresiasi pada diri publik sastra berarti telah kehilangan fungsinya. Barangkali suatu gambaran yang kurang tepat, tetapi kita berusaha untuk menggambarkan, bahwa karya seni sastra yang baik adalah ibarat investment, sedangkan publik seni sastra yang terbentuk oleh karya seni sastra yang baik itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang diolah sedemikian rupa, sehingga memperbesar investment itu.

Demikian seorang penulis sastra yang baik senantiasa berasal dari publik seni sastra itu. Seorang penulis sastra memang semacam seorang partisipan dalam suatu proses pemerintahan, setidak-tidaknya seorang pelaksana yang melakukan execution of literary work.

Dalam dunia seni drama atau seni musik mungkin kita harus membuat dua kategori antara the making of art dan the execution of art: yang pertama dilakukan oleh penulis repertoare dan yang terakhir dilakukan oleh sutradara dan orang-orangnya (dalam seni musik mungkin bukan sutradara, melainkan dirigen). Ada yang berpendapat, misalnya Horatio Parker, bahwa hanya the making of art yang dapat dinilai sebagai kegiatan kreatif atau sebagai suatu manifestasi artistik, sedangkan the execution of art hanya dapat dinilai sebagai pekerjaan teknis yang dilakukan oleh para teknisi.

Sudah barang tentu pendapat itu adalah ekstrem dan berlebih-lebihan, karena the execution of art seperti misalnya yang dilakukan oleh seorang pemain piano, merupakan jembatan yang menghubungkan seniman dengan publik. Tetapi, apabila the execution of art saja sudah dapat dinilai tidak sebagai suatu seni, apalagi the education of art (pendidikan seni) yang dilakukan oleh para kritisi.

Dengan pendidikan seni dalam pengertian ini yang kita maksudkan bukanlah kuliah-kuliah yang diberikan oleh para dosen pada Akademi-akademi Seni Rupa atau Seni Drama, karena kuliah-kuliah yang diberikan itu lebih menyerupai pengajaran daripada pendidikan.

Dalam halnya dengan seni pendidikan itu dapat dilakukan menurut dua macam metode.

(1) Pendidikan seni yang dilakukan secara langsung oleh seniman yang bersangkutan kepada publik seninya, di mana senimannya cukup hanya dengan melahirkan atau menciptakan karya seninya, karena suatu seni yang baik biasanya secara fungsional merangsang setiap publiknya untuk (kendatipun secara pasif) mengembangkan segenap potensi kreatif dan imajinasinya.

(2) Pendidikan seni yang dilakukan secara tidak langsung oleh kritikus seni dengan jalan menguji kekuatan dan mengekspos kelemahan suatu karya seni yang bersangkutan, ibarat seorang legislator yang memiliki kekuasaan legislatif yang besar menguji kekuatan  dan mengekspos suatu kebijaksanaan politik yang dijalankan oleh suatu badan eksekutif atau seorang presiden atau menteri yang memiliki kekuaasaan eksekutif yang besar.

Dalam arti teknis (terminus technicus) yang dinamakan pendidikan seni itu tidak lain daripada kritik seni. Dengan sendirinya apabila kita berbicara tentang pendidikan seni sastra yang kita maksudkan adalah kritik seni sastra atau disederhanakan kritik sastra. Bahwa kritik sastra itu bukan pengajaran sastra dapatlah kita terima baik, karena sebagaimana seorang legislator (atau seorang kolumnis untuk dunia ekstrapalementer) bukan seorang dosen yang mengajar ilmu politik di Fakultas Hukum atau Fakultas Sosial dan Politik, demikian pula seorang kritikus sastra itu bukan seorang dosen yang mengajar ilmu bahasa atau seluk beluk sastra di Fakultas Sastra.

Tetapi sebaliknya, seorang kritikus sastra bukan pula seorang sastrawan, karena sastrawan yang baik fungsinya terletak dalam the making of literary art, bukannya dalam the education of literary art sebab dalam fungsinya yang proporsional itu sastrawan yang bersangkutan telah menjalankan suatu pendidikan sastra yang dilakukan secara langsung, suatu pendidikan sastra yang dalam arti teknis tidak dapat dinamakan pendidikan sastra.

Sebab analog dengan itu seorang legislator tidak mungkin merangkap menjadi seorang presiden atau menteri, dan kalau jabatan rangkap itu toh dilakukannya, akan timbul suatu suasana diktatorial, setidak-tidaknya suatu suasana demokrasi tidak sehat.

Walaupun begitu perlu kita terangkan, bahwa dalam mengemukakan analogi antara legislator (atau kolumnis) dan kritikus sastra, antara menteri dan sastrawan, antara masyarakat dan publik sastra dan sebagainya, kita perlu menegaskan perbedaan tajam antara politik (atau kebijaksanaan politik) dan sastra (atau seni), antara art dan sastra (meskipun misalnya Chanakya menulis karya besarnya yang berjudul Arthasastra).

Seperti yang pernah kita rumuskan di zaman Polemik Besar melawan golongan komunis, perbedaan kita dengan golongan komunis ialah, bahwa kebudayaan mereka adalah politik, sedangkan politik kita adalah kebudayaan. Dengan logis dan konsekuen sudah tentu kita dapat mengatakan pula, bahwa sastra mereka adalah politik, sedangkan politik kita adalah sastra.

Sesudah golongan komunis mengalami kehancuran total, amat kita sayangkan, bahwa di tengah-tengah kita telah terjadi proses pendangkalan dalam pemikiran sastra, suatu proses di mana sistem pemikiran manifes mengenai soal-soal kultural sudah dikuasai lagi.

Maka mungkin sudah tiba waktunya, bahwa proses pendangkalan dalam pemikiran sastra itu kini harus dihentikan. Karena jika tidak, lambat laun proses ini akan menuju ke arah kedangkalan alam pikiran humanisme universal tipe Surat Kepercayaan Gelanggang, atau kedangkalan alam pikiran humanisme sosialis tipe Lembaga Kebudayaan Rakyat.

[Sumber: Sinar Harapan, 15 Januari 1969]

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/universalitas-daripada-humanisme-universal/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

One Reply to “Proses Pendangkalan dalam Pemikiran Sastra Kini”

Leave a Reply

Bahasa »