DILARANG MAIN-MAIN DI RUMAH PENYAIR

Latief S. Nugraha *

dalam tanding, titah panah menancap dada niwatakawaca
bukan sejengkal pandang,
jelas mata terpancang

angin berderu,
angin kahyangan mencium rindu
putra putri dewata bertemu sipu
munculah benih kesatria yang ditempa candradimuka
(“Abdigeni”, Melia Tri Pamungkas)

Peran UAD (sejak masih bernama IKIP Muhammadiyah) bagi tumbuh kembang sastra di Yogyakarta tidak boleh dianggap remeh. Meski luput dari catatan sejarah[1], UAD terbukti memiliki peran dalam pengembangan sastra di Yogyakarta. Sejak akhir tahun 1970-an UAD telah menjadi ajang bagi calon sastrawan dan para sastrawan untuk saling bertegur-sapa.

Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Masyarakat Poetika Indonesia (MPI) yang digawangi oleh Jabrohim dengan “penuh seluruh” berjuang menggiatkan apresiasi sastra di kalangan mahasiswa. Usaha yang ditekuninya bersama mahasiswa dan sahabat-sahabatnya tidak sia-sia. Hal tersebut dapat dilihat dengan hadirnya sejumlah buku antologi puisi dan kegiatan-kegiatan sastra yang melibatkan mahasiswa dan sastrawan Yogyakarta maupun sastrawan ternama Indonesia. Beberapa di antaranya adalah hadirnya antologi puisi religius Emha Ainun Nadjib, Suminto A. Sayuti, dan Ahmadun Yosi Herfanda Syair Istirah (1982), antologi 82 puisi karya 22 penyair Yogyakarta Genderang Kurukasetra (1986), antologi puisi Sutardji Calzoum Bachri Bersama Sampai Bertemu Air Bening di Yogya (tt.), antologi puisi Ahmadun Yosi Herfanda Sajak Penari (1990), kumpulan puisi prasasti lomba baca puisi Masyarakat Poetika Indonesia Tanah Airmata (1994), kumpulan puisi Milad ke-40 UAD Stasiun Tugu (2000), dan kumpulan puisi dan geguritan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) Di Batas Yogya (2003). Hingga kini Jabrohim selaku Kepala LPM UAD mendayagunakan mahasiswa KKN untuk menggelar acara Forum Apresiasi Sastra rutin setiap bulan di UAD.

Selain itu, ada antologi puisi Penobatan (1986), antologi puisi Doa untuk Ibu (2008), antologi puisi Nyanyian Napas (2009), antologi puisi Bukan Zaman Perang (2010), antologi cerpen Lelaki yang Membusuk (2010), antologi puisi Perempuanku Lelakiku (2012), antologi puisi Selangkah Menjejak Langit (2012), antologi puisi Metamorfosa (2012), antologi Cerpen Di Rahim Ibu (2012), antologi cerpen Nyanyian Sunyi Perempuan Malam (2012), antologi puisi Penobatan Ruh (2013), antologi puisi Rumah Penyair (2013), adalah antologi puisi dan cerpen program swadaya murni karya mahasiswa PBSI UAD yang saya ketahui. Tidak mau ketinggalan, Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB) sebagai wadah bagi (khususnya) mahasiswa PBSI UAD juga telah menerbitkan sejumlah buku sastra. Antologi Puisi Taman Mimpi Nawawarsa (2010), Antologi Puisi dan Puisi Musik Puisi Wajah (2011), dan Antologi Cerpen Kata yang Paling Sepi (2013), di samping dua album musik puisi Tanah Airmata (2007) dan Rindu Tak Terucap (2011). Keterlibatan Teater JAB di arena sastra Yogyakarta turut mengharumkan nama UAD sebagai sebuah prestasi tanpa piala yang telah diraih mahasiswa-mahasiswanya. Begitupula Kreativitas Kita (Kreskit) sebagai sayap jurnalistik di HMPS PBSI telah menghasilkan buku antologi cerpen Gadis Beraroma Kopi (2013) dari lomba cipta cerpen yang digelar.

UAD sebagai salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah, bertanggungjawab untuk menjadi lulusan yang unggul, berprestasi, dan berkarakter Islami. Oleh karenanya pengembangan hard skill, soft skill, dan spiritual skill bagi mahasiswa sangatlah penting sebagai bekal meraih kesuksesan setelah lulus nantinya.[2] Berkaitan dengan bidang seni, terutama di bidang sastra, Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) dapat digunakan sebagai ajang kompetisi kreativitas mahasiswa.

Dari beberapa hal tersebut dapat dilihat peran UAD, khususnya PBSI adalah sebagai kawah “Candradimuka” untuk menempa kreativitas mahasiswanya. Hal tersebut seperti yang telah disampaikan oleh Melia Tri Pamungkas dalam puisinya. Antologi puisi Rumah Penyair 2 ini dapat dikatakan sebagai arena pergulatan para (calon) penyair dengan “tanding” untuk menancapkan “panah” —dalam hal ini berupa puisi— dengan keyakinan yang tidak hanya “sejengkal pandang” tetapi “memancang”. Namun, ada pula yang hanya sekedar main-main, sehingga tidak semua berhasil sebagai “benih kesatria yang ditempa candradimuka” ini. Ada yang akan melupakan proses kreatif ini begitu saja, namun ada pula yang kemudian akan “suntuk berkisar-kisar hidup dengan puisi”, hingga mengesampingkan ruang studinya. Sebab yang diangankan sejak bangun tidur hingga berangkat tidur hanya satu semata: puisi.

Hal tersebut wajar dialami oleh penyair (pemula). Bahkan Emha Ainun Nadjib semasa berguru tentang puisi kepada Umbu Landu Paranggi di PSK dulu juga mengalami hal yang sama. “Kecintaan dan kemabukan dalam puisi merupakan titik berat kehidupan di PSK. Saat itu, puisi lebih utama dibanding negara, tentara, universitas, atau segala macam kesibukan dan benda-benda yang berada di sekitar para penyair muda tersebut.”[3]
***

Puisi dan kegelisahan tampaknya memang sudah seperti tubuh dan bayang-bayang. Keduanya senantiasa bersipaut sebagai suatu kesatuan, baik dalam ungkapan personal maupun umum. Bagaimana puisi-puisi di dalam antologi ini menyampaikan persoalan itu? Semoga saja yang saya utarakan ini salah. Agaknya, wawasan mahasiswa PBSI UAD mengenai puisi masih miskin. Masih perlu membaca sebanyak-banyaknya puisi dari sebanyak-banyaknya penyair, baik Indonesia maupun luar negeri. Terutama adalah membaca karya sastra yang bagus untuk meningkatkan wawasan tema, gaya ucap, dan hal-hal lain yang belum terlihat dalam puisi-puisi di antologi ini.

Sudah demikian, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang ditulis ini merupakan puisi? Ataukah hanya sekedar rangkaian kata-kata indah yang dipuitis-puitiskan? Jangan-jangan untuk mencapai kata-kata indah yang dipuitis-puitiskan saja belum berhasil!?

Memang tidak semua orang dianugerahi daya cipta kreativitas dalam berkarya. Sehingga tidak mengherankan dan tidak berlu berharap-harap bahwa dari sekian banyak puisi yang ada dalam antologi puisi ini berhasil menjadi puisi. Ada satu atau dua yang berhasil itu sudah merupakan prestasi, mengingat di Yogyakarta ini setiap orang di setiap gang bisa saja disebut penyair. Penghargaan tinggi tentu akan diberikan kepada penulis yang jujur dengan tidak melakukan plagiasi —mengakui karya orang lain sebagai milik sendiri.

Tidak sedikit puisi dalam antologi ini yang gagal dalam tahap pertukangannya. Semoga bukan disebabkan karena hal ini merupakan pengalaman pertamakalinya dalam menulis puisi. Semisal iya, semoga telah banyak puisi dari banyak penyair yang dibaca, sehingga di kemudian hari dapat kembali menulis puisi yang lebih baik lagi. Seperti yang sudah saya singgung, sebagai hasil produksi sastra banyak puisi dalam antologi ini hanya main-main belaka. Akibatnya, estetika puisi sebagai karya seni tidak tercapai. Mari kita lihat puisi berikut ini.

Apa

Ini hidup atau apa
Apa ini hidup
Hidup ini apa
Apa ini hidup
Ini hidup apa
Hidup apa ini

Yogyakarta, 2014

Tampaknya, Arista Kurniawati benar-benar gelisah dalam menerjemahkan arti dirinya bagi kehidupan dan arti kehidupan bagi dirinya. Barangkali dia perlu bertanya kepada filsuf terkenal Jean-Paul Sartre tentang eksistensi diri. Puisi ini menurut saya adalah puisi yang gagal sebagai puisi. Puisi ini samasekali tidak mencapai estetikanya. Cenderung bermain-main. Jika melihat puisi-puisi mbeling dalam konteks sebagai puisi yang banyak dikritik sebagai puisi yang main-main, secara dekonstruksi puisi mbeling masih memiliki makna dalam paradoks dan ironinya.

Banyak sekali ditemui puisi yang klise dan standar. Para penulis tidak cermat dalam menggunakan bahasa tulisnya, sehingga metafor-metafor yang ada lemah dan tidak berfungsi. Secara logika bahasa, banyak puisi mengalami kegagalan di dalam proses pertukangannya.

Untuk itu, mari kita baca puisi Distratika Aisa Rakhmi yang berjudul “Mahasiswa”. Di jalan kota ini/ Kau telusuri dengan langkahmu/ Harap besar penuhi jiwa/ Berkas dan tas jinjing layaknya sobat/ Doa ibu senjata andalan// Senja tiba tak terasa/ Langkah jua bawamu pulang/ Kabarkan kisah tentang kemarin// Hari ini/ Kau ulangi lagi kisahmu. Puisi ini tidak memperlihatkan titik fokus pembicaraan tentang “mahasiswa” yang dimaksud. Yang terjadi justru igauan tentang keletihan, tentang cita-cita, tentang ibu, kampung halaman, dan rutinitas yang membosankan. Jika menjadi mahasiswa adalah dunia baru baginya, adakah pengalaman yang didapatkan, yaitu pengalaman yang sebelumnya nihil dalam pikirannya? Misalnya, pengalaman yang membedakan tentang kota dengan kampung halamannya. Hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam puisi ini. Pengalaman yang dialami belum sepenuhnya mengendap sebagai gagasan yang kuat.

Ada pula puisi yang logika bahasanya absurd dan tidak meninggalkan apa-apa. Seperti dalam puisi Dita Apriliani yang berjudul “Doa”. Rembulan duduk termangu/ Semilir angin mengelilingi mengajaknya menari/ Rimbun daun melindungi diri dari kejam manusia/ Aku berdiri memohon/ Mencari izin bercerita padaMu/ Orang-orang ringan melontar keji kepadaku/ Pisau tajam menusuk batin/ Kami tak bernadi lagi/ Berilah ia keindahan/ Supaya kembali seumat. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan puisi ini? Doa yang bagaimana yang dipanjatkan melalui puisi ini? Barangkali saya yang gagal dalam membaca puisi ini. Coba pikirkan!
***

Sebagaimana puisi penyair (pemula) pada umumnya, puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa PBSI UAD kelas C dan D ini berisi tentang eksistensi diri dan puisi-puisi cinta. Puisi yang ditulis menunjukkan bahwa penulisnya berusaha keras mengutamakan pencapaian estetis dan pencarian bentuk ucap yang sesuai dengan karakternya sendiri-sendiri. Kesan yang muncul pada puisi-puisi yang ada didominasi oleh nuansa kerinduan, religiusitas, dan beberapa wacana tentang kondisi sosial yang terjadi di masyarakat saat ini. Ditengarai hal tersebut berkaitan dengan usia para penulis yang tergolong masih muda, sehingga pemahamannya tentang berbagai hal belum mengendap dengan baik.

Dalam konteks bersastra, bisa jadi hal ini justru merupakan bentuk ‘kemurnian’ tahapan awal proses kreatif yang berorientasi pada konsep “sastra murni”. Sebuah bentuk ekspresi seni untuk seni yang memprioritaskan estetika dalam karya. Puisi-puisi yang ditulis berkutat pada pengalaman diri tanpa dipengaruhi adanya kepentingan-kepentingan di luar sastra. Beberapa puisi terlihat memiliki kecenderungan gaya ucap yang masih dipengaruhi karya penyair yang sudah mapan. Di sini saya tidak akan menjelaskan bahwa pengarang tidak menulis dari kekosongan; ia telah membaca sebelum menulis, sebagai gudang pengetahuan yang berasal dari pengalaman penulis sebelumnya dan mengilhaminya. Untuk itu, mari kita baca beberapa puisi dalam antologi ini.

Kerinduan Waktu

Rindu menawarkan sepi
Dan debur membawa anyir
Masa lalu di pantai kenangan

Desir angin pesisir
Mengombak bayangmu
Mengombaklah kau bersama masa lalu!

Di pantai hatiku
Aku masih menunggumu
Untuk sepi membawa bisu!

Yogyakarta, 24 Maret 2014

Puisi Adeng Reka Pramudya ini mengingatkan saya dengan puisi Chairil Anwar, “Senja di Pelabuhan Kecil”. Gaya, tema, gagasan dalam setiap bait memiliki kesamaan. Tentang “rindu”, tentang “masa lalu”, dan tentang “menunggu”. Tentu, dalam hal pengolahan gaya ucap, Chairil lebih jago dan jitu. Tapi, supaya lebih bijaksana saya tidak akan menjadikan karya si Pelopor Angkatan ’45 sebagai tolok ukur untuk menghakimi karya-karya penyair dalam antologi puisi ini.

Puisi lain di antara banyak puisi yang memperlihatkan keterpengaruhan kehadiran puisi yang sudah ada sebelumnya adalah puisi “Di Stasiun Tugu”.

Kembali kukumpulkan rindu
Lambaian tangan itu di stasiun tugu
Kereta segera membawamu

Kau tersenyum dalam janji
Menangis dalam kalbu
Terinjak dalam batin

Yogyakarta, 26 Mei 2014

Barangkali puisi Abdul Manan ini adalah jawaban dari puisi Acep Zamzam Noor yang berjudul “Setelah Mencintaimu”. Puisi-puisi Acep dikenal memiliki daya inpersonal tinggi. Puisinya mengandung keinginan membagi pengalaman yang personal menjadi pengalaman umum. Tidak mengherankan jika kemudian puisi Acep tersebut memberikan gagasan bagi penulis lain untuk memberikan respon terhadapnya. Bisa jadi ini keberhasilan Acep dalam membuat puisi —yang menurutnya dapat “menegakkan bulu kuduk”, tapi tidak menutup kemungkinan keberhasilan justru berada di pihak Abdul Manan dalam merespon.
***

Di antara problematika puisi-puisi penyair pemula dalam antologi puisi ini, kita perlu bersyukur ketika membaca puisi karya Melia Tri Pamungkas, Intan Sugestiningsih, Kartika Adhy Prabowo, Khusnul Khotimah, Sigit Pamungkas, dan beberapa nama lainnya yang berpotensi dalam menulis puisi. Dalam pergulatan kreativitas seni untuk seni, puisi-puisi yang ada dapat dikatakan sebagai puisi yang dalam hal pertukangannya dapat dieksekusi dengan baik. Gagasan yang akan disampaiakan dapat dikatakan sampai kepada pembacanya.

Aku

Aku adalah seorang penghuni pagi
Yang sedang merangkak tuk menggapai senja
Menunggu hilangnya syafaq merah
Lalu bahagia menikmati gelap
Atas nama malam

Yogyakarta, 3 September 2013

Intan Sugestiningsih berhasil memberi sugesti pada dirinya bahwa ia adalah “seorang penghuni pagi” yang harus hidup dan tahu pasti bahwa ia akan “merangkak” ke “senja” sebagaimana siklus perjalanan hari yang menggambarkan kehidupan. Eksistensi dalam realitas hidup manusia adalah hubungan antara kehidupan dan kematian yang diangankan “bahagia”. Ia ingin mengada dalam ketiadaannya.

Puisi “Serpihan” karya Kartika Adhy Prabowo adalah puisi yang cukup berhasil memainkan emosinya dengan pilihan kata yang pas dan mampu menyusunnya secara utuh. Saat “Hujan menampar malam/ Setangkai mawar gugur ke bumi” ia mau memungut “Kelopak-kelopak yang masih tersisa” lalu “Dirangkumnya/ Meski telah hancur”. Setelah memungut “serpih-serpih” atas persoalan-persoalan yang dilihat “Kembali langkah beranjak/ Meniti jejak-jejak” meskipun “Angin malam semakin kejam” dan “Sepotong bulan tua/ Tak tampak lagi sinarnya”. Dengan sangat dingin, hal-hal kecil sebagai serpihan setiap peristiwa yang ditemui dicatat dan dijadikan bekal perjalanan untuk terus maju. Demikianlah perspektif yang ditawarkan dalam puisi ini.

Khusnul Khotimah dalam puisinya yang berjudul “Tuhan” berhasil mendekonstruksi wacana eksistensi Tuhan sebagai penguasa. Puisi ini menarik, secara subjektif saya menyukai keliaran berpikirnya. Saya mengistilahkannya sebagai logika hidup kelelawar, semua serba terbalik. Imajinasi kita diajak masuk ke dalam sebuah rumah makan, di sana kita saksikan seseorang sedang “makan malam” lalu “berbincang sambil berkeluh-kesah” dengan Tuhan. Tuhan seperti kekasih. Hal itu diharapkan akan terjadi “Andai bertemu dengan Tuhan itu mudah”. Hal yang lebih menarik lagi adalah, logika kita mengenai Tuhan sebagai penguasa diruntuhkan oleh penyair dalam tiga baris terakhir puisi ini.


Bagaimana Tuhan sempat menemui umat
Bukankah Tuhan sibuk
Dan waktunya terlalu sedikit

Yogyakarta, 23 Mei 2014

Sementara yang lainnya berkutat dengan eksistensi dan puisi-puisi cinta, subjek dalam puisi Sigit Pamungkas mencoba menawarkan pengalamannya ketika kembali ke masa lalu dengan “Napak Tilas: Di Kasultanan Kacirebonan”. “Di tepian relung Kacirebonan” ia belajar “sejarah” dengan “aroma menyan, wangi kembang. Doa keagungan” sebagai simbol-simbol tradisi di masa lalu yang masih hidup saat ini. Asumsi yang dibangun dari puisi ini adalah perjuangan yang terjadi di masa lalu oleh “para prajurit gagah dan sakti” semestinya terus diperjuangkan agar tidak terjadi keterbelahan. Gagasan yang ditawarkan puisi ini berbeda dengan kebanyakan puisi yang lainnya. Penyair membawa dirinya kembali menjadi bagian sejarah, meskipun semua itu hanyalah fantasi yang muncul selepas menyaksikan sisa-sisa masa lalu di masa kini.
***

Dari beberapa wacana yang ada, terdapat asumsi bahwa antologi ini didominasi oleh puisi yang memiliki struktur kognitif seorang penyair sebagai ekspresi eksistensi diri, sedikit bersinggungan dengan religiusitas, dan sedikit mengulas realitas sosial. Puisi-puisi belum sepenuhnya lahir sebagai prinsip-prinsip yang kemudian membentuk dan mengorganisasikan praktik-praktik serta represantasi-representasi tanggapan dirinya sebagai hasil seni untuk seni. Perlu usaha yang sungguh-sungguh setidaknya sebagai upaya pencarian bentuk ucap demi pencapaian estetis sebuah karya.

Agaknya saya perlu mengulang sekali lagi, bahwa untuk menulis yang perlu dilakukan adalah membaca terlebih dahulu. Dengan membaca banyak puisi kita tentu akan mendapat kekayaan wawasan untuk menulis puisi. Puisi dalam antologi ini tergolong masih patuh dengan tradisi perpuisian Indonesia modern masa awal. Sementara saat ini banyak bertebaran puisi-puisi bergaya postruktural yang kuat dalam mengolah membolak-balikkan bahasa. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Puisi-puisi semacam itu nyaris tidak ditemukan dalam antologi ini. Bukan apa-apa, harapannya adalah terjadinya keberagaman eksplorasi, yang tidak menutup kemungkinan eksplorasi itu sampai pada tahap postruktural.

Dalam dari itu, saya menyatakan angkat topi untuk keberhasilan mahasiswa PBSI UAD khususnya kelas C dan D ini. Apa yang saya tuliskan ini sebenarnya tidak lebih berarti dibanding sebuah tanda titik yang ada di akhir setiap puisi yang teman-teman tuliskan. Ini semua tidak penting. Anggap saja apa yang saya tuliskan ini tidak pernah ada. Penyair memiliki kemerdekaan kreatif untuk mengolah bakatnya. Lebih dalam adalah bagaimana penyair mampu melihat, memahami, menguasai, dan mengendapkan latar belakang dirinya, agar permunculan kreatifitas sesuai dengan kemerdekaan manusiawinya sendiri. Hal ini menentukan hasil karya seorang penyair, disebabkan atau menyebabkan kondisi eksternalnya. Berterimakasihlah kepada Abdul Wachid B.S., sahabat, kakak, ayah, dan ‘musuh’ kita yang telah memperkenalkan dunia sunyi bernama puisi. Setidaknya, sampai saat ini kita pernah “berkenalan dengan puisi”.

Jangan pernah bercita-cita menjadi penyair maupun sastrawan, kecuali kita punya cukup waktu untuk terus membaca apa yang akan kita tuliskan!

Tabik…
Lembayung Coffee, 28 Agustus 2014

*) Latief S. Nugraha, lahir 6 September 1989 di Samigaluh, Kulon Progo, DIY. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Aktif di Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta. Puisi, cerpen, dan esainya dipublikasikan di sejumlah media massa dan sejumlah antologi bersama. Terlibat dalam beberapa penerbitan buku sastra di Yogyakarta bersama Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasyim. Saat ini sedang menyiapkan antologi puisi tunggalnya Menoreh Bukit Menoreh. Email: harjomartono89@gmail.com., Twitter: @_BukitMenoreh.

______________________
[1] UAD (IKIP MUhammadiyah) luput dari catatan tentang perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta dalam buku Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945-2000, yang disusun oleh Sri Widati, Tirto Suwondo, Herry Mardianto, terbitan Balai Bahasa Yogyakarta, 2008.

[2] Dr. Abdul Fadlil, M.T., Wakil Rektor III Bidang Pengembangan Mahasiswa dan Pemberdayaan Alumni, “Pola Pembinaan dan Prestasi Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan” dalam Buku Panduan Program Pengenalan Kampus Bagi Mahasiwa Baru Universitas Ahmad Dahlan. 2014. hlm. 7-8.

[3] Catatan Pembuka Seorang Sahabat “Puisi, Juga Penyair, Tak Bisa Mati”, dalam Dunia Semata Wayang karya Iman Budhi Santosa, 2005, hlm. ix.

https://www.facebook.com/notes/uade-rumah-penyair/dilarang-main-main-di-rumah-penyair-esai-latief-s-nugraha-catatan-penutup-rumah-/10152650371424383/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *