JALAN YANG LURUS


Taufiq Wr. Hidayat *

Apakah manusia—terutama yang beragama, membutuhkan “jalan yang lurus” dalam hidupnya? Sehingga ia mewajibkan jalan yang lurus itu sebagai ibadah, atau sesuatu yang sungguh vital baginya, bagi keimanannya. Tak hanya “jalan lurus” yang diajarkan agama-agama. Ada juga ajaran penting agama-agama itu, yakni “terang” atau “cahaya”. Di sana dijelaskan, bahwa manusia harus diberi terang atau cahaya dan ditunjukkan pada jalan yang lurus.

Di situ diterangkan, bahwa terang harus diberikan pada manusia. Karena manusia itu gelap. Maka penerangan adalah vital, supaya manusia dapat melihat jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu wajib, lantaran setelah manusia itu terang atau mengalami pencerahan, ia masih berada di jalan yang bengkok-bengkok atau berkelok-kelok. Dibimbinglah ia ke jalan yang lurus itu. Alangkah susahnya menjadi orang beriman, bisik kawan saya sambil kencing berdiri di sebuah warung kopi yang kumuh. Padahal cahaya sesungguhnya hanya merusak kehikmatan, bikin buyar renungan yang dibentuk oleh kesadaran. Segalanya tampak oleh mata, tetapi tak punya arti. Silau. Cahaya hanya menyalakan pengeras suara, telinga pecah. Seringkali di dalam terang, orang lupa dan terlena melihat benda-benda.

Di sisi lain, jalan yang lurus membuat orang terlena. Menurut seorang guru mengemudi, seorang pengemudi kerapkali tak waspada karena kenyamanan dalam melewati jalan yang lurus. Ia dapat mengalami “highway hipnosis”, yakni suatu kondisi yang membuat pengemudi memasuki tahap “trance” alias kekosongan dalam mengemudi. Sehingga gampang mengantuk dan didekap kebosanan, itu yang dalam dunia kemudi disebut “micro sleep”. Lantas melupakan keselamatan. Dan sangat berbahaya! Atau mengalami “tunnel vision”; fokus cuma satu arah yang melumpuhkan kesiap-siagaan. Tetapi pada jalan yang berkelok-kelok tajam, pengemudi mengaktifkan selalu kewaspadaan. Di jalan yang menikung-nikung itu, sesungguhnya mawas diri tumbuh untuk secara sadar menghadapi kenyataan.

Dalam karya WS. Rendra, “Orang-orang di Tikungan Jalan” (1954), kisah nasib manusia yang kalah menghadapi realitas, tampak begitu kelam tanpa harapan. Kekalahan manusia di bawah kaki modal yang bersekutu dengan kekuasaan, ditandai keterasingan. Ketakmujuran dari yang dilemahkan. Namun konsumen dengan daya beli yang kuat, tak juga bebas dari cengkeraman kemegahan. Benda-benda dan segala pesonanya yang menakjubkan, menjelma tontonan dan yang dipertontonkan. Hasrat memiliki merajalela. Orang pun teralienasi, lantaran ia tak punya daya mempernyatakan hasratnya. Guy Debord menyebutnya “spectacle”. Dalam “The Commodity as Spectacle”, ia mengurai, kapitalisasi modern merampas kebebasan manusia dalam menentukan pilihan terhadap produk. Spectacle atau dunia tontonan yang dibangun kekuasaan modal, bagai membalik takdir pada realitas, menyusun, dan memaparkan aneka benda “yang tampil”. “Yang tampil” itu menjadi wujud lain dari yang lazim, menjelma menakjubkan dan memesona. Pelbagai komoditas itu membentuk pola pikir khalayak supaya tak belaka mengonsumsi fungsi benda-benda produksi. Diciptakanlah manusia yang kecanduan merek, gaya, “you have to be looking at”. Perubahan dari “concept of being” ke hasrat memiliki, ke jelma penampilan. Kemewahan adalah prestise. Benda-benda tak lagi fungsi, tapi citra dan pamer. Sehingga definisi pada realitas dunia, cuma sederet citra sepele yang menggantikan realitas sebagai “iman konsumerisme” yang ampuh. Segenap citra sepele pada wujud komoditas yang menipu. Terciptalah audiens yang pasif, yang terhipnotis. Segala yang kalah itu, terjerembab di sebuah tikungan jalan pada sastra Rendra. Manusia-manusia gagal, korban, dan yang tak boleh punya harapan.

Pada tikungan jalan itu, waktu ingin dihentikan. Nasib sial berkumpul di sana, saling meratapi. Orang menyadari ketakberdayaannya. Tetapi tak kuasa merubah situasi. Di situ, di tiap tikungan itu, kemanusiaan sesungguhnya dapat terjaga, lantaran tak ada jalan yang selalu lurus. Jalan panjang kemanusiaan itu, membutuhkan tikungan untuk melewati segala yang sesungguhnya tak mudah. Harapan pada jalan yang lurus hanya mungkin bagi yang menghikmati betapa banyak jalan yang curam, berkelok-kelok, menikung dengan sangat tajam. Hanya orang yang mengabdi pada Tuhan—bagi orang beriman, yang berhak berharap “jalan lurus” setelah ia menyadari kekalahannya pada tikungan-tikungan jalan. Tanpa itu, yang ada hanyalah keterlenaan, kelalaian yang diajarkan pesona ketaksadaran. Membawanya pada marabahaya “jalan yang lurus” yang sejatinya menjebak seseorang pada kepatutan hanya buat dirinya sendiri.

Bagi Fred, manusia—untuk sebagian besar, dikuasai naluri-naluri yang tak punya tujuan lain selain kepuasan. Setelah itu, penyesalan panjang menjadi teror mencekam pada jiwanya. Sekali penyesalan, seolah umur manusia tak cukup menebusnya. Dunia bagai jiwa, atau jiwa bagai dunia; tersusun seperti batu-batu bata. Saat kepuasan naluri dilayani, batu-batu bata itu runtuh. Berserakan. Seperti dunia, jiwa mudah saja tertata semudah mengalami keruntuhan. Apa yang sebenarnya sering membuat manusia tergelincir adalah kepura-puraan, dan sikap meremehkan sesuatu. Kemiskinan akan memengaruhi pada salah satu dari dua hal; kekokohan atau keputus-asaan. Tapi kekayaan, pelan-pelan—atau cepat, membawa pada kecongkakan. Di titik itu, apakah pantas jika Tuhan itu ada? Memang Freud tak hidup di zaman nirkabel dan internet. Ia tak melihat betapa amat rapuhnya “batu-batu bata” dunia dalam tekanan informasi yang diselenggarakan untuk suatu kepentingan apa saja—bukan hanya benda-benda, bahkan Tuhan dan agama.

Tembokrejo, 2020

_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *