MENCATAT GERAK HIDUP SASTRA

Djoko Saryono *

Dinamika atau gerak bermakna bisa dijadikan ciri kehidupan dan perkembangan sastra yang sehat. Kita tahu, sastra Indonesia terus hidup-sehat dan berkembang penuh dinamika atau gerak bermakna. Pasalnya, dalam perjalanan kehidupan dan perkembangan itu pelbagai peristiwa, fenomena, dan problematika sastra silih berganti mengemuka di taman-sastra kita. Kadang bertahan lama, kadang biasa-biasa belaka. Kadang-kadang riuh-rendah semarak semisal polemik sastra kontekstual dan pascamodernisme dalam sastra, kadang-kadang gempar-sesaat untuk kemudian lenyap semisal isu sastra wangi dan puisi esai.

Kehidupan dan perkembangan sastra yang sehat memang harus disemaraki atau dipenuhi oleh puluhan atau ratusan peristiwa, fenomena, dan problematika sastra yang demikian bermakna. Peristiwa sastra Indonesia yang demikian bermakna tampak pada penerbitan-peluncuran kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan novel Indonesia yang tak pernah sepi. Demikian juga polemik realisme sosialis versus humanisme universal (LEKRA versus Manifes Kebudayaan), tanggung jawab sastra bagi masyarakat, sastra kontekstual, sastra pedalaman, puisi gelap, penganugerahan sastra tertentu, dan lain-lain telah menjadi peristiwa sastra Indonesia yang selalu kita ingat.

Fenomena ‘sastra wangi’, sastra Islam, dan sastra teenlit atau chicklit serta pengarang anak-anak yang banyak dibincangkan orang juga telah membuat sastra Indonesia berkembang. Juga problematika historiografi sastra Indonesia, krisis sejarah lokal sastra Indonesia, cyber-sastra, sastra koran, dan lain-lain menjadikan sastra Indonesia hidup penuh dinamika.

Sudah barang tentu, peristiwa, fenomena, dan problematika sastra Indonesia tersebut tidak boleh dibiarkan berlalu dan hilang begitu saja. Selalu kita lupakan dengan mudahnya. Tetapi, harus dicatat atau diawetkan secara seksama. Bahkan kalau perlu dikomentari atau dibahas dengan baik. Soalnya, pencatatan atau pengawetan itu menegaskan peradaban yang kita bangun.

Bagi banyak pihak, hal ini niscaya bakal memiliki banyak kegunaan pada masa-masa selanjutnya. Paling tidak, catatan-catatan atau bahasan-bahasan itu akan mencegah kita lupa – membuat kita selalu ingat – akan denyut hidup-dinamis sastra Indonesia. Kita pun bakal bisa menerawang atau memadang perjalanan hidup sastra Indonesia dengan lebih berpanorama.

Selain itu, catatan-catatan atau bahasan-bahasan itu juga bermanfaat sebagai bahan penyusunan historiografi sastra Indonesia. Kita tahu, sampai sekarang historiografi sastra Indonesia tidak utuh-lengkap (komprehensif), malah ‘compang-camping’ lantaran miskinnya data atau bahan-bahan tentang ratusan peristiwa, fenomena, dan problematika sastra Indonesia yang pernah terjadi.

Historiografi sastra Indonesia bisa komprehensif bila setiap peristiwa, fenomena, dan problematika sastra Indonesia bisa dicatat atau dibahas dengan seksama. Ini semua menunjukkan, tugas mencatat atau membahas pelbagai peristiwa, fenomena, dan problematika sastra sangat berarti bagi keberadaan sastra Indonesia.

Ringkas kata, bisa dikatakan, paling tidak catatan-catatan atau bahasan-bahasan peristiwa, fenomena, dan problematika sastra bisa memberikan mosaik-kasar kehidupan sastra Indonesia yang ternyata lumayan hiruk-pikuk atau memiliki gregret. Di samping itu, catatan atau bahasan itu dapat memperkaya pelbagai catatan atau bahasan tentang peristiwa, fenomena, dan problematika sastra Indonesia yang telah dikerjakan oleh berbagai pihak.

Dengan keadaan demikian, kehidupan dan perkembangan sastra Indonesia bisa terhindar dari serangan amnesia sejarah sastra, sesuatu yang umum terjadi di tempat kita. Ini berarti catatan atau bahasan ihwal pelbagai peristiwa, fenomena, dan problematika sastra Indonesia tersebut menjaga sastra Indonesia agar tidak mengidap amnesia sejarah sastranya sendiri.

Amnesia sejarah sastra Indonesia benar-benar diidap oleh kehidupan sastra Indonesia? Kita memang berharap tidak. Tetapi, berbagai pertanda menunjukkan betapa rentan sastra Indonesia diserang amnesia sejarah sastra. Sedikitnya catatan atau bahasan peristiwa, fenomena, dan problematika sastra Indonesia merupakan salah satu pertanda kuat. Peristiwa, fenomena, dan problematika sastra yang ada demikian banyak, namun catatan atau bahasan tentangnya hanya sedikit.

Tak pelak, sosok historiografi sastra Indonesia pun kurang komprehensif dan kurang kuat dalam detail. Malah bisa dikatakan ada kekosongan historiografi lokal atau regional sastra Indonesia. Ini hanya bisa diatasi bila kita rajin-tekun membuat catatan-catatan atau bahasan-bahasan tentang segala gerak-hidup dinamis sastra Indonesia.

#ndlemingmalam, CGK, 05/03/2020

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »