Esha Tegar Putra *
Padang Ekspres, 17/2/2019
Pada akhir bulan Desember 2018 editor Penerbit Mojok meminta saya membaca dan memberikan pandangan singkat mengenai draft novela Robby Julianda, dengan segera saya meng-iya-kan. Sebelum membaca draft novela tersebut, saya memang tertarik dengan beberapa cerita pendek karangan penulis dari Nagari Sungai Landia, Kabupaten Agam, yang lahir pada tahun 1991 itu.
Tak banyak memang Robby menyiarkan cerpen-cerpennya di media massa, tapi satu cerpen bertajuk “Pilihan Ganda dari Tuhan” diterbitkan Koran Tempo, 22 Desember 2017. Di cerpen tersebut, saya membaca pembukaan cerpennya dengan deskripsi lanskap cukup ketat. Juga mengenai suasana, bagaimana secara biologis tubuh manusia merespon suhu cuaca di sekitarnya dideskripsikan dengan baik. Narator dalam cerpennya terus mengajak pembaca, dengan sebutan “Anda”, untuk terus ikut sesak dalam keketatan deskripsi cerita.
Satu cerpen itu kemudian membuat saya mencari lebih lanjut tulisan-tulisannya dan bertemu dengan blog tempat ia menampilkan beberapa karyanya: cerpen, karya terjemahan, ulasan film, ulasan buku. Hampir semuanya ditulis dengan sangat pendek dan mengasyikkan. Dari cerpen “Pilihan Ganda dari Tuhan” dan beberapa tampilan karya tersebut saya menyadari bahwa Robby agaknya gemar mengintertekstualisasi bacaan, film-film yang ditontonnya, juga masik-musik didengarkan ke dalam tulisannya. Sebagaimana juga cerpen “Pilihan Ganda dari Tuhan” disebutkan pada bagian akhir bahwa cerpen tersebut merupakan pengembangan dari tulisan Eko Triono berjudul Cerita dalam Ulangan Harian Kita.
Kecendrungan Robby menggunakan model atau piranti intertekstual tersebut memang kerap hadir dalam karya sastra modern dengan asumsi bahwa satu karya dapat mengantarkan pembaca pada suasana atau peristiwa dalam karya lain. Interterteks dapat dikatakan jejaring antara satu karya (teks) dengan karya lain dan jejaring tersebut tidak harus antara satu karya dengan genre sama. Pola itu kerap hadir dalam karya-karya Robby, ia menggunakan hipogram atau dapat dimaknai dengan struktur prateks dan generator puitika berupa struktur film, musik, atau tokoh. Termasuk dalam karya terbaru Robby berupa novelet yang dikirimkan draftnya oleh editor penerbit Buku Mojok pada saya, model intertekstual tersebut dipertahankan, untuk memberikan kekuatan suasana dan karakter tokoh dalam cerita. Draft novelet yang kemudian dirilis Buku Mojok pada Januari 2019 dengan judul Omong Kosong yang Menyenangkan tersebut setidaknya menimbulkan keasyikan tersendiri bagi saya pada saat membaca—novelet ini karya kedua Robby setelah novel Menunggu Minggu Pagi diterbitkan Basabasi tahun 2018 lalu.
Salah satu keasyikan tersebut sifatnya barangkali sangat personal. Berhubungan dengan pembacaan terhadap regenerasi penulis dari Sumatera Barat. Setidaknya saya dapat merefleksikan kembali sebuah tulisan yang pernah saya siarkan di kolom ini dengan judul “Pengarang Sumatera Barat dan Beban Historis” (25/2/2018) merespon agenda Apresiasi, Kilas Balik, dan Diskusi Sastra Sumatera Barat pada tanggal 22 Febuari 2018. Dari novelet Omong Kosong yang Menyenangkan setidaknya saya membaca keluwesan Robby dalam bercerita tanpa terbebani dengan model-model naratif pengarang terdahulu dari Sumatera Barat. Secara sepintas, saya melihat adanya transisi kepengarangan, bagaimana perasaan untuk mengelaborasi kedekatan dengan lokalitas tidak melulu dengan menceritakan “yang lokal” secara utuh. Melainkan menggunakan “yang lokal” untuk mengevaluasi sekaligus mengelaborasikannya dengan model perkembangan mutakhir dalam dunia kepenulisan.
Dalam artikel tersebut saya menuliskan bahwa generasi pengarang dari Sumatera Barat hari ini dapat melihat lebih kritis. Di balik hubungan penting historiografi kesusastraan Indonesia dan pengarang dari Sumatera Barat, terdapat beban dan tanggungan, untuk terus mengelaborasi proses kepangarangan mereka secara personal. Romantisme dan beban historis selalu menjadi dua perspektif, menguntungkan atau malah sebaliknya. Jika tidak dapat menyiasati perihal tersebut akan membuat proses regenerasi menjadi stagnan dan tidak akan melahirkan kebaruan-kebaruan dalam kekaryaan mereka. Seremonial untuk terus merayakan nama-nama besar pengarang dengan karya-karya mereka mungkin tidak dapat terelakkan. Namun, proses untuk mencari bentuk-bentuk baru, pembacaan ulang dan mencari narasi-narasi alternatif, juga usaha untuk melakukan pembacaan sekaligus perbandingan terhadap kesusastraan Indonesia (dan dunia) hari ini patut untuk dilakukan.
Robby Enteng Bercerita “Omong Kosong”
Setidaknya dua kali draft Omong Kosong yang Menyenangkan saya baca sebelum menuliskan catatan sangat pendek untuk penerbit Buku Mojok. Kemudian saya membaca kembali hasil cetakan yang dikirimkan Buku Mojok dan membuat saya mempertegas kembali poin penting yang saya temukan dalam novelet tersebut. Poin yang sebenarnya sudah saya tuliskan dalam satu paragraf singkat dan kemudian diterakan oleh penerbit Buku Mojok pada bagian belakang sampul novelet tersebut.
Bahwa, dalam novelet Robby menunjukkan ketelatenannya menggarap cerita. Ia meyakinkan pembaca bahwa pertemuan tidak terduga (dan sebentar) seperti gerakan bandul nasib, berayun antara keberuntungan dan kesialan. Dan yang terpenting, sejauh Robby menggunakan piranti intertekstual sebagai strategi penceritaan, ia dengan penuh kesadaran tetap mencecah narasi geobudaya kepengarangannya: nama-nama arkhais, mitos pengusir jin, ulayat dalam perspektif adat dan pemerintahan, serta orang muda yang kemudian memilih untuk tinggal di kampung.
Sampul depan novelet tersebut digarap dengan menarik oleh ilustrator Buku Mojok dengan mengambil satu simbol sederhana namun penting dalam fragmen pertemuan tokoh dalam novelet tersebut, bernama Sal, dengan perempuan bernama Lani: sebuah kaleng sarden berwarna mereah bertulis “Sardines in Tomato Sauce” tempat Lani menyimpan abu bekas pembakaran kucing kesayangannya bernama Penny Lane—diambil dari judul lagu The Beatles.
Kembali pada perihal narasi geobudaya, hal yang tidak dapat saya elakkan ketika mulai mendekati novela karya Robby. Saya berusaha mencari bagaimana pengarang muda dari Sumatera Barat tersebut merespon isu-isu sosial lingkungan sekitarnya. Setidaknya, pada awal pembacaan saya berusaha mencari perbandingan tema penceritaan Robby dengan pengarang asal Sumatera Barat sebelumnya.
Model perbandingan tersebut setidaknya dapat menguji bagaimana pengarang tersebut berusaha mendekati atau melepaskan diri dari keterkaitan dan beban historiografinya dengan pengarang-pengarang sebelumnya. Meskipun model penceritaan Robby menjauh dari model penceritaan yang mengeksplorasi persoalan lokalitas, tapi sisipan konflik penting dan beberapa simbol dihadirkan sebagai upaya menegaskan intrumen penting yang dengan sadar terus ia jaga. Misal pada pemberian nama tokoh utama “Sal”, dan nama-nama lain yang sekilas dinarasikan dalam novelet, “Rustam”, “Malano”, “Anwar”, “Udin Pendek”. Nama-nama arkhaik yang kerap digunakan penulis-penulis Sumatera Barat dalam geobudaya Minangkabau.
Kisah dalam novelet Omong Kosong yang Menyenangkan pada dasarnya memang mengikuti pola hidup digemari anak-anak muda kota besar hari ini. Mengutip Nurul Hanafi, seorang penerjemah yang juga mengomentari novelet Robby, bahwa penceritaannya dipenuhi dengan tipikal dialog ala hipster. Tokoh Sal dalam ragkaian kisah penceritaan sekana berusaha terus mengeluhkan kehidupan “manusia normal” dalam lingkungannya. Mempertanyakan hal-hal yang terkadang bisa dianggap tidak penting.
Pertemuannya dengan tokoh-tokoh penunjang pengisahan cerita juga terkesan dibuat tidak terduga, dengan konflik tokoh utama yang jika dibaca sepintas terasa tidak memungkinkan. Pertemuaannya dengan Laurell, bule Selandia Baru, di sebuah konter ponsel di dalam mal, misalnya. Terkadang terasa tidak penting. Tapi dengan “pertemuan tidak penting” itu Robby berusaha mengurai konflik ceritanya, bahwa kehidupan ini tidak semuanya lempang, ada pertemuan tidak terduga dan tidak penting dengan seseorang yang terkadang memicu kita memaknai pertemuan lain dengan seseorang lain.
Pertemuan Sal dengan Laurell, bule yang tidak segan membicarakan hal pribadi, lalu tidak segan pula meminta kopi dan rokok, seakan dibuat menjadi pemicu kejadian ganjil atau kesialan selanjutnya merundung tokoh Sal: pesan dari kampung tentang tanah pekuburan orang tuanya yang akan dibongkar, sepeda motor tiba-tiba rusak, tiba-tiba memutuskan berhenti dari pekerjaan, memilih pulang kampung dengan travel dan di tengah jalan dipukul orang. Tapi rentetan kesialan tersebut mempertemukan Sal dengan Lani. Seorang perempuan yang barangkali hampir sama dengan dirinya dalam menjalani pola hidup. Cuek, memibikin enteng persoalan, dan tidak peduli dengan pandangan orang tentang dirinya.
Kisah singkat Sal dengan Lani, dialog-dialog mereka inilah yang disebut Nurul Hanafi dipenuhi tipikal dialog ala hipster. Tak jarang bernada keluhan atas tingkah laku orang di sekitar. Sehingga jika dituliskan secara berkepanjangan akan terasa membosankan, karena itu bukan hal baru lagi. Tapi untunglah di bagian akhir Sal berjumpa dengan Malano. Dia adalah tipikal kebanyak orang yang membumi, beda dengan Sal dan Lani. Keluhan Sal tentang hidup beda dengan keluhan kedua sosok hipster ini, sehingga mengingatkan Sal tentang mata masyarakat yang sebenarnya sudah mulai masuk menghantuinya dengan berbagai tntutan untuk menjadi manusia normal.
Selain Malano, saya kira sosok penting yang mempengaruhi laku dan gerak Sal adalah salah seorang kawannya yang tidak pernah muncul di dalam novelet tapi kerap disebut ketika dilanda persoalan: seseorang yang selalu ingin dipanggil Tom meski nama aslinya Rustam. Agaknya, sosok Tom memang dibuat sebagai penyeimbang kesadaran Sal pada lingkungan sekitarnya. Salah satu nasehat Tom muncul dalam narasi ketika Lani menceritakan bagaimana ia memutuskan untuk membawa Sal masuk ke rumahnya ketika ia menemukan Sal pingsan di sekitaran rumahnya. Saat Sal tersadar dan Lani menawarinya minum, ingatannya tentang nasehat Tom muncul, sebagaimana kutipan berikut:
Temannya, salah seorang yang selalu ingin dipanggil Tom meski namanya Rustam, pernah berkata, “Jika kau masih merasa haus atau lapar, artinya kau akan bertahan hidup sebab kau akan melakukan apa pun agar tidak selamanya merasa haus atau lapar.” Teringat ucapan Tom, sedikit banyaknya membuatnya lebih tenang. Ia tak lagi mencemaskan air yang sudah diminumnya berisi racun atau tidak. Minuman yang ditetesi racun hanya ada dalam film-film yang tayang tengah malam, pikirnya (hal. 10).
Potongan perkataan Tom, atau mungkin nasehat, muncul beberapa kali dalam narasi novelet, misal ketika Sal memasuki mal dan mendengar tentang diskon pakaian yang disiarkan seorang perempuan lewat pengeras suara: “Orang-orang sudah dibodohi. Oh, tidak, orang-orang sekarang mudah dibodohi.” Ia terkenang seruan seorang teman, seorang yang selalu ingin dipanggil Tom meski nama aslinya Rustam (hal. 26).
Potongan perkataan Tom lain beberapa kali muncul hingga akhir novelet lengkap dengan penegasan mengenai Tom, bahwa ia “seorang yang selalu ingin dipanggil Tom meski nama aslinya Rustam”. Tom bisa jadi adalah panutan tokoh Sal mengenai pola hidup yang disebut Nurul Hanafi dengan model hipster. Tom seakan menjadi sosok penyeimbang yang memberikan kesadaran pada Sal tentang kejadian-kejadian yang menimpanya dan membuat kesadarannya utuh mengenai lingkungan sekitarnya.
Omong Kosong yang Menyenangkan sebagaimana genre novelet ditulis Robby dengan baik dan lancar. Dengan pengisahan remeh-temeh kehidupan yang barangkali tidak asing dalam lingkungan muda-mudi hari ini. Dari remeh-temeh, atau dibahasakan sebagai “omong kosong” itu Robby membawa tokoh Sal membumi kembali pada kehidupan masyarakatnya. Tokoh Sal dibawa pulang kampung lewat konflik sederhana namun berarti yang sudah dihadirkan dari awal, mengenai pemerintah yang akan menggusur tanah ulayat, pandam-pekuburan keluarga di mana ibunya terkubur di sana. Tokoh Sal, pemuda hipster, dibawa pulang kampung untuk menyelesaikan persoalan tanah dengan pemerintah, yang atas nama pembangunan akan membuat makam ibunya dipindahkan dari ulayat keluarga. Tokoh Sal barangkali akan terus dibuat memilih tinggal di kampung, tanpa menghiraukan perkataan orang-orang kampung, mengenai orang berpendidikan (sarjana) yang memilih tinggal di kampung.
*) Penyair dan Peneliti bergiat di Ruang Kerja Budaya.
https://juliandarobby.wordpress.com/2019/02/17/perihal-omong-kosong-robby-julianda/