Maman S Mahayana *
Catatan Pengantar: Esai ini pernah dimuat Harian Kompas, 2 September 2011 (dimuat juga dalam buku Bermain Esai, Jakarta: Tarebooks, 2018, hlm 135—138). Ketika itu manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) masih semrawut. Rel ganda Jakarta-Surabaya belum dibangun. Begitu juga jalan tol di Pulau Jawa, baru sampai Cirebon. Jadi, problem mudik dalam tulisan ini sudah kurang relevan lagi. Meskipun demikian, konsep mudik di Indonesia berakar pada problem sosiologis hubungan kota—desa, dan tidak berkaitan dengan tradisi, sistem kepercayaan, dan mitos, sebagaimana yang dilakukan masyarakat China dan Korea.
***
Mengapa mudik menjelang Iedul Fitri (Lebaran) selalu memunculkan masalah? Lebaran sebagai simbol capaian kemenangan spiritual, berubah menjadi kelelahan fisik karena mudik dilakukan dengan ketidaknyamanan. Begitu pentingkah mudik menjelang Lebaran? Betulkah mudik berakar pada tradisi budaya masyarakat Indonesia?
Mudik secara etimologis bermakna: berlayar ke udik atau pergi ke hulu sungai. Kini, mengapa mudik dimaknai pulang kampung; pergi ke kampung halaman? Dalam beberapa kamus, seperti Kamus Indonesia Ketjik, E St Harahap (1943), Maleis Woordenboek, Van Ronkel (1946), Logat Ketjil Bahasa Indonesia, Poerwadarminta (1948) yang dikembangkan menjadi Kamus Umum Bahasa Indonesia (I: 1953, IV: 1966), mudik dimaknai: berlayar atau pergi ke udik (ke hulu sungai). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Mulia dan Hidding, 1957), entri mudik tak terdapat di sana. Artinya, kata itu dianggap tak penting. Artinya lagi, mudik belum menjadi fenomena sosial.
Pada tahun 1976 (Cet. V), Poerwadarminta menambahkan makna mudik (dari bahasa Betawi) sebagai pulang ke desa (ke dusun). Jadi, baru pada tahun 1976, mudik dikaitkan dengan pulang kampung dan Lebaran. Kamus-kamus lain yang terbit sesudah tahun 1976 memuat entri mudik dalam dua makna, lantaran merujuk pada kamus Poerwadarminta itu.
Sebelum tahun 1970-an, kata mudik belum dimaknai pulang ke kampung halaman. Bahkan, tidak ada kaitannya dengan Lebaran. Mudik dan Lebaran adalah dua peristiwa yang tidak ada hubungannya. Pertanyaannya: kapan mulanya mudik mengalami penyempitan makna menjadi pulang ke kampung halaman yang lalu berkaitan dengan Lebaran?
Metropolitan Jakarta
Fenomena mudik yang dikaitkan dengan Lebaran, terjadi pertengahan 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Di bawah Gubernur Ali Sadikin (1966—1977), Jakarta berhasil disulap menjadi kota metropolitan; ibukota negara yang melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air. Seketika Jakarta menjadi pusat orientasi sosial, budaya, politik, dan pemerintahan, dan menjelma kota impian. Dalam pandangan orang desa (udik), uang mudah didapat. Bekerja sebagai apa pun tidak menjadi soal. Bagi seniman, Jakarta –lewat Taman Ismail Marzuki—adalah alat legitimasi cap sebagai seniman nasional.
Jakarta sebagai kota impian juga dihembuskan melalui film-film nasional, lagu-lagu pop, media massa dan terutama TVRI, satu-satunya saluran televisi yang dapat menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Kota-kota besar lain, seperti Surabaya, Medan, Pontianak, atau Makassar, sekadar persinggahan ke Jakarta. Maka, Jakarta jadi tempat penampungan orang-orang udik. Boleh jadi, lebih dari 80 % para urbanis datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Dari jumlah itu, setengahnya masyarakat setengah terdidik atau sudah terdidik dengan selembar ijazah SLTA atau sarjana. Jadi, secara sosiologis, mereka adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang secara kultural, satu kakinya masih berada di kampong halaman, satu kakinya lagi enggan berada di Jakarta.
Secara psikologis, mereka yang belum bisa hidup mapan di Jakarta, perlu mendapat legitimasi sosial atas keberadaannya di Jakarta. Itulah sebabnya, kehadiran di kampung dibayangkan akan dapat memenuhi harapan itu. Lebaran adalah momentum untuk pamer. Problem psikologis diselimuti dimensi keagamaan, lalu memperoleh legitimasi sosiologis. Maka, Lebaran dianggap waktu yang tepat untuk pamer sekalian berziarah dan berkumpul dengan keluarga. Pulang kampung sebenarnya kamuflase dari semangat memperoleh legitimasi sosial. Itulah awal mula mudik jadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya. Sesungguhnya tradisi mudik (dari Jakarta ke udik) lebih disebabkan oleh problem sosial, akibat perbedaan mencolok kemajuan Jakarta dan kota-kota lain.
Begitulah, mudik Lebaran sesungguhnya tidak punya akar budaya, tetapi lebih disebabkan oleh problem sosial akibat sistem pemerintahan yang sentralistik dengan Jakarta sebagai pusat segalanya. Mengingat para pemudik sebagian besar belum bisa hidup mapan di Jakarta, maka mudik Lebaran menjadi momentum penting bagi mereka untuk melegitimasi keberadaannya di ibukota seolah-olah mereka telah mencapai sukses secara material—sosial.
Terlepas dari latar belakang munculnya fenomena mudik itu, masalah yang ditimbulkannya dari tahun ke tahun selalu sama: antrean panjang karcis kereta api; lonjakan ongkos transportasi; pesta para calo; kemacetan lalu lintas, dan korban kecelakaan. Lalu, selepas libur panjang Lebaran, kantor-kantor kosong lantaran para pegawainya menambah jatah libur, orang udik membawa lagi orang udik yang lain, dan masyarakat desa memelihara mimpi mereka untuk dapat menikmati gaya hidup kota. Jadi, Jakarta melalui para pemudik, tetap dipelihara citranya sebagai kota impian. Mudik Lebaran pada akhirnya lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
***
Mengingat mudik Lebaran lebih banyak mendatangkan berbagai masalah, perlu kiranya perubahan orientasi tentang konsep mudik dan Lebaran. Mudik sebagai pulang kampung untuk berkumpul dengan keluarga atau berziarah ke makam leluhur, dapat dilakukan kapan saja, dan tidak harus berkaitan dengan Lebaran. Sejalan dengan kemajuan kota-kota lain di Tanah Air sebagai dampak pemberlakukan otonomi daerah, penyediaan lapangan kerja di daerah akan mengurangi para pekerja migran datang ke Jakarta.
Selain itu, untuk mengurai arus mudik pada hari Lebaran, saat berkumpul dengan keluarga dan handai tolan, dapat dilakukan pada hari libur lain, seperti Natal dan tahun baru atau pada liburan sekolah. Dalam kaitan itu, sudah saatnya pemerintah lebih mementingkan pembangunan infrastruktur jangka panjang daripada pembangunan tambal-sulam seolah-olah hendak memanjakan para pemudik. Jika langkah itu coba dijalankan, sangat mungkin mudik dapat dilakukan dengan lebih nyaman dan bahagia.
***
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
One Reply to “AKAR SOSIOLOGIS MUDIK LEBARAN”