KEARIFAN YANG SEDERHANA


Taufiq Wr. Hidayat *

Semalam saya sowan ke rumah Kiai Sutara. Kebetulan bersama beberapa warga sekitar ndalem beliau. Selalu ramai kalau warga sekitar mengobrol sama Kiai Sutara, tawa terbahak-bahak terdengar renyah dan lepas. Kiai Sutara memang kiai yang gemar guyon dan mengeluarkan cerita-cerita lucu. Kopi, rokok, pisang dan singkong rebus. Bersila. Akrab dan mesra.

“Tanya, Kiai! Apakah orang yang beriman harus berani?” ujar salah satu warga yang malam itu kumpul jagongan di ndalem Kiai Sutara.

“Harus! Orang beriman harus berani. Tapi keberanian yang tidak tolol. Keberanian yang terukur matang. Dan ingat, orang beriman juga wajib takut. Kalau tidak punya rasa takut, imannya akan sulit dibedakan dengan kesombongan,” jawab Kiai Sutara. Asap rokok dari bibirnya mengepul tebal.

“Oh ngoten nggih, Kiai. Apakah kita, sebagai orang beriman, harus berani apa harus takut menghadapi wabah yang lagi ramai tahun ini, Kiai?” salah seorang warga mengajukan pertanyaan lagi.

“Hahaha!” Kiai Sutara tertawa. “Lihat-lihat orangnya. Yang beriman itu siapa dulu? Kalau santri saya ini, sudah takut saja,” lanjut Kiai Sutara sambil menunjuk saya. Saya menunduk takzim.

“Saya sudah biasa hidup susah. Sejak kecil sudah sering ditakut-takuti, sekarang ditakut-takuti lagi sama sosial media dan opini-opini sontoloyo, saya tidak heran. Bukan gak takut, takutnya sudah habis! Hahaha… Tapi mau berani juga sungkan sama petugas. Saya lebih takut lapar, anak-istri lapar, daripada sakit. Lebih berani bekerja daripada berdzikir di atas sajadah berjam-jam lamanya. Sebab sejak kecil, dzikiran itu diamalkan sambil berlari ngejar layangan dan mikul beras ke pasar,” pungkas Kiai Sutara.

Orang-orang tertawa.

“Baiknya orang beriman itu gimana, Kiai?” Salah seorang warga yang lain bertanya lagi.

“Panjang penjelasannya. Tapi yang jelas, gejala orang beriman itu gigih. Gak loyo. Gak cengeng alias lebay. Dan bukan dari golongan sontoloyo! Pantang menyerah, karena baginya tak ada yang tak mungkin selain Tuhan. Hanya Tuhan yang maha mungkin sekaligus maha tidak mungkin,” ujar Kiai Sutara. Asap rokok, kopi pahit, dan lagu dangdut.

Kiai Sutara menyandar di kursinya, kepalanya mengikuti irama lagu dangdut lama Elvi Sukaesih: “kubawa/selalu kubawa/namamu di dalam hatiku/ke mana saja kumelangkah//Tak sehari pun berlalu tanpa bayanganmu/tak sedetik pun berlalu tanpa dirimu…”. Uniknya, setelah dangdut, beliau mengganti ke musik Yngwie Malmsteen berjudul “Prisoner of Your Love”. Kemudian berpindah pada lagu “Sweetest Love”.

“Dengar, santri. Ini lagu dinyanyikan seorang bersuara mezzo soprano, Katherine Jenkins namanya. Nada musik yang dimainkan Yngwie dalam “Prisoner of Your Love” dan “Sweetest Love” diambil dari “Air on a G String”nya Johann Sebastian Bach. Lirik “Sweetest Love” adalah puisi penyair Skotlandia, Herbert J.C. Grierson, dalam “Metaphysical Lyric and Poems of the 17th”. Puisi Grierson yang dinyanyikan Jenkins itu, kayak bait-bait puisi yang menemukan keindahan dalam muram, karya Abu al-‘Ala al-Ma’arri, seorang penyair dari Ma’arri al-Nu’man, Siria Utara, pada 1057,” ujar Kiai Sutara menjelaskan musik yang diputarnya. Karena semua dhawuh beliau saya rekam, maka saya bisa menuliskan kembali rekaman dhawuh beliau di sini.
***

“Tapi ada sejumlah orang yang mencari dan bertemu Tuhan dengan tata cara tertentu. Menurut Kiai bagaimana?”

“Ya gak apa-apa! Mau diapain? Biarin saja. Cuma kalau mencari Tuhan susahnya minta ampun kayak gitu, terus kalau sudah ketemu Tuhan, kamu mau apa? Masak susah-susah ketemu Tuhan cuma minta rokok dan mendapatkan rahasia kehidupan? Barangkali bukan Tuhan yang perlu kalian ditemui, tapi motivator!”

Orang-orang tertawa. Kiai Sutara terkekeh-kekeh.

“Bagi orang beriman, wajib mencari Tuhan, tapi kalau ketemu Tuhan, maka itu bukan Tuhan!” lanjut Kiai Sutara.

“Lho terus siapa, Kiai?” Kali ini saya yang ikut tanya.

“Jangan-jangan hantu!” Kiai Sutara tertawa. Asap rokoknya mengepul semakin tebal. Namun tenang. Dan mengasikkan.

“Bisa dijelaskan lebih jelas, Kiai,” desak salah seorang di antara kami.

“Kalau kamu mencari Tuhan, lalu ketemu Tuhan, itu bohong. Tapi kalau kamu mencari Tuhan, lalu kamu ketemu dirimu sendiri yang rapuh, tolol, dan lemah, ketemu nilai kemanusiaanmu sebagai manusia, pada penderitaan dan kebahagiaan, kerendahan hati dan sikap menghargai sesamamu, itulah kejujuran dan kearifan. Jauh lebih berharga daripada cuma klaim-klaim gombal dan ucapan-ucapan!”

“Sendiko, Kiai.” Hampir bersamaan kami mengiyakan dhawuh Kiai Sutara.

“Tuhan maha ketemu, juga maha tidak ketemu. Tuhan wajib hadir, juga wajib tidak hadir. Tak terjangkau. Yang ahad. Itulah “huwal-awwalu wal-?khiru wadh-dh?hiru wal-b??hin, wa huwa bikulli syai`in ‘al?m”. Dialah awal dan akhir, zahir dan batin, Dia maha tahu segala sesuatu. Hadir dan tak hadir, ada dan tak ada, semua itu tak dapat menjangkau-Nya. Itu kan bahasa kalian. Jadi kalau Tuhan ketemu secara harfiah, itu bohong. Kok bisa makhluk yang terbatas melihat dan menjumpai yang tak terjelaskan bahasa? Kalau Tuhan gak ketemu, juga bohong. Lha wong setetes hujan ke bumi, dengan segala keseimbangan dan perhitungan kepastian ilmu itu pertanda Tuhan, kok dibilang gak katemu? Mumet endasmu!”

“Orang yang gak percaya Tuhan itu tolol, bagaimana mungkin dia menolak sesuatu yang belum diketahui. Belum tahu Tuhan kok menolak Tuhan? Bagaimana bisa menolak sesuatu yang jelas-jelas diyakini tidak ada? Ateisme itu cuma gerakan sosial, dan goblok kalau dihadap-hadapkan pada nilai keimanan!”

Kiai Sutara terpingkal-pingkal. Warga sekitar yang mengikuti bincang santai itu juga tertawa. Saya pun tertawa.

“Tapi tunggu dulu! Jangan senang-senang kalian. Kalian yang percaya pada Tuhan, bisa jadi juga tolol!” cetus Kiai Sutara.

“Kok bisa, Kiai?” desak kami hampir bersamaan.

“Kalian sebenarnya, jujur saja sudah, gak benar-benar tahu Tuhan. Tapi kenapa kalian sok tahu Tuhan? Kalian klaim-klaim Tuhan sedang marah, sedang murka, sedang menguji. Memang kalian tahu dari mana kalau Tuhan marah dan murka atau menguji kalian? Kalau kamu mengaku-ngaku tahu Tuhan, lalu kamu klaim Tuhan menurut kemauanmu sendiri, sehingga tak mencapai kemanusiaan, apa bedanya kamu sama Fir’aun yang juga mengaku-ngaku Tuhan itu? Nah kalian yang ngaku percaya Tuhan, tapi malah ke mana-mana bilang sok tahu maunya Tuhan, bahkan mengaku tahu posisi Tuhan segala, kayak keponakan Tuhan saja kalian!” ujar Kiai Sutara.

Kami tertawa. Perbincangan yang mengasikkan. Di surau terdengar suara orang mengaji ayat suci. Pelan. Tenang. Dan mengalirkan jiwa.

“Sekarang soal puasa. Puasa yang baik itu gimana toh, Kiai?” Salah satu warga yang malam itu di teras rumah Kiai Sutara bertanya.

“Gampang pengertiannya. Tapi yang susah itu mengerjakannya. Laku. Dan perbuatan. Puasa itu pengendalian diri. Begini! Misalnya saya sanggup melakukan balas dendam, tapi saya memaafkan, itu puasa yang baik. Saya dapat berbahagia sendiri, tapi saya berbagi kebahagiaan dengan yang lain, itu sejatinya puasa yang baik. Puasa ialah perilaku Tuhan. Tuhan menahan diri pada dosa-dosa manusia. Sehingga manusia berpeluang memperbaiki dirinya sendiri. Puasa itu pengendalian diri yang berakibat pada pembebasan kemanusiaan. Agar terjaga lahir-batin ketakwaan, yang hal itu dibuktikan dengan kearifan kemanusiaan merasakan dan mengentaskan penderitaan. Semoga Tuhan berkenan, kekal dalam lezatnya keimanan yang ditegakkan dengan kearifan kemanusiaan. Itulah maksudnya “wa an tashumu khoirul lakum in kuntum ta’lamun”. Dan ilmu hanya disebut ilmu, jika ia membawa pada kearifan dan kebijaksanaan. Kalau puasa kita tidak belajar berjalan ke arah kearifan ketuhanan yang meniscayakan pada kearifan kemanusiaan itu, maka berapa ribu kali Ramadhan pun, akan cuma perayaan dan ritual yang tak bermakna. Sederhana saja toh?” Kiai Sutara menutup dhawuhnya dengan menyalakan sebatang rokok. Lalu mengepulkan asapnya yang tebal ke udara dengan tenang, tapi tegas dan sesuai kaidah dalam ilmu fisika.

Tembokrejo, 2020

_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »