SASTRA TANPA KAIDAH?


Mashuri *

Saya tidak terkejut ketika Ki Ageng SDD, dalam sebuah tanggapan di medsosnya, menyatakan bahwa tidak ada kaidah dalam sastra. Hal itu karena keterkejutan saya pada sebuah pernyataan Ki Ageng SDD, yang selanjutnya disebut SDD saja, sudah pernah terjadi, sekitar 13 tahun lalu. Oleh karena itu, di tengah recovery diri, sebagai penggembira sastra dari pelosok Indonesia nun jauh dari Ibukota, saya mencoba membuat semacam catatan ngablak dengan bertumpu pada othak-athik gathuk—yang siapa tahu, dapat menambah ruwet situasi dan kondisi. Ups!

Pada awal tahun 2007, saya bersua SDD dalam sebuah ruang kelas pembekalan sastra di Pusat Bahasa, kini Badan Bahasa. SDD berbicara tentang sastra modern, sedangkan beberapa narasumber lainnya berbicara tentang sastra yang lain, mulai tradisi lisan hingga filologi. Pada saat itu, SDD memaparkan tentang ‘batas’ yang disebut sastra dan tidak disebut sastra dalam jagat sastra modern, tentu saja juga postmodern, tapi secara eksplisit. SDD sempat nyeletuk bahwa terdapat kesamaan antara sastra dan sejarah. Karena saya menganggap ujarannya itu agak nyeleneh, dan saat itu saya masih muda sehingga suka bertanya dan ngeyel, akhirnya saya pun ngaceng, eh ngacung, alias angkat jari telunjuk.

“Maaf! Menurut Kuntowijoyo, ada beda yang tegas antara sastra dan sejarah. Tapi menurut jenengan kok begitu,” tanya saya, sambil menyitir sebuah tulisan Ki Ageng Kuntowijoyo yang menjelaskan perbedaan karya sastra dan karya sejarah.
“Itu kan menurut Pak Kuntowijoyo, yang sastrawan dan sejarawan. Aslinya sama saja, terutama dalam hal narasi dan bla bla bla,” tuturnya, sambil terkekeh.

Modar!

Sungguh, saya sempat terkejut waktu itu. Untunglah karena saya penggemar film silat, kung fu dan ninja, saya dapat meredam keterkejutan saya. Pada akhirnya, saya memahami ujarannya seperti melihat pergerakan atau aksi ninja kelas wahid.

Oleh karena itu, kali ini, saya pun hanya tersenyum sendiri begitu melihat pernyataan SDD yang bikin gerah dan heboh beberapa pihak. Saya mencoba untuk memahaminya lewat beberapa hal, yang tentu saja salah satunya adalah dari sudut pandang orang yang suka film ninja. Beberapa hal ini merupakan spekulasi, karena yang paling tahu tentang ketepatan dan kebenaran wacana tersebut adalah SDD sendiri, dan tentu saja Tuhan. Namun, alangkah tidak senonohnya saya, ketika saya membawa-bawa nama Tuhan dalam spekulasi asolole ini.

Pertama. Dalam ranah sastra, ada sisi sastra sebagai sebuah disiplin keilmuan, yang di situ diperlukan seperangkat hal-ihwal teori, metodologi, dan lain sebagainya dalam mendekati sastra. Kaidah-kaidahnya jelas. Orang-orang yang menyuntukinya biasanya dilabeli sarjana sastra atau ilmuwan sastra. Ada pula sastra sebagai ranah kreatif. Dalam hal ini, takdir sastra adalah sebagai sebuah karya seni atau wilayah penciptaan. Yang menyuntukinya biasa disebut dengan sastrawan, penyair, prosais, novelis, dramawan, esais, cerpenis, atau ninja. Ups! Pada sisi ini, kaidah-kaidahnya pun jelas.

Selama ini, pengenalan dunia kesusastraan di Indonesia, terutama dalam ranah pendidikan, ada kejumbuhan dua sisi tersebut. Dengan kata lain, bila ada orang ingin belajar menulis, yang ditekankan adalah mengerti, memahami dan menerapkan kaidah ‘ilmu’ sastra. Mungkin saja SDD mencoba memberikan sebuah kejutan bagi si penanya dengan mengatakan bahwa dalam sastra itu tidak ada kaidah, karena pemahaman dunia penulisan dalam ranah tersebut ‘terlanjur’ selalu menyaran pada kaidah ‘strukturlisme’ yang disederhanakan menjadi unsur intrinsik dan ekstrinsik, dan itu sangat membebani pemula dalam usaha untuk mulai menulis. Bisa jadi, maksud SDD adalah sebagaimana saran seorang sastrawan lain, yang saya lupa namanya, bahwa yang dibutuhkan dalam menulis adalah menulis, menulis, menulis.

Kedua. Jargon Mengarang itu Gampang, yang dipopulerkan Arswendo Atmowiloto masih belum begitu mengena. Pasalnya, ketika membaca bukunya, jargon itu ternyata omong kosong, karena pada dasarnya mengarang itu tidak segampang ngupil. Alhasil, sebagai sesepuh, SDD sedang memberikan semacam dorongan kepada calon pengarang yang ‘tenaga’-nya setara dengan jargon mengarang itu gampang.

Ketiga. Mungkin ungkapan SDD itu sebentuk sathahat atau kata-kata ekstase yang keluar dari bibir seseorang yang sudah mencapai tingkatan spiritualitas sundul langit. Tentu saja, dalam hal ini adalah maqam dalam dunia kepenulisan. Repotnya, bagi kalangan awam yang masih belajar merangkai kata, atau membaca alif ba ta dalam dunia pengajian, yang tentu belum cukup ilmu dan iman, sehingga membuat mereka kalang-kabut. Mungkin ungkapan itu seperti sathahat Al Hallaj di Timur Tengah atau Syekh Sitti Jenar di Indonesia. Ehm.

Keempat. Ungkapan ini menunjukkan level SDD dalam dunia persuratan, alias penulisan sastra. Analogi saya kembali kepada dunia persilatan karena saya suka film kungfu, silat, atau ninja. Kalau dalam dunia persilatan, SDD itu termasuk mahaguru alias pendekar tingkat tinggi, yang tidak lagi perlu memperagakan jurus dasar, menengah, gabungan, atau pamungkas untuk menunjukan diri dalam menghadapi musuh. Bahkan, untuk level seperti ini, mungkin hanya dengan mengedipkan mata atau bersin saja, ia seakan-akan sudah merangkum jurus-jurus itu, melontarkan tenaga sakti, dan membuat musuh terkapar dan muntah darah.

Kelima. Disengaja. Mungkin SDD sedang bermain-main dalam ruang perdebatan hakekat sastra. Siapapun mengerti, batas-batas sastra kini sudah mulai bergeser. Pergeseran itu belum mendapat koordinatnya yang tepat, sehingga perlu dimunculkan sebuah ‘ujaran’ yang memicu agar pergeseran itu diperbincangkan dan mendapatkan kejelasannya. Begitu pula ihwal pergeseran posisi pengarang. Bagi kalangan romantik, tentu ungkapan tersebut seakan-akan kekanak-kanakan dan ngawur.

Keenam. Bisa pula SDD mengangkat kembali ‘senjakala sastra’ yang sempat mencuat. Apalagi kini, studi sastra di beberapa perguruan tinggi mulai berubah menjadi studi budaya dan percepatan perkembangan media membuat dunia sastra perlu mawas diri dan mempertanyakan kembali bentuk dan posisinya yang selama ini terlanjur diyakini sebagai ‘kepastian’ dan tidak dapat diganggu gugat.

Ketujuh…

Hmmm. Apa lagi ya? Saya mau mikir dulu, seperti saran Cak Lontong. Gituh ajah. Ini mau rebahan lagi.

On Sidokepung, 2020
Ilustrasi njambret Google.

_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.

One Reply to “SASTRA TANPA KAIDAH?”

  1. Hehe …..
    Ketujuh, SDD karena maqamah-nya sudah “makrifat sastra”, maka sudah malas berdebat hal ikhwal maqamah “syariat sastra”. (Salam “Banglades” dari Yogya, Mas….).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *