Berangkat dari pernyataan Huub de Jonge dalam Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi (Yogyakarta: LKiS, 2011:9), “petani dan nelayan Madura tinggal terpencar-pencar di Tanean Lanjeng, kompleks pemukiman keluarga berbentuk persegi panjang yang dimiliki pihak perempuan secara turun-temurun.”
Kekuasaan perempuan Madura bukan saja di wilayah internal pulau Madura melainkan juga lintas pulau, salah satunya di lingkaran istana keraton Jawa. Tentu saja walau harus menanggung segala konsekuensi politisnya.
Merle Ricklef dalam Soul Catcher: Java’s Fiery Prince Mangkunagara I, 1726-95 (Singapore: NUS Press, 2018:225) mengatakan:
“Pakubuawana III ingin memimpin sendiri kekuasaannya, sehingga, ia memutuskan membuang istrinya yang sangat berkuasa itu, yakni saudari tiri Panembahan Madura Cakraningrat V. Kemungkinan keterlibatan Madura dalam urusan orang Jawa tidak disukai oleh siapapun, sehingga tak sedikit pun ada penyesalan Susuhunan menceraikan istrinya itu bulan Agustus 1762. Susuhunan menuduh istrinya melakukan banyak perzinahan dan rupanya nyaris mau membunuhnya saat itu juga ketika si istri menuntut perempuan lain juga dibunuh. Saat itulah hubungan kekeluargaan keraton Surakarta-Madura ditentukan. Ada banyak kerumitan untuk memutuskan apa yang layak dijatuhkan untuk si tuan ratu ini. Sang Ratu ini pun kemudian dinikahkan dengan Gubernur Kudus dan mati di sana tahun 1788, hidup lebih lama dari mantan suaminya kisaran 6 minggu.”
Diejek dan difitnah oleh Raja Jawa, bagi perempuan Madura, tidak masalah. Perempuan terhormat tetap terhormat, dan Gubernur Kudus yang terhormat itu tahu mana yang benar dan mana yang fitnah, sehingga ia menerima dengan lapang dada untuk mempersunting Ratu dari Madura itu. Selain itu, Ratu Madura itu juga memang sudah paham sejarah masa silam.
Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia, C. 1300 to the Present (Bloomington: Indiana University Press, 1981: 79) menceritakan, “pada tahun 1682, komandan garnisun VOC melaporkan bahwa tentara-tentara VOC memperkosa perempuan-perempuan Jawa di rumah-rumah mereka.”
Sampai di sini, saya ingin katakan, keagungan dan kebesaran ras Madura tidak untuk dibesar-besarkan. Tidak pula untuk diremehkan dan dilecehkan. Tetapi, ini soal sejarah kebesaran ras Madura di hadapan Jawa, yang harus disampaikan apa adanya. Tanpa perlu dikurangi, tanpa perlu ditambahi.
Joshua Eliot dalam Indonesia, Malaysia and Singapore Handbook (New York: Trand & Travel Publication, 1994: 658) mengatakan, “sebelum Abad 17, Madura adalah miniatur Jawa. Banyak penguasa keraton yang fokus mengatur urusan ekonomi lokal, dan pada saat yang sama juga urusan spiritual, kebudayaan, dan kesenian di pulau Madura ini. Walaupun hari ini Madura diakui sebagai wilayah Muslim di Indonesia yang paling bersemangat, manusia pulau ini belum masuk Islam hingga abad 16. Ketika Tomé Pires mengunjungi Madura tahun 1512, ia masih Hindu, dan tradisi lokal masih bertahan.”
Tentu harus digaris bawahi dan jadi penekanan utama: Ras Madura tidak ada kebencian pada Jawa. Penaklukan Madura atas Plered Mataram adalah bentuk perlawanan Madura atas kolonialisme. Bukan penaklukan Madura atas Jawa. Madura tidak punya kehendak untuk berkuasa di Jawa sejak awal pertama kali mengatur pendirian Majapahit.
Karena sejak awal, musuh Madura bukan orang Jawa, tetapi siapa saja yang menggadaikan kehormatan dan keagungan Nusantara kepada bangsa Asing. Madura “Face-to-Face” langsung dengan bangsa Asing. Termasuk dengan pasukan Kubilai Khan.
Kenapa Madura terlambat masuk Islam, seperti ucapan Joshua Eliot, hal itu karena tawar-menawar antara “yang-lama” dan “yang-baru” harus dimatangkan dan tidak boleh gegabah agar bertahan ribuan tahun. Sebab itulah, setelah Jawa remuk redam, musuh dan benteng kebudayaan terakhir yang harus dihancurkan baik oleh VOC maupun Kolonial Belanda adalah kebudayaan Madura!
Stephen C. Headley dalam From Cosmogony to Exorcism in a Javavese Genesis: The Spilt Seed (Oxford: Oxford University Press, 2004: 212) mengatakan:
“dengan mengikis habis kekuasaan raja dan wilayah kekuasaannya, VOC maupun administrasi kolonial Belanda secara bertahap juga mengurangi kepercayaan atas klaim-klaim monarki atas pengetahun yang sangat berharga. Bagi Madura, Glenn Smith (1998) membuktikan, betapa sangat bermasalah evolusi geografi spiritual dalam situasi kekuasaan raja yang merosot. Orang-orang Madura memiliki tradisi panjang dalam menjadikan kuburan-kuburan keramat sebagai titik poin muara bagi ibadah individual, identitas kultural, solidaritas lokal, interaksi sosial, dan keuntungan finansial/uang. Ketika kuburan-keburuan orang suci dan keturunan raja ini diambil alih oleh Islam, mengganti praktik yang lebih ortodok demi keyakinan-keyakinan lama di teritori-teritori spiritual, maka perempuan-perempuan petani Madura ditinggal di belakang untuk mengurusi makam-makam yang di hutan.”
Sampai di sini ingin saya simpulkan, karena waktu sudah Subuh dan waktunya saya tidur. Yaitu: jangan main-main dengan orang Madura! Kehormatan bangsa dan negara seharga nyawa! Jika kau datang ke Indonesia membawa kebaruan sebagai budak-budak asing untuk mengacaukan tatanan kosmologis Nusantara ini, kau harus hadapi Madura lebih dulu!
Saya bukan tidak paham. Kau masuk diam-diam ke Madura, menghancurkan generasi muda Madura, kau tawari mereka narkoba, kau bikin mereka lupa sejarah. Saya bukan tidak tahu, jaringanmu dari Surakarta, dan kau obrak-abrik budaya Madura dengan segala alasanmu itu. Padahal kau tak sadar, semua caramu itu sudah pernah ditempuh kaum Kolonial Belanda dan VOC!!!
***
26 Juni 2020, Yogyakarta.
Keterangan foto: Perempuan Madura, dari boombastis.com
*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta’allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy’ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.