MENELUSURI SEJARAH PERMULAAN KEKRISTENAN DI JAWA


Anton Wahyudi *

“MEREKA-MEREKA yang tidak tahu sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya!”

Satu ungkapan atau pernyataan fenomenal Edmund Burke sang filsuf pengusung paham konservatif liberal Abad ke-18 ini agaknya menarik untuk kita renungkan, kita telaah, atau kita maknai bersama. Dan, tentunya, kita secara personal bisa memaknainya baik secara sempit, secara sederhana, atau bahkan secara luas —seluas imajinasi yang kita punya.

Selain Burke yang notabene–nya dianggap sebagai seorang filsuf dan ahli pidato asal Irlandia, di Indonesia sendiri tentunya kita mengenal sosok Presiden Soekarno. Sosok nasionalis yang dikenal masyarakat Indonesia sebagai sang proklamator dan ahli dalam berpidato atau berorasi. Sejarah mencatat bahwa Soekarno pernah memberikan petuah —semacam pesan tersirat maupun tersurat pada saat berpidato di hadapan jutaan rakyatnya. “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” katanya, dengan lantang. Dan, petuah ini menariknya sampai sekarang masih sering diucapkan oleh banyak orang, terkhususnya ‘mereka-mereka’ yang dianggap peduli atau menghargai tentang sejarah. Menjadi petuah yang kanon atau abadi.

Oleh karena, menelusuri atau mempelajari tentang sejarah kita bisa mendapatkan banyak manfaatnya. Salah satu manfaat paling utama adalah sejarah bisa memberikan manfaat sebagai edukasi, lebih khususnya bisa memberikan kearifan atau kebijaksanaan bagi mereka-mereka yang mau mempelajarinya. Seperti layaknya ungkapan klasik yang pastinya selalu terngiang-iang di benak kita, “Belajarlah dari sejarah, oleh karena sejarah bisa ‘mengajarkan’ sesuatu kepada kita!”

Saya sengaja memberikan tanda petik tunggal pada kata ‘mengajarkan’, sebagai aksentuasi, penekanan, atau penitikberatan pada sebuah kata. Mengajarkan dalam arti sederhana bisa memberi pelajaran, bisa membimbing, mengemong, menuntun, mengarahakan, dan lain sebagainya.

Berbicara tentang sejarah dalam kaitannya dengan sastra pastinya dari dulu hingga sekarang masih menarik untuk dibahas atau diobrolkan. Walaupun, terkadang menjadi persoalan panjang dan susah untuk dipecahkan, alias menuai pro dan kontra di dalamnya. Ulasan sederhana ini hanya sekedar menjembatani atau memberi titik temu pembaca dalam memahami kaitannya antara sejarah dan sastra, lebih khususnya realitas sejarah yang terrepresentasikan dalam sastra.
***

Tentang Mazmur Dari Timur dan Sisi Menariknya

Mazmur Dari Timur adalah buku antologi. Bisa saya katakan semacam kumpulan karangan, kompilasi, atau bunga rampai. Sebuah antologi puisi yang berisi mozaik-mozaik sejarah kekristenan Jawa mula-mula di Tanah Jawa, lebih khususnya di Jawa Timur pada abad 17 dan 18-an. Sebuah buku antologi puisi tunggal yang ditulis oleh Aditya Ardi Nugroho, salah satu penyair muda asal Jombang yang pernah memenangkan Green Literary Award pada tahun 2015.

Beberapa karya puisinya dialihbahasakan dan diterbitkan oleh ILIC Zine Berlin, Jerman. Buku pamungkas yang ditulis sebelumnya berjudul “Mobilisasi Warung Kopi”, terbit tahun 2011. Sebuah buku antologi puisi yang juga dibuat melalui riset panjang dalam memahami percakapan-percakapan atau obrolan umum di tiap-tiap warung kopi.

Aditya Ardi Nugroho adalah salah seorang kristiani, lelaki paruh baya pecinta Bibel, dan kearifan lokal. Seorang penyair muda asal Jombang yang berhasil mengelaborasi microhistory, khasanah Bibel, dan kearifan lokal —lebih khususnya di Kota Santri atau Kota Pesantren (Kabupaten Jombang). Uniknya, dari hasil elaborasi ini Aditya mengartikulasikannya ke dalam sajak-sajak atau puisi-puisi dengan konsep sajak yang diberi nama Sajak-Sajak Tiga Untai. Artinya, di dalam buku ini hampir secara keseluruhan judul puisi yang ditulisnya hanya terdiri atau berisi tiga baris atau tiga larik saja, walaupun juga ada, sebagian atau beberapa, yang isinya lebih dari tiga untai atau lebih dari tiga larik. Penyair membuat sebuah konsep tulisan sajak-sajak atau puisi-puisi dengan memberinya nama Sajak-Sajak Tiga Untai. Sebuah konsep dari hasil kontemplasi objektif dalam merepresentasikan Trinitas dalam Teologi Kristen.

Buku ini adalah buku pamungkas kedua Aditya yang diterbitkan Penerbit Pustaka Ilalang Lamongan. Buku yang dibuat atau ditulis lama oleh karena ada proses riset yang panjang yang dilalui penyair dalam perjalanan menulisnya. Sebuah buku kumpulan puisi yang bisa juga dikatakan sebagai karya manuskrip. Manuskrip! Manuskrip; sebuah sahifah, sebuah dokumen penting, atau sebuah naskah yang tentunya bisa berguna dan bermanfaat bagi para pembacanya.

Menariknya, buku antologi puisi ini hanya berisi sebanyak 37 judul puisi, yang hampir setiap lembar atau setiap puisi yang ditulis dalam buku antologi ini dilampiri sumber sejarah di dalamnya. Dalam kaitannya dengan sumber sejarah, sejarawan Garraghan dalam Nina Herlina (2014) pernah menegaskan bahwa sumber sejarah bermacam-macam perupaannya, mulai dari sumber tertulis, sumber benda, hingga sumber lisan. Sumber tertulis bisa berupa surat-surat, prasasti, silsilah-silsilah, piagam, laporan, dan lain sebagainya. Sumber benda pun juga beragam jenisnya; bisa berupa gereja, masjid, makam, lukisan, foto, film, rekaman suara, dan lain sebagainya. Sedangkan, sumber lisan ada dua macamnya, antara lain sumber lisan yang didapatkan dari hasil wawancara dengan para pelaku dan sumber yang berupa tradisi lisan, dalam hal ini bisa berupa folklor seperti cerita dongeng, mitos-mitos, legenda, dan lain sebagainya.

Artinya, sebelum membaca atau menafsirkan setiap jalinan teks dari masing-masing judul puisi di dalam buku ini pembaca disuguhi terlebih dahulu lembaran-lembaran sumber-sumber sejarah yang sudah dicari, ditelusuri, dikumpulkan, dan ditelaah oleh penulisnya. Dengan demikian, sebelum pembaca menafsirkan sebuah teks puisi, pembaca dihadapkan pada sebuah sumber-sumber yang bisa ditafsirkan atau diimajinasikan oleh pembacanya. Dan, sumber-sumber sejarah yang ditampilkan di dalamnya juga bervariatif, mulai dari sumber tertulis, sumber benda, hingga sumber lisan.

Sumber-sumber sejarah tersebut mulai dari arsip sejarah tentang Coenraad L. Coolen (Pengusung paham kristiani dari Timur), foto rumah Coenraad L. Coolen, makam Coenraad L. Coolen, foto Kiai Abisai Ditotruno, makam Kiai Abisai Ditotruno (1806), Kitab Statenbijbel, Kidung Pasamuan, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW; yang didirikan pada tahun 1700-an), Gedung Pertemuan Gereja Jawi Wetan, Monumen Tugu Baptis Cikal Bakal, Sinagoga, Ritual Riyaya Unduh-Unduh, dan lain-lain.

Secara keseluruhan setiap judul puisinya ditulis sak crit sak crit (Jawa: pendek-pendek) isinya. Dengan demikian, bisa dipastikan atau dimungkinkan bagi para pembaca yang mau membacanya, pastilah tidak butuh waktu lama untuk membaca atau mengkhatamkannya. Walaupun begitu, meskipun hanya ditulis pendek-pendek akan tetapi secara keseluruhan judul puisi di dalamnya sudahlah pasti kaya versifikasinya, baik dalam konteks ritma, rima, maupun metrumnya.

Ritma yang dikenal sebagai irama atau wirama, tak lain merupakan pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut, dan ucapan bunyi bahasa yang terlihat atau terdengar teratur. Sedangkan rima sendiri mempunyai arti sederhana sering nampak atau adanya pengulangan bunyi di dalam tiap-tiap larik atau baris-baris sebuah puisi. Dan, yang terakhir metrum, yakni irama yang dihadirkan atau dianggap sering tetap atau statis —alias menurut pola-pola tertentu. Hal ini disebabkan bisa jadi jumlah suku kata yang digunakan dalam penciptaan teksnya tetap, tekanan atau aksentuasinya tetap, atau pun alunan suara menaik dan menurunnya yang juga tetap.

Oleh karena hakikat puisi atau yang menjiwai dalam tiap-tiap puisi sesungguhnya adalah struktur batinnya, maka bagi saya secara personal (sebagai pembaca) dalam memahami antologi puisi ini sudah tampaklah jelas begitulah adanya. Struktur batin dan ekspresi puitiknya sudah terlihat sangat kuat. Artinya, sebagai penyair muda yang kritis dan imajinatif Aditya Ardi Nugroho —dalam Mazmur Dari Timur ini, ia sudah dianggap ‘berhasil atau mampu’ menjaga keutuhan ekspresi puitik dalam mencipta kreatif sastranya.
***

Wasilah Mazmur Dari Timur dan GKJW di Jawa

Menelusuri keseluruhan isi di dalam buku antologi ini salah satu yang disoroti penulis atau penyair dalam buku ini adalah tentang sejarah lahir dan berkembangnya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa, lebih khususnya di Kabupaten Jombang. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) adalah sebuah bukti sejarah yang riil dan diakui sebagai gereja Kristen tertua di Jawa, terutama di Jawa Timur. Sebuah gereja yang juga merupakan salah satu bukti sejarah di Jombang yang dulunya pernah dijadikan sebagai persekutuan-persekutuan gereja-gereja berbasis daerah, sebagai gereja Kristen Jawa terkemuka, lebih khususnya di Jawa Timur. Gereja yang dibuat oleh orang-orang Belanda sekitar tahun 1700-an ini setidaknya yang bagi Aditya Ardi Nugroho (sebagai penyair dan penganut paham di dalamnya) menarik untuk ditelisik sumber-sumber sejarah di dalamnya. Dan, hasilnya: lahirlah si Mazmur Dari Timur-nya.

Buku Mazmur Dari Timur ini bagi saya hampir seperti puisi lama, sebut saja namanya Karmina. Akan tetapi, menariknya, si penulis atau penyair mencoba keluar dari aturan lama yang ada di dalamnya. Oleh karena umumnya puisi-puisi lama selalu terikat oleh aturan-aturan tertentu.

Karmina merupakan puisi pendek yang dulunya sering digunakan atau disajikan untuk acara-acara tertentu. Seperti acara lamaran atau pertunangan, acara pernikahan, pesta budaya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, menelisik sepintas judul buku ini “Mazmur” mempunyai arti kumpulan atau sekumpulan senandung, nyanyian-nyanyian, maupun puji-pujian. Dari Timur, bisa jadi, sekumpulan senandung, nyanyian, atau puji-pujian itu tumbuh, datang, atau lahir dari Timur. Dan Timur adalah Timur, layaknya nyala matahari. Terbit dari Timur dan lari atau jalannya ke Barat. Saya yakin setiap pembaca mempunyai cara pandang atau interpretasi yang berbeda-beda.

Dengan demikian, bisa jadi, buku antologi puisi ini bisa dianggap penting keberadaannya, oleh karena di samping sarat tentang nilai-nilai sejarah, buku sederhana ini juga bisa menjadi pintu masuk bagi para pembaca-pembacanya —terkhususnya bagi ‘mereka-mereka’ yang memeluk agama Kristen atau kaum kristiani dalam memahami dimensi lain dari kekristenan di Nusantara. Lebih khususnya di Jawa. Selamat membaca!
***

_________________
*) Anton Wahyudi, bermukim di Dusun Jambu RT/RW: 2/2, Desa Jabon, Jombang. Mengelola Jombang Institute, sebuah Lembaga Riset Sejarah, Sosial, dan Kebudayaan di Jombang, Jawa Timur. Di samping aktif dalam kegiatan menulis, dan sebagai editor lepas, menjadi Dosen Sastra Indonesia di Kampus STKIP PGRI, Jombang. Buku terbarunya “Guruku, Ayahku, Kakakku Kwat Prayitno” (2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *