SASTRA (DI) BANYUWANGI, ANTARA KENDANG KEMPUL DAN KENANGAN KAWAN NGUMPUL


Raudal Tanjung Banua *

Seperti lagu-lagunya yang terus dicipta dan dinyanyikan, lalu dirayakan setia oleh publiknya, nun di tlatah “tawon madu”, sastra (di) Banyuwangi lebih kurang juga seperti itu.

Bertahun-tahun lalu, Harian Kompas meliput perkembangan lagu-lagu Blambangan. Yang paling saya ingat dari dua halaman laporan itu adalah sebuah headline berjudul,”Banyuwangi Menyanyi Lagu Sendiri.”

“Menyanyi lagu sendiri” tak berarti sunyi-sepi. Itu menyiratkan sikap berterima, enjoy, juga pilihan. Lihatlah, pencipta dan penyanyi lagu-lagu Blambangan—dikenal dengan kendang kempul—disambut dapur rekaman dengan hasil makjleb: kaset/cd/vcd beredar luas di tengah publik yang setia. Kayak apa pun beredar lagu-lagu sejenis—dangdut, koplo, tarling, campursari—semua tetap “ngeyel” nyetel lagu sendiri.

Tentu mereka juga nyetel dangdut atau koplo, dan penyanyinya pun kadang membawakan dangdut-koplo, campursari, bahkan gambus atau qasidahan. Tapi percayalah, mereka akan selalu kembali ke selera asal: mangan ora mangan yang penting kendang-kempulan.

Itu sudah bertahun lalu, dan sejumlah hal pasti telah bergeser. Kaset/cd/vcd telah “berganti” youtube atau platform virtual lainnya. Namun penyanyi, pencipta, produser (kalau masih ada) beserta publiknya saya yakin tak kehilangan selera. Buktinya, Sumiyati, Suliana, Demy dan penyanyi lain masih akrab diputar di kapal penyeberangan Ketapang-Gilimanuk, di bus atau terminal Sri Tanjung.

Dalam hal ini, sastra (di) Banyuwangi tak persis begitu.
***

Sastra (di) Banyuwangi disadari atau tidak, juga menyandang kata “sendiri”, nyaris tanpa amflikasi. Ini bukan hendak mengatakan sastra (dalam hal ini sastra Indonesia) tak berkembang di bumi Blambangan. Kata “sendiri” di sini lebih menekankan pada kondisi sastra di mana masih terbatas pelakunya dan terus mencari publik, yang memang tak mungkin disamakan dengan publik kendang kempul yang bejibun.

Bertahun-tahun lalu, saya bersentuhan tipis-tipis dengan komunitas sastra Banyuwangi yang antara lain dijaga oleh Fatah Yasin Noor, Iqbal Baraas, Rosdi Bahtiar Martadi, Iwan Azies Syswanto, Tri Irianto, Taufiq, Samsuddin Adlawi, Yon Karyono dan sesepuh Using, Hasnan Singodimayan.

Setidaknya ada dua komunitas yang saya ingat: Komunitas Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) di Banyuwangi kota dan Kelompok Gelar Tikar di Genteng. Kelompok Selasa rutin menggelar pertemuan tiap hari/malam Selasa, menerbitkan buletin Imbas, dan juga menerbitkan buku dalam format sederhana, salah satunya antologi puisi Detak.

Gelar Tikar aktif bersastra dan berteater di kalangan remaja dan anak sekolah. Kalau tak salah juga ada sebuah masjid yang pengurusnya biasa mendiskusikan sastra dan bahkan menerbitkan antologi puisi, tapi saya lupa persisnya.

Di luar itu tentu ada komunitas lain. Termasuk yang aktif di “sastra radio”. Terlebih lagi jika dilihat jauh ke belakang, misalnya tahun 70 dan 80-an yang notabene tak tersentuh oleh jangkauan saya. Fatah Y. Noor pernah menuliskannya dengan lengkap dan detail, saya baca di sebuah laman.

Saya sendiri hanya tahu sekilas kondisi pertengahan 90-an ketika saya berada di Bali. Waktu itu, kawan-kawan Banyuwangi punya “afiliasi” cukup baik dengan komunitas sastra/teater di kota Negara, Jembrana—mungkin karena sama-sama berada di ujung pulau. Sejumlah acara mereka hadiri, seperti Gradag-grudug dan Rajerbabat.

Terakhir saya ingat ketika Franky Sahilatua meluncurkan kaset Perahu Retak yang liriknya ditulis Emha Ainun Nadjib. Kawan-kawan dari Banyuwangi datang ke Negara membawa kaset itu, entah Mas Fatah entah siapa saya lupa. Yang jelas kaset itu kami dengar bareng Umbu, diputar berulang-ulang, hingga nyaris semalam suntuk di kawasan Perumnas.

Setelah itu, saya pindah ke Yogya dan lama tak bersentuhan dengan kawan-kawan Banyuwangi. Baru tahun 2008 saya kembali main ke Banyuwangi dalam diskusi buku kumcer Iqbal Baraas, Pesta Hujan di Mata Shinta. Tahun 2009 saya kembali untuk diskusi novel Hary Pr, Elegi Gerimis Pagi. Saya bertemu wajah-wajah lama yang masih sehangat dulu. Dari situ saya yakin pelaku sastra Banyuwangi masih gelisah dan setia.

Belakangan, Dewan Kesenian Blambangan menggelar Festival Sastra, kalau tak salah sudah tahun ketiga; gemanya lumayan terasa.

Panitia mengundang antara lain D. Zawawi Imron (beliau pernah cerita pada saya, dulu ayahnya lama merantau di Rogojampi), Ahmadun Y. Herfanda, dan Sutardji Calzoum Bachri.

Buku-buku sastrawan Banyuwangi juga terus terbit. Mas Adlawi mungkin yang paling produktif. Buku puisi Iqbal Baraas, Mawar Gandrung (Akar Indonesia, 2018) bahkan sempat mendapat Anugerah Sutasoma 2018. Penulis baru pun mungkin—dan pasti—tetap muncul, aktivitas sastra di sekolah dan pesantren tambah semarak, seperti saya lihat di PP Darusallam Blok Agung. Serta perkembangan dan kesemarakan lain yang saya tak tahu.

Tapi tanpa mengabaikan perkembangan dan perubahan, saya merasa sastra (di) Banyuwangi masih seperti dulu, sunyi-sepi-sendiri. Sekali lagi harap dimaknai tidak wantah dan harfiah.

Kenapa bisa begitu? Saya tak punya cukup bahan untuk menyimpulkan kenapa. Bisa saja letak Banyuwangi yang jauh dari konstelasi sastra Jawa Timur. Tapi apa itu konstelasi sastra Jatim dan di mana “pusatnya”? Surabaya? Malang? Entah.

Apakah jarak memang dapat menentukan kembang-kempisnya balon kesusasteraan? Dan mungkin ada sederet pertanyaan lagi.

Atau jangan-jangan cara melihat peta sastra Banyuwangi harus menyeluruh, satu kesatuan dengan wilayah tapal kuda yang lain: Jember, Lumajang, Bondowoso atau Situbondo? Sekali lagi, entahlah.
***

Di antara semua itu, ada satu realitas yang sebenarnya berlaku di manapun, yakni banyaknya pelaku sastra dari suatu daerah berproses kreatif di luar daerahnya. Sesuatu yang lumrah. Banyuwangi juga seperti itu. Lumayan banyak pelaku sastra/literasi asal Banyuwangi berkiprah di kota-kota sekitar seperti Jember, Malang, Surabaya hingga kota di luar Jawa Timur: Solo, Yogya, Mataram, atau Jakarta.

Kita bisa mengabsen sejumlah nama: Agus Dermawan T., Tengsoe Tjahjono, Nirwan Dewanto, Langit Kresna Hariadi, Yusri Fajar, Parlan S. Tjak, Dendi Sugono, dan silahkan tambahkan sendiri.

Bagaimana hubungan nama-nama itu dengan tanah asal? Adakah sebentuk tegur sapa yang terbangun dengan komunitas di kampung halaman? Jelas saya tak banyak tahu.

Tapi sesekilas yang saya rasakan, kawan-kawan di Banyuwangi lapang hati menerima kenyataan bahwa mereka cukup puas melihat teretan atau konco dewek berkiprah di luar.

Saya mungkin berlebihan. Namun saya bisa merujuk situasi tahun 1995-an, saat saya bersentuhan tipis-tipis dengan kawan Banyuwangi seperti saya sebutkan tadi. Saat itu ND sedang naik daun. Pidato Kebudayaannya tahun 1991 dianggap mengubah “peta dunia” kebudayaan kita. Ia juga anggota sebuah komunitas sastra top-hits ibukota dan duduk di redaksi sebuah jurnal yang waktu itu dianggap mainstream.

Dan untuk itu, tak sekalipun saya dengar kawan-kawan Banyuwangi ini “mendaku”. Hanya sesekali (bukan, hanya sekali!) saya dengar ada yang menyebut bahwa ND dari Banyuwangi. Tapi ND sendiri toh seperti lebih merasa orang Suroboyoan—setidaknya di biodatanya tempat lahirnya tertulis Surabaya, meski dalam sebuah catatan Fatah Yasin, ND lahir di Bumi Gandrung (lihat Perjalanan Sastra di Banyuwangi, sastra-indonesia.com, 25 September 2010).

Boleh jadi juga saya subjektif. Atau saya terbawa perasaan sentimentil saya sendiri yang saat itu sedang menjalani tradisi rantau, jauh dari kampung-halaman. Tapi jujur, saya merasakan ND lebih menampilkan citra sebagai orang Jakarta karena memang ia tinggal di Jakarta. Dalam perdebatan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP)– yang pernah mewarnai wacana sastra 90-an–ND misalnya pernah menulis “Tentang Sastra Pedalaman Itu” (Kompas, 4 September 1994). Kata “itu” menunjukkan ia berada di luar tempat yang ditunjuk. Esei tersebut dibalas oleh salah seorang penggerak RSP, Kusprihyanto Namma, “Tentang Sastra Pedalaman Ini”.

Baru belakangan, saat masa beralih waktu berganti, saya temukan satu tulisan ND bicara tentang kota asalnya. Itu ia tulis penuh kenangan dalam buku Satu Setengah Mata-Mata bagian “Jalan” (2016: 147). Biodatanya pun jadi terang benderang di buku tersebut, dengan menyebut “menjalani masa kanak dan remajanya di Banyuwangi dan Jember”.

Lalu ketika suatu hari saya main ke Genteng, Iqbal Baraas yang tinggal di kota kecil itu, menunjuk sebuah rumah di seberang jalan. “Itu rumah Tangsoe!” katanya. Jika tidak, saya hanya tahu Tangsoe orang Surabaya, sebagaimana Akhudiat yang sebenarnya asli Rogojampi.
***

Saya juga belum tentu tahu kalau Yusri Fajar orang Banyuwangi, jika tidak membeli buku terbarunya, Jalan Kritik Sastra: Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik (Beranda, 2020). Saya baca pada bagian “Tentang Penulis”, Yusri ternyata kelahiran Banyuwangi, dan berkhidmat di Universitas Brawijaya, Malang.

Buku Yusri sendiri menarik karena sangat lengkap mengaplikasikan teori sastra mutakhir, mulai poskolonial, feminisme, kulineria dan ekokritik. Yusri pun fasih dan jernih menerapkannya. Mungkin karena itu pembahasan terkesan mengejar penerapan teori, agak mengabaikan capaian estetik karya yang dibicarakan. Misalnya, saat bicara kumpulan sajak Alfian Dipahatang, saya merasa ada sejumlah sajak yang kurang matang, tapi tak disinggung karena pesan kulineria lebih utama. Kajian poskolonial kumcer Semua untuk Hindia Iksaka Banu rasanya juga jauh dari tuntas.

Tapi itu pembicaraan lain, mudah-mudahan suatu waktu bisa saya lanjutkan. Yang ingin saya katakan, jika saja Yusri Fajar menyediakan sebuah judul atau sub-judul tentang sastra Banyuwangi (boleh juga bareng dengan kota-kota lain di Jawa Timur), niscaya buku ini jadi tambah “wangi”. Toh kemungkinan teoritis dan empiris tersedia untuk itu. Terserah mau bicara lokalitas, komunitas, dislokasi atau makna “nasib adalah kesunyian masing-masing”. Biar sastra (di) Banyuwangi (dan kota-kota kecil yang lain) punya sedikit amflikasi.

Walaupun kawan-kawan di sana mungkin tetap dengan rendah hati bilang itu tak perlu. Dan jika pun tetap dilakukan, hasilnya tentu tidak akan semeriah lagu kendang kempul—yang sekarang tambah semarak dengan mengepul hangat di jagad virtual. Namun, apresiasi dan upaya sekecil apa pun tetap perlu, sebentuk tegur sapa dengan tepukan halus dibahu, atau sekepal tinju.

Ah, ya, saya menulis ini juga sebagai kenangan pada kawan ngumpul, kangen omong-omong ngalor-ngidul. Di sana, di ujung timur, tanah “sunrise of Java”. ***

______________
*) Raudal Tanjung Banua, sastrawan kelahiran Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat juga Harian Haluan, Padang. Kemudian merantau ke Denpasar, Bali, bergabung Sanggar Minum Kopi, serta intens belajar kepada penyair Umbu Landu Paranggi. Lalu ke Yogyakarta; menyelesaikan studi di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia. Mendirikan Komunitas Rumah Lebah, dan bergiat di Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia (Sebuah Lembaga Budaya yang Menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia). Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esei, dipublikasikan di pelbagai media massa pun antologi. Buku-bukunya: Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu (2005), Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018), dll. Penghargaan yang diterimanya: Sih Award dari Jurnal Puisi, dan Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *