CATATAN BULAN OKTOBER


Taufiq Wr. Hidayat *

Ada puisi berjatuhan di antara tetesan hujan. Suara-suara malam. Mimpi-mimpi akan dijelang lagi.

Hari-hari mengalir. Seseorang terus mengalirnya. Melanjutkan hidup. Beranjak meninggalkan masa lalu, hingga terciptalah kilau berkelip-kelip seperti kenang-kenangan. Waktu tak berjalan mundur, itulah kepastian. Setiap orang berjalan meninggalkan detik ini ke detik selanjutnya, dari satu hari ke hari berikutnya, bulan ke bulan, tahun dan abad.

Betapa agungnya hidup. Ia ketakjuban yang tak dapat diciptakan manusia.

Sesungguhnya, bisik orang lain, berbahagia dengan hal-hal sederhana dan bersahaja dalam hidup itu karunia. Sebab, lanjutnya, betapa jamak orang ingin berbahagia dengan sesuatu yang belum ada, bahkan tidak ada. Terperangkap pengandaian dan perburuan yang melelahkan.

“Apa artinya melihat dunia bila yang kau cari tak ada di sana?” tanya seorang penyair gombal. Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Sebab menjawabnya berarti telah melahirkan kegombalan-kegombalan baru di dunia ini.

Hidup bagai meja dapur yang selalu membutuhkan lap agar tetap bersih. Orang-orang membangun kejayaan-kejayaan yang pada akhirnya runtuh. Berkejaran pada penanda-penanda waktu. Lepaskanlah apa yang memang harus dilepaskan, dan raihlah apa yang memang layak untuk diraih, kata sejarah. Oh sejarah, ukir-ukiran yang selalu menyisakan pertanyaan dan kehilangan. Tapi, ia mengekalkan apa yang layak dan menanggalkan apa yang tak layak.

Ada yang mengutuk tragedi. Di tempat lain, menangisi atau menertawakannya. Boleh jadi penderitaan seseorang hanyalah kelucuan bagi orang lain. Tapi, di mana beda manusia dan kekonyolannya sendiri?

Baiklah! Katanya. Sudah waktu. Lihatlah kecemasan kota-kota, kata orang yang kepalanya botak. Agama laris manis dalam politik. Dan mulut-mulut berbusa menuduhkan omong kosong pada siapa saja. Seperti pandemi.

Tetapi dapat kutuliskan di sini, tentang pohon-pohon yang bersemi, rumputan, dan sebuah nyanyi. Bukankah sejenak saja dapat kita lupakan dunia dengan secangkir kopi? Meski sesungguhnya, hidup ini terus saja berjalan dengan atau tanpa secangkir kopi, dengan atau tanpa yang belum atau tak mungkin ada. Dan di dalam hening, tak ada batasan dari waktu. Ada yang terluka, ada yang senantiasa menari mengikuti irama suka-duka. Hening menyergap semesta jiwa, menyepuh rindu.

Sobo, 2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Keterangan Gambar: Punakawan, lukisan Endix, Cat minyak di atas kanvas, 70×90 cm

Leave a Reply

Bahasa »